Opinion
Beranda » Berita » Jangan Takut Terasing: Menjadi ‘Ghuraba’ di Jalan Kebenaran

Jangan Takut Terasing: Menjadi ‘Ghuraba’ di Jalan Kebenaran

Asing di Tengah Keramaian

SURAU.CO – Setiap manusia memiliki keinginan untuk diterima. Kita ingin menjadi bagian dari sebuah komunitas. Perasaan terasing atau sendirian seringkali terasa berat dan menakutkan. Tekanan untuk mengikuti arus mayoritas sangatlah kuat. Namun, dalam Islam, ada sebuah konsep yang memandang keterasingan dari sudut yang berbeda. Keterasingan bisa menjadi sebuah tanda kemuliaan.

Kondisi ini dikenal dengan istilah ghuraba, atau orang-orang yang terasing. Mereka adalah individu yang teguh memegang kebenaran. Mereka memilih jalan yang sunyi saat kebanyakan orang memilih jalan yang ramai namun keliru. Artikel ini akan mengajak kita untuk memahami konsep ini. Semoga kita tidak lagi takut saat merasa sendirian dalam mempertahankan prinsip.

Awal dan Akhir yang Terasa Asing

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan tentang fenomena ini. Beliau menjelaskan bahwa Islam akan melalui sebuah siklus. Ia dimulai dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing. Ini adalah sebuah keniscayaan yang harus kita pahami.

Dalam sebuah hadis, beliau bersabda,

“بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا، وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا، فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ”

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

“Islam pada awalnya datang dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing seperti semula. Maka, beruntunglah orang-orang yang terasing itu (al-ghuraba).” (HR. Muslim)

Pada awalnya, ajaran tauhid yang dibawa Nabi terasa aneh. Masyarakat Makkah saat itu sudah terbiasa dengan kemusyrikan. Kemudian, Islam berkembang dan diterima oleh banyak orang. Namun, Nabi mengabarkan bahwa di akhir zaman, kondisi itu akan berbalik. Ajaran yang murni akan kembali dianggap aneh oleh mayoritas manusia.

Siapakah Sebenarnya Para ‘Ghuraba’ Itu?

Tentu kita bertanya, siapa sebenarnya orang-orang yang terasing ini? Apakah mereka hanya orang-orang yang berbeda? Hadis lain memberikan jawaban yang sangat jelas. Mereka bukanlah orang yang pasif. Sebaliknya, mereka adalah para pembawa perbaikan.

Ketika para sahabat bertanya tentang al-ghuraba, Nabi menjawab,

“الَّذِينَ يُصْلِحُونَ إِذَا فَسَدَ النَّاسُ”

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

“Mereka adalah orang-orang yang senantiasa melakukan perbaikan di tengah manusia yang rusak.” (HR. Ahmad, shahih)

Dari sini kita belajar sebuah hal penting. Seorang gharib (orang yang terasing) bukanlah orang yang hanya menyendiri. Ia adalah seorang agen perubahan. Ia aktif mengajak kepada kebaikan. Ia berani memperbaiki kerusakan moral di sekitarnya. Justru karena itulah ia dianggap aneh oleh masyarakat yang sudah terbiasa dengan kerusakan.

Kebenaran Bukanlah Tentang Jumlah

Setan seringkali membisikkan keraguan. Ia membuat kita berpikir bahwa mayoritas pasti benar. Kita merasa kecil dan lemah saat pandangan kita berbeda dari kebanyakan orang. Namun, seorang sahabat agung, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, memberikan sebuah definisi yang kuat.

Beliau berkata,

“الجماعة ما وافق الحق، وإن كنت وحدك”

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

“Al-Jama’ah (kelompok yang benar) adalah apa yang sesuai dengan kebenaran, meskipun engkau hanya seorang diri.”

Perkataan ini adalah sebuah tamparan keras bagi logika umum. Standar kebenaran dalam Islam bukanlah jumlah pengikut. Standar kebenaran adalah kesesuaian dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jadi, jika Anda berada di atas kebenaran, maka andalah “kelompok” itu, meskipun Anda tidak memiliki teman. Jangan pernah merasa rendah diri karena itu.

Memahami Ragam Keterasingan

Ulama besar Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah memberikan penjelasan yang lebih rinci. Beliau membagi keterasingan menjadi tiga jenis.

Pertama, keterasingan yang terpuji. Inilah keterasingan para pengikut Allah dan Rasul-Nya. Mereka terasing di tengah mayoritas manusia. Inilah keterasingan yang dipuji oleh Nabi. Keterasingan ini bisa terjadi di berbagai level, dari zaman ke zaman. Para pemilik keterasingan ini adalah wali-wali Allah yang sesungguhnya.

Kedua, keterasingan yang tercela. Ini adalah keterasingan para pelaku maksiat. Mereka adalah orang-orang kafir dan munafik. Mereka terasing dari jalan Allah. Meskipun jumlah mereka banyak, mereka pada hakikatnya adalah orang-orang yang paling terasing dari petunjuk. Keterasingan mereka akan berujung pada kesengsaraan di dunia dan akhirat.

Ketiga, keterasingan yang biasa. Ini adalah keterasingan fisik. Contohnya adalah seorang perantau yang jauh dari tanah airnya. Keterasingan jenis ini tidak mengandung pujian ataupun celaan. Ia adalah sebuah kondisi duniawi yang netral.

Kekuatan dalam Kesendirian

Dari seluruh penjelasan di atas, kita dapat menarik sebuah kesimpulan. Menjadi terasing karena membela kebenaran bukanlah aib. Sebaliknya, ia adalah sebuah kemuliaan yang dijanjikan keberuntungan. Perasaan sendirian mungkin terasa berat. Namun, ingatlah bahwa Allah selalu bersama orang-orang yang sabar.

Oleh karena itu, jangan pernah takut untuk menjadi berbeda. Jangan ragu untuk meninggalkan kebiasaan buruk yang sudah dianggap wajar. Teruslah berjalan di atas jalan kebenaran sesuai pemahaman para salaf. Karena pada hakikatnya, Anda tidak pernah benar-benar sendirian. Anda bersama para nabi, para shiddiqin, dan orang-orang saleh terdahulu.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement