Mihun Cabai: Cita Rasa Sederhana, Hikmah yang Tak Terkira.
Dibalik sepiring mihun yang tampak sederhana — digoreng dengan bumbu cabai, sedikit minyak, dan hiasan seledri — ada pelajaran besar tentang hidup, kesyukuran, dan makna keberkahan yang sering luput dari pandangan mata.
Sepiring mihun seperti ini mungkin tak akan dipajang di restoran mewah. Ia tidak berhiaskan daging wagyu, udang jumbo, ataupun telur mata sapi yang mengkilap. Namun, bagi sebagian besar rakyat Indonesia, hidangan seperti ini adalah penopang keseharian. Ia mengenyangkan, ia menghangatkan, dan yang lebih penting: ia memanusiakan.
Nikmat yang Sering Dilupakan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
> “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. An-Nahl: 18)
Berapakah harga sepiring mihun ini? Mungkin hanya beberapa ribu rupiah. Namun saat perut kosong dan tak ada makanan, maka sepiring mihun pun berubah menjadi karunia besar. Betapa banyak orang di luar sana yang tak mampu menikmati makanan sesederhana ini. Entah karena kondisi ekonomi, bencana, peperangan, atau pengungsian.
Kadang kita menyepelekan rezeki karena melihat bentuknya yang sederhana. Padahal, letak keberkahan bukan pada mahalnya, melainkan pada kebermanfaatannya. Mihun cabai yang mengenyangkan dan menumbuhkan rasa syukur jauh lebih baik daripada makanan mahal yang melahirkan kufur dan sombong.
Pelajaran dari Dapur Ibu
Hidangan ini, dengan segala kesederhanaannya, mengingatkan kita pada perjuangan seorang ibu di rumah. Betapa banyak ibu yang dengan modal bumbu seadanya dan bahan murah di pasar, mampu menghidangkan makanan lezat bagi keluarganya. Inilah bentuk kasih sayang yang tidak selalu diungkapkan dengan kata, tapi dibuktikan dengan peluh dan pengorbanan.
Bagi para anak dan suami, kadang mereka hanya melihat hasil masakan di atas meja. Tapi di baliknya ada cerita: berdesakan di pasar, menawar harga, berdiri lama di dapur yang panas, mencicipi bumbu satu-satu, hingga menyajikannya dengan senyum.
Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Sesungguhnya kalian memberi makan istrimu adalah sedekah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini tidak hanya berlaku untuk suami, tetapi juga mengajarkan bahwa memberi makan — walau sederhana — adalah bentuk ibadah, bahkan sedekah. Maka betapa mulianya peran ibu di rumah yang tiap hari menyediakan makanan untuk keluarganya.
Sederhana Tapi Kaya Rasa
Mihun cabai ini tampaknya hanya terdiri dari bihun, cabe, minyak, dan seledri. Tapi siapa sangka, dengan empat bahan itu, tercipta rasa gurih, pedas, dan nikmat yang menggugah selera?
Ini menjadi pelajaran dalam hidup: bahwa yang sederhana bisa jadi sangat berharga bila diramu dengan bijak. Begitulah manusia. Tak perlu berlebihan dalam penampilan, tak perlu kemewahan yang mencolok, cukup dengan akhlak, kesabaran, dan niat yang lurus, hidup bisa terasa indah.
Rasulullah ﷺ hidup dengan sangat sederhana. Rumahnya sempit, kasurnya kasar, makanannya terkadang hanya kurma dan air. Tapi justru dari kesederhanaan itu terpancar cahaya kebenaran dan keteladanan. Karena yang membuat hidup mulia bukan kemewahan, tetapi ketaatan dan ketulusan.
Makanan sebagai Sarana Dakwah
Kadang, satu piring makanan bisa lebih menyentuh hati daripada seribu ceramah. Berapa banyak orang yang akhirnya masuk Islam atau lembut hatinya karena melihat kasih sayang umat Islam dalam berbagi makanan?
Di bulan Ramadhan, misalnya, umat Islam berlomba-lomba menyediakan takjil gratis di masjid, di pinggir jalan, bahkan di perempatan lampu merah. Takjil itu mungkin hanya kolak atau sepiring bihun goreng seperti ini, tapi ia menyentuh hati orang yang lapar. Ia menjadi jembatan bagi hidayah.
Dakwah tidak selalu dengan lisan, tetapi juga dengan perbuatan. Memberi makanan adalah bentuk dakwah diam yang penuh kasih dan lembut. Bahkan Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Tebarkanlah salam, berilah makan…” (HR. Tirmidzi)
Memberi makan adalah jalan menuju surga. Maka jangan remehkan sepiring makanan sederhana. Ia bisa menjadi jalan kebaikan yang tak terhingga.
Mihun Cabai dan Iman yang Pedas-Manis
Rasa dari mihun cabai ini mengajarkan bahwa hidup bukan hanya tentang manis, tetapi juga pedas. Kadang kita diuji dengan kenikmatan, kadang diuji dengan kesulitan. Tapi dari semua rasa itu, kita belajar bersabar dan bersyukur.
Dalam dunia yang semakin modern, orang semakin tergoda dengan makanan instan dan kemewahan digital. Tapi makanan sederhana seperti ini mengingatkan kita untuk kembali kepada fitrah: hidup secukupnya, makan secukupnya, dan selalu bersyukur.
Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Barang siapa di antara kalian bangun di pagi hari dalam keadaan aman di rumahnya, sehat badannya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan dunia telah dikumpulkan untuknya.”
(HR. Tirmidzi)
Coba renungkan: jika kita hari ini aman, sehat, dan punya sepiring mihun di meja, maka kita termasuk orang yang kaya dalam pandangan Nabi ﷺ.
Jadikan Dapurmu Ladang Pahala
Bagi para ibu, para santri, para istri, bahkan siapa pun yang pernah mengolah makanan seperti ini, ketahuilah bahwa setiap adukan, setiap tetes minyak, setiap iris cabai, bisa jadi ladang pahala. Asal niatnya untuk memberi makan, menyenangkan hati, atau menyambung silaturrahim.
Jangan pernah merasa kecil dengan masakanmu. Karena bisa jadi dari sepiring mihun yang engkau buat, seseorang menjadi kuat kembali, semangat kembali, atau bahkan sadar bahwa ia tak sendiri.
Islam mengajarkan kita untuk menghormati makanan. Tidak membuang-buangnya. Tidak mencela bentuk atau rasanya. Bahkan jika makanan itu sangat sederhana. Rasulullah ﷺ tidak pernah mencela makanan. Jika beliau menyukainya, beliau makan. Jika tidak, beliau diam.
Penutup: Mihun yang Menghidupkan Nurani
Mari kita ubah cara pandang terhadap makanan sederhana seperti sepiring mihun ini. Ia bukan sekadar karbohidrat pengisi perut, tapi juga perantara syukur, penguat ukhuwah, dan simbol keberkahan dalam hidup.
Jangan remehkan hidangan kecil di dapur rumah. Bisa jadi di sanalah berkah itu turun. Bisa jadi di sanalah Allah tanamkan rahmat dalam keluarga. Dan bisa jadi dari situlah dimulai langkah besar untuk perubahan dunia — melalui perut yang kenyang, hati yang syukur, dan jiwa yang tenang.
“Hidup sederhana, makan sederhana, tapi niat dan syukurnya luar biasa.” Semoga sepiring mihun hari ini menjadi sebab bertambahnya iman kita kepada Allah. (Tengku)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
