Opinion
Beranda » Berita » Menghidupkan Dakwah Perempuan di Ruang-ruang Sunyi: Refleksi dari Sebuah Pertemuan.

Menghidupkan Dakwah Perempuan di Ruang-ruang Sunyi: Refleksi dari Sebuah Pertemuan.

Menghidupkan Dakwah Perempuan di Ruang-ruang Sunyi: Refleksi dari Sebuah Pertemuan.

Menghidupkan Dakwah Perempuan di Ruang-ruang Sunyi: Refleksi dari Sebuah Pertemuan.

Dalam kehidupan masyarakat Muslim, khususnya di pelosok atau kawasan yang jauh dari pusat-pusat kegiatan keagamaan, keberadaan majelis ilmu yang melibatkan para perempuan sering kali menjadi denyut kehidupan yang tersembunyi namun sangat vital. Foto ini menangkap momen yang penuh makna — sekelompok Muslimah duduk bersama di sebuah ruang sederhana, beralaskan sofa kayu usang, ditemani secangkir teh atau kopi, kotak tisu, dan hadiah sederhana. Namun Menghidupkan makna yang terkandung di dalamnya jauh lebih dalam dari sekadar pertemuan biasa.

Empat perempuan duduk melingkar, dua di antaranya mengenakan cadar, satu berhijab hitam-putih, dan satu lagi memakai busana Muslimah bercorak anggun. Mereka terlihat akrab, penuh hormat, dan saling menyimak. Di belakang mereka, layar proyektor dan meja kecil berbalut kain hijau-kuning menunjukkan bahwa mereka mungkin baru saja selesai menghadiri atau menyampaikan sebuah kajian. Ada semangat yang mengalir dari pertemuan ini — semangat berbagi ilmu, semangat menguatkan ukhuwah, dan semangat meneguhkan peran Muslimah sebagai agen perubahan dalam masyarakat.

Majelis Muslimah: Pilar Dakwah yang Terabaikan

Dalam sejarah Islam, peran perempuan dalam dakwah bukanlah hal yang asing. Dari Sayyidah Khadijah RA yang menopang perjuangan Nabi SAW secara finansial dan emosional, hingga Sayyidah Aisyah RA yang meriwayatkan ratusan hadits, menyampaikan ilmu kepada para sahabat dan tabiin. Namun, di zaman sekarang, peran ini kerap terpinggirkan oleh narasi yang menyempitkan ruang gerak perempuan hanya pada wilayah domestik.

Padahal, majelis-majelis seperti yang tergambar di foto ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki kapasitas untuk menjadi mu’allimah (pengajar), mushlihah (pembaharu), bahkan murabbiyah (pendidik umat) yang luar biasa. Ruang sederhana yang mereka duduki adalah medan dakwah. Bukan di atas panggung megah, bukan dalam studio podcast viral, tetapi di ruang pertemuan kecil yang dibangun dari ketulusan hati dan semangat ukhuwah.

Momen Maulid: Mewujudkan Indonesia Damai dan Sejahtera

Duduk Bersama, Bertumbuh Bersama

Perhatikan bagaimana mereka duduk — tidak ada panggung, tidak ada pemisah antara “ustazah” dan “jamaah.” Semuanya sejajar. Ini adalah simbol bahwa ilmu dalam Islam tidak elitis. Ilmu adalah cahaya yang menerangi siapa saja yang mau duduk dan belajar. Dalam suasana informal seperti ini, ilmu justru lebih mudah meresap. Ia disampaikan bukan hanya lewat kata-kata, tapi juga lewat keteladanan, senyuman, kesabaran menyimak, dan kebersamaan yang tulus.

Dari cangkir kopi yang telah diminum separuh, terlihat bahwa mereka telah lama duduk bersama. Ini bukan pertemuan singkat. Mereka barangkali berdiskusi tentang ayat-ayat Al-Qur’an, berbagi kisah perjuangan hidup sebagai ibu, istri, guru, atau aktivis dakwah. Mungkin mereka membahas masalah umat, strategi menyemai akhlak pada generasi muda, atau sekadar saling meneguhkan di tengah beban kehidupan yang berat.

