Di tengah derasnya arus globalisasi dan konflik identitas, kita perlu kembali bertanya: siapa sebenarnya kita? Para pendiri bangsa sejak awal telah menekankan pentingnya kembali pada identitas sejati yaitu menjadi Indonesia. Identitas ini bukan sekadar nama, melainkan nilai, karakter, dan arah hidup bersama.
Menjadi Indonesia sejati tidak berarti menanggalkan agama atau budaya. Justru, kita dapat tetap teguh pada kepercayaan masing-masing. Seorang Muslim tetap menjalankan ajaran Islam, penganut Hindu menjaga keyakinannya, umat Buddha mempertahankan nilai Buddhanya, dan pemeluk Kristen bebas beribadah seperti biasa. Dengan kata lain, jadilah Indonesia tanpa kehilangan siapa diri kita.
Karakter Keindonesiaan Bersifat Universal
Lalu, mengapa menjadi Indonesia tidak membuat kita kehilangan identitas? Karena karakter keindonesiaan lahir dari nilai-nilai universal yang menyentuh semua ajaran luhur. Bahkan orang dari luar negeri pun dapat menerapkan prinsip ini karena dasarnya selaras dengan kemanusiaan.
Namun demikian, masyarakat kita sering melupakan hal ini. Walaupun kita hafal ayat-ayat kitab suci dan sila-sila Pancasila, kita kerap gagal menghidupkan nilai-nilai itu dalam keseharian. Oleh karena itu, tantangan kita bukan soal pengetahuan, tetapi soal pengamalan.
Gotong Royong: Inti dari Indonesia
Sukarno merumuskan Pancasila menjadi Trisila, lalu merangkumnya kembali menjadi satu prinsip utama: Gotong Royong. Prinsip ini bukan sekadar kerja bakti. Ia merupakan dasar kebersamaan dalam membangun bangsa.
Sayangnya, banyak yang hanya memahami gotong royong secara sempit. Padahal, secara esensial, gotong royong berarti bahu-membahu untuk mewujudkan visi kolektif. Negara tidak akan kokoh jika masyarakatnya berpikir dalam logika konflik di mana satu pihak harus menang dan pihak lain harus kalah. Sebaliknya, kita harus membangun dialog sebagai cara menyelesaikan perbedaan.
Menularnya Kebaikan dalam Tindakan
Lebih jauh, kita perlu bertanya: seperti apa bentuk konkret gotong royong dalam kehidupan sehari-hari? Jawabannya sederhana. Pertama, patuhilah aturan. Kedua, bantulah sesama warga. Ketiga, lakukanlah kebaikan yang bisa menular. Jika setiap orang berbuat baik, maka masyarakat akan bergerak menuju kebaikan bersama.
Gotong royong bukan soal siapa memberi dan siapa menerima. Prinsip ini menolak hierarki semu. Pemerintah tidak boleh merasa paling berjasa, dan rakyat tidak boleh merasa paling berhak. Jika keduanya saling mengklaim keunggulan, yang kuat akan menindas yang lemah. Maka, solusinya adalah bekerja bersama, bukan saling menuntut.
Bhineka Tunggal Ika: Visi Sama, Peran Berbeda
Meskipun kita memiliki peran yang berbeda, kita sebenarnya berjalan menuju tujuan yang sama. Inilah makna sesungguhnya dari Bhineka Tunggal Ika. Untuk menciptakan gotong royong, kita membutuhkan kesadaran bahwa keberagaman adalah kekuatan.
Dalam filsafat kontemporer, konsep ini dikenal sebagai pluralitas: perbedaan bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk disatukan melalui visi bersama.
Makna Dharma dan Keutuhan Masyarakat
Untuk memahami lebih dalam, mari kita kembali pada teks klasik: Sutasoma karya Mpu Tantular. Frasa Bhineka Tunggal Ika di sana disandingkan dengan prinsip Tan Hana Dharma Mangrwa, yang berarti “tidak ada kebenaran yang mendua”. Artinya, meski bentuknya berbeda, kebenaran tetaplah satu.
Konsep ini mengajarkan bahwa setiap individu memiliki dharma peran yang melekat dalam kehidupannya. Guru harus mengajar, murid belajar, petani menanam, pemimpin mengatur. Ketika semua menjalankan dharmanya dengan jujur, masyarakat akan berjalan seimbang. Namun, jika banyak yang mengabaikannya, maka kerusakan pasti terjadi.
Jadikan Indonesia Sebagai Rumah, Bukan Beban
Sayangnya, sebagian orang menganggap Indonesia sebagai beban. Mereka mengeluh, merasa putus asa, bahkan malu menjadi bagian dari bangsa ini. Padahal, Indonesia adalah rumah tempat kita tumbuh, hidup, dan bermimpi.
Di atas kewajiban ada kebutuhan, dan di atas kebutuhan tumbuh cinta. Oleh karena itu, mencintai Indonesia tidak boleh menjadi beban. Sebaliknya, kita harus menempatkannya sebagai kebutuhan jiwa dan tanggung jawab moral.
Bhineka Tunggal Ika: Jargon Spiritual yang Relevan
Perlu kita pahami bahwa Bhineka Tunggal Ika bukan hanya semboyan politik atau slogan nasionalisme. Secara lebih dalam, semboyan ini menyimpan makna spiritual. Realitas ketuhanan bersifat satu. Perbedaan bentuk hanyalah manifestasi dari satu sumber yang sama.
Dengan kata lain, pluralitas bukan alasan untuk terpecah, melainkan bukti bahwa kita memang berbeda dalam wujud, tetapi satu dalam hakikat.
Cinta Tanah Air: Beragam Jalan, Satu Tujuan
Mari kita tengok kembali jejak para tokoh bangsa. Tan Malaka, H.O.S. Cokroaminoto, dan Soekarno memiliki cara berbeda dalam menunjukkan cintanya pada Indonesia. Namun esensinya tetap sama: semua berjuang demi tanah air.
Jika kita menyadari hal ini, maka kita tidak akan mudah terjebak dalam konflik. Kita akan melihat bahwa meskipun jalan kita berbeda, kita memiliki tujuan yang sama: Indonesia yang adil, damai, dan bersatu.
Menjadi Indonesia bukan sekadar soal kewarganegaraan, melainkan soal keberanian untuk menjalankan dharma, memperkuat dialog, dan menjaga rumah bersama. Ketika setiap orang menyadari tanggung jawab dan cinta terhadap negeri ini, barulah kita benar-benar menjadi bangsa yang kuat dalam keberagaman.
Karena pada akhirnya, kita memang berbeda-beda, namun satu dalam jiwa.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
