Motor Tua, Jalanan Panjang, dan Amanah Kehidupan.
Di sebuah jalan tanah yang sempit di pinggir sawah, terparkir sebuah sepeda motor tua. Joknya sudah robek, catnya memudar, dan nomor polisinya menunjukkan masa yang telah berlalu. Di sampingnya tergolek sebuah terpal biru yang tampaknya telah lama digunakan. Tidak ada yang istimewa bagi mata biasa, tetapi bagi hati yang mau merenung, inilah wajah keteguhan: kendaraan tua yang setia mengantarkan tuannya menunaikan tugas hari-hari.
Motor ini bukan sekadar alat transportasi. Ia adalah saksi bisu dari sebuah perjuangan, simbol dari kesederhanaan, dan representasi dari satu prinsip dalam Islam: istikamah dalam menunaikan amanah, apapun keadaannya.
Amanah Tidak Menuntut Kemewahan, Tapi Kesungguhan
Banyak orang menunda amal karena merasa belum “siap secara fasilitas.” Ada yang berkata, “Saya belum bisa berdakwah, belum punya mobil,” atau “Saya belum bisa mengajar, belum punya alat yang canggih.” Padahal, bukan fasilitas yang dinilai Allah, tapi kesungguhan hati.
Motor tua itu mungkin sudah tak nyaman dinaiki. Tapi ia tetap menyala, tetap berjalan, tetap menuntaskan tugas. Sama seperti orang-orang sederhana yang terus bergerak menunaikan tanggung jawabnya—menjadi guru honorer, petani, nelayan, atau ustadz kampung yang naik sepeda motor butut ke surau-surau pelosok.
Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)
Dakwah dan Pengabdian Bukan Milik Orang Kaya Saja
Kendaraan tua ini mungkin milik seorang petani, atau penyuluh agama, atau bapak yang tiap hari mengantarkan hasil panennya ke pasar. Bisa jadi ia juga seorang guru ngaji yang keliling dari masjid ke musala, walau motornya sudah ringkih.
Gambaran ini mengajarkan kita bahwa dakwah dan pengabdian tidak hanya dilakukan oleh mereka yang memiliki kelebihan materi. Dakwah milik semua yang memiliki kemauan. Bahkan, banyak da’i hebat justru lahir dari keterbatasan.
Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah berkata:
> “Sesungguhnya kami adalah kaum yang Allah muliakan dengan Islam. Maka bila kami mencari kemuliaan selain dari Islam, Allah akan menghinakan kami.”
Bukan sepeda motor baru yang memuliakan kita, tapi ketulusan kita dalam berjalan di jalan Allah, meskipun dengan sarana seadanya.
Perjalanan Panjang Mengajarkan Tawakal dan Keuletan
Motor tua tidak bisa dipacu kencang. Tapi ia mengajarkan kita untuk pelan-pelan tapi sampai. Ia tidak memaksa melaju, tapi ia bertahan di jalan, tetap menempuh tujuan meskipun harus istirahat di tengah jalan.
Inilah pelajaran tawakal dan keuletan. Dalam hidup, kita tidak harus cepat-cepat sampai pada impian. Yang penting adalah istiqamah di jalan yang benar, meskipun perlahan.
> “Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, maka cukuplah Allah baginya.” (QS. At-Talaq: 2-3)
Sepeda motor tua ini seakan berkata kepada kita: “Aku tak bisa cepat, tapi aku tak berhenti. Aku tua, tapi aku tetap berguna.”
Jangan Remehkan Amal Kecil
Motor butut ini mungkin pernah diremehkan orang. Tapi bagi pemiliknya, ia adalah satu-satunya alat untuk menunaikan tugas. Ia pernah menempuh ratusan kilometer untuk membeli pupuk, mengantar anak sekolah, membawa ibu ke puskesmas, atau menghantarkan beras zakat ke rumah-rumah dhuafa.
Dalam pandangan manusia, itu motor lusuh. Tapi dalam pandangan Allah, ia bisa jadi lebih mulia dari kendaraan mewah yang hanya dipakai untuk pamer dan kesombongan.
> “Janganlah kamu meremehkan kebaikan sedikit pun, meskipun (hanya) bertemu saudaramu dengan wajah yang berseri.” (HR. Muslim)
Sama halnya dengan amal. Dakwah tidak harus dimulai dari mimbar besar. Ia bisa dimulai dari sepeda motor tua yang membawa ustadz ke pengajian kecil di langgar kampung.
Hidup Itu Tentang Bertahan dan Memberi Manfaat
Motor tua ini tetap digunakan, karena ia masih bermanfaat. Meski bentuknya usang, ia tetap bernilai karena fungsinya. Inilah pelajaran besar bagi kita manusia.
Kita mungkin merasa kecil. Mungkin kita bukan orang terkenal, bukan tokoh nasional, bukan pemilik jabatan. Tapi jika kita bisa memberi manfaat, maka kita tetap berharga.
Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad)
Jangan menunggu menjadi hebat untuk mulai memberi manfaat. Mulailah dengan apa yang ada. Motor tua ini tidak menunggu diservis dulu baru digunakan. Ia digunakan sebagaimana adanya.
Tanda Zuhud dan Qana’ah
Motor itu juga menjadi simbol dari zuhud dan qana’ah—sikap ridha terhadap pemberian Allah, tanpa memaksakan kemewahan dunia. Mungkin pemiliknya mampu membeli yang baru, tapi ia memilih mempertahankan yang lama karena masih bisa digunakan.
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pernah berkata:
> “Zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat untuk akhirat.”
Bukan berarti kita tidak boleh memiliki harta, tapi jangan sampai hati kita terpaut padanya. Gunakan kendaraan kita, rumah kita, baju kita, sebagaimana adanya, selama ia bisa menolong kita dalam jalan kebaikan.
Penutup: Jalan Panjang, Amanah Panjang
Sepeda motor tua yang terparkir di pinggir sawah ini seperti metafora kehidupan. Jalan di hadapan kita masih panjang, penuh bebatuan, licin oleh lumpur, dan sempit oleh keterbatasan. Tapi selama ada niat, tekad, dan amanah, kita bisa tetap berjalan, menunaikan tugas, dan sampai pada tujuan.
Biarlah kendaraan kita sederhana, asal arah kita lurus. Biarlah kita lambat, asal tidak berhenti. Biarlah kita tak terlihat orang, asal kita terlihat oleh Allah.
Karena pada akhirnya, bukan kemewahan yang Allah hisab, tapi amanah. Dan bukan kecepatan yang Allah nilai, tapi keikhlasan.
Semoga Allah memberkahi setiap langkah kita, setiap perjalanan kita, dan setiap alat sederhana yang kita pakai untuk menegakkan kebaikan. Wallahu a’lam bish-shawab. (Tengku)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