Kesederhanaan yang Meneduhkan

Kesederhanaan suasana ini tidak bisa dianggap remeh. Justru dari kesederhanaan lahir ketulusan. Mereka tidak berhias demi pujian, tidak membangun pencitraan demi pengikut media sosial, tapi hadir untuk berbagi manfaat. Ini adalah bentuk ikhlas yang semakin langka hari ini.

Tak jarang kita jumpai majelis-majelis yang mewah, disiarkan secara live dengan gaya modern, tapi kehilangan esensi. Sementara pertemuan kecil seperti ini — yang tanpa publikasi, tanpa sorotan kamera — justru menjadi sebab turunnya rahmat dan cahaya hidayah di sebuah kampung atau kota kecil.

Membumikan Spirit Rasulullah di Momen Maulid Nabi

Hijab, Cadar, dan Martabat Muslimah

Dua perempuan dalam foto ini mengenakan cadar, sementara dua lainnya berhijab syar’i tanpa cadar. Ini bukan perbedaan yang memecah belah, melainkan wujud keberagaman dalam satu nafas kesalehan. Mereka duduk bersama, saling menghormati, tanpa memperdebatkan siapa yang lebih benar. Inilah Islam yang dewasa. Islam yang tidak sibuk membid’ahkan saudara sendiri, tapi sibuk menumbuhkan amal dan memperkuat barisan.

Cadar bukan simbol eksklusivisme, tapi pilihan kesalehan pribadi. Hijab bukan sekadar kain penutup, tapi penanda bahwa Muslimah memiliki muru’ah (harga diri) yang dijaga. Mereka hadir dengan pakaian terbaik, bukan karena ingin tampil, tapi karena menghormati ilmu dan saudara-saudara seiman.

Dakwah dalam Diam

Bisa jadi, pertemuan ini adalah bagian dari program pembinaan Muslimah — semacam halaqah pekanan, atau rapat kecil kader dakwah perempuan. Tapi mereka tidak mengumumkan itu dengan seruan-seruan keras. Mereka bekerja dalam diam. Dakwah dalam sunyi. Persis seperti yang digambarkan dalam hadits:

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Ahmad, ath-Thabrani)

Cara Negara Melindungi Pengetahuan dan Budaya Tradisional

Tak ada pengumuman megah, tak ada sorotan kamera. Tapi kerja-kerja mereka menembus hati umat. Anak-anak mereka menjadi penghafal Al-Qur’an. Tetangga mereka terbantu lewat tausiyah sederhana. Dan sesama Muslimah mendapat tempat berlindung dari badai dunia lewat nasihat dan pelukan ukhuwah mereka.

Membangun Generasi dari Ruang-ruang Kecil

Hari ini kita terlalu fokus pada perubahan besar dan instan. Kita ingin revolusi umat, kebangkitan Islam, khilafah, dan peradaban. Tapi kita lupa, bahwa semua itu lahir dari langkah kecil dan konsisten. Majelis seperti ini — dengan segala kesederhanaannya — adalah tempat lahirnya generasi hebat.

Dari sinilah lahir guru TK yang sabar, istri shalihah yang menenangkan rumah, ibu yang mendidik dengan cinta, relawan yang tulus, dan pemimpin yang jujur. Tanpa majelis ini, umat kehilangan rahim spiritualnya. Karena perempuan adalah madrasah pertama — bahkan sebelum anak mengenal huruf, ia lebih dulu mengenal kasih sayang, suara lembut, dan keteladanan dari ibunya.

Akhir Kata: Teruslah Bertemu, Wahai Para Muslimah

Wahai para Muslimah, teruslah bertemu. Teruslah duduk dalam majelis-majelis kecil seperti ini. Karena dari sinilah peradaban besar dimulai. Jangan hiraukan mereka yang meremehkan majelis kalian hanya karena tak viral. Jangan sedih jika tak ada yang mengundang kalian di seminar nasional. Cukup Allah yang menjadi saksi.

Dan kepada kita semua yang menyaksikan foto ini: mari belajar dari mereka. Belajar tentang ketulusan, kesabaran, dan kerja dalam senyap. Karena sejatinya, Islam tak membutuhkan popularitas — ia hanya butuh orang-orang yang setia menjaga cahaya, sekecil apa pun lilin itu. (Tengku)

× Advertisement
× Advertisement