SURAU.CO – Di jantung ajaran Islam, bersemayam sebuah prinsip agung yang menopang keindahan persaudaraan, yaitu kewajiban untuk saling menjaga kehormatan. Pada dasarnya, setiap manusia pasti pernah berbuat salah. Tidak ada seorang pun yang maksum dari dosa dan kekhilafan. Menyadari kenyataan ini, Islam menetapkan sebuah etika sosial yang luhur: menutupi aib sesama muslim.
Perintah ini jauh dari sekadar anjuran biasa. Ia justru berfungsi sebagai benteng yang melindungi masyarakat dari kebencian dan perpecahan. Sebab, mengumbar aib dapat merusak hubungan, sementara menutupinya akan menyuburkan kasih sayang. Oleh karena itu, mari kita dalami bersama mengapa perilaku mulia ini mendapatkan penekanan yang begitu kuat.
Memahami Sifat Manusia dan Tanggung Jawab Kita
Pertama-tama, kita harus mengakui bahwa manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Adakalanya, seorang muslim yang kita pandang baik pun bisa tergelincir ke dalam lembah dosa. Akan tetapi, selama ia berusaha menyembunyikan kesalahannya itu dari pandangan publik, maka kehormatannya wajib kita lindungi. Dengan kata lain, kita dilarang keras untuk mencari-cari kesalahannya, apalagi bersemangat menyebarkannya kepada orang lain.
Inilah prinsip dasar dalam membangun interaksi yang sehat. Kita harus membiasakan diri untuk selalu berprasangka baik. Artinya, kita memandang saudara kita dari sisi-sisi positifnya, bukan fokus pada kekurangannya. Jangan pernah kita biarkan setan membisikkan rasa curiga yang mendorong kita untuk menjadi detektif atas aib orang lain. Sebab, Allah Ta’ala sangat membenci perbuatan tersebut.
Ganjaran Agung bagi Penjaga Kehormatan
Lebih jauh lagi, Islam tidak hanya memerintah, tetapi juga memotivasi dengan janji balasan yang luar biasa. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus memberikan kabar gembira bagi siapa saja yang menjaga aib saudaranya. Hebatnya, Allah akan memberikan ganjaran yang setimpal dengan perbuatan mulia tersebut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ”
“Barang siapa menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah akan menutupi (aib)-nya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)
Coba kita renungkan sejenak betapa agungnya janji ini. Allah sendiri yang akan menjadi pelindung aib kita, bukan hanya saat di dunia, tetapi juga di akhirat kelak. Padahal, di hari itu, semua amalan akan dibentangkan di hadapan seluruh makhluk. Tentu kita semua sangat mendambakan pertolongan Allah agar aib-aib kita tidak dipermalukan di hadapan mereka.
Peringatan Keras bagi Para Penyebar Aib
Sebaliknya, bagi mereka yang memilih jalan berlawanan, Islam memberikan peringatan yang amat keras. Ancaman ini secara spesifik ditujukan kepada orang-orang yang gemar mengumbar aib sesama. Barang siapa yang menjadikan kesalahan saudaranya sebagai bahan perbincangan, maka ia harus siap menerima balasan yang serupa dari Allah.
Dalam sebuah hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan,
“يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ الْإِيمَانُ قَلْبَهُ، لَا تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِينَ، وَلَا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ”
“Wahai sekalian orang yang beriman dengan lisannya, namun keimanan belum masuk ke dalam hatinya. Janganlah kalian menggunjing kaum muslimin. Dan janganlah kalian mencari-cari aurat (aib) mereka. Karena barang siapa yang mencari-cari aib mereka, maka Allah akan mencari-cari aibnya. Dan barang siapa yang Allah cari-cari aibnya, niscaya Allah akan membongkarnya di dalam rumahnya.” (HR. Ahmad)
Peringatan ini menunjukkan bahwa tidak ada tempat untuk bersembunyi. Bahkan di dalam privasi rumah sendiri, Allah mampu menyingkap aib seseorang sebagai akibat dari perbuatannya yang telah merusak kehormatan orang lain.
Prioritas Tertinggi: Menjaga Aib Orang yang Telah Bertobat
Tingkat urgensi menutupi aib ini mencapai puncaknya ketika kita berhadapan dengan seseorang yang telah bertaubat. Bayangkan, seseorang mungkin pernah terjerumus dalam dosa besar di masa lalunya, namun kini ia telah menyesal dan bersungguh-sungguh kembali kepada Allah. Dalam situasi seperti ini, haram hukumnya bagi siapa pun untuk mengungkit kembali masa lalunya yang kelam.
Mengungkit dosanya yang lampau merupakan sebuah kezaliman yang nyata. Perbuatan itu tidak hanya menyakiti hatinya, tetapi juga bisa membuatnya putus asa dari rahmat Allah. Padahal, Allah Yang Maha Pengampun telah menerima taubatnya. Lantas, siapakah kita yang berani menghakiminya lagi?
Pelajaran terbaik mengenai hal ini datang dari kisah sahabat Ma’iz bin Malik. Ketika ia datang untuk mengaku berzina, Rasulullah justru berulang kali memalingkan wajah, seolah memberi isyarat agar ia pulang dan cukup bertaubat kepada Allah. Bahkan setelah hukuman ditegakkan, Nabi menasihati sahabat yang melaporkan kasus tersebut.
“يَا هَزَّالُ، لَوْ سَتَرْتَهُ بِثَوْبِكَ كَانَ خَيْرًا لَكَ”
“Wahai Hazzal, seandainya engkau menutupinya dengan kainmu, maka itu lebih baik bagimu.” (HR. Ahmad)
Sebuah Pengecualian yang Penting
Namun demikian, penting untuk memahami bahwa prinsip ini memiliki sebuah pengecualian. Larangan menyebarkan aib tidak berlaku bagi orang-orang yang secara terang-terangan melakukan maksiat dan bahkan bangga dengan dosanya. Dalam istilah syariat, mereka ini disebut sebagai mujahir.
Khusus untuk individu semacam ini, para ulama membolehkan kita untuk memperingatkan masyarakat dari keburukannya. Tujuannya murni untuk perlindungan (kemaslahatan), bukan untuk penghinaan. Tindakan ini adalah bagian dari nasihat untuk menjaga umat dari pengaruh negatifnya.
Pada akhirnya, semoga Allah Ta’ala senantiasa membimbing lisan dan perbuatan kita, serta menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang terampil menjaga kehormatan saudara seiman. Amin.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
