Coba, bayangkan sebentar: Anda seorang petani di Wonogiri, Jawa Tengah, musim kemarau 2023. Sawah Anda mengering seperti kulit kadal yang terlalu lama berjemur, sumur bor yang dulu mengalir deras kini hanya mengeluarkan suara serak seperti batuk orang tua yang kehabisan nafas. Di televisi, pejabat daerah dengan santai menjelaskan bahwa ini hanya “anomali cuaca” sambil mengelap keringat dengan saputangan bermerk. Sementara itu, di Jakarta, para teknokrat sibuk menghitung ekspor batu bara dan minyak kelapa sawit, seolah air, pangan, energi, dan kesehatan adalah departemen terpisah yang tidak pernah bertemu di koridor gedung pemerintahan.
Inilah realitas Indonesia hari ini: negara yang memiliki segalanya, namun mengelola semuanya seperti Si Kabayan yang mencari kerbau sambil menunggang kerbau. Kita kaya air, tapi krisis air bersih. Subur tanah, tapi impor beras. Berlimpah energi fosil, tapi listrik padam di desa-desa. Negeri yang seharusnya menjadi surga tropis ini malah berubah menjadi laboratorium raksasa untuk mempelajari bagaimana caranya gagal dengan elegan.
Ketika Lima Elemen Menari Sendiri-Sendiri
Konsep “nexus” dalam tata kelola sumber daya sebenarnya sederhana: air, pangan, energi, sampah, dan kesehatan adalah satu kesatuan yang saling terhubung seperti gamelan Jawa yang harmonis. Ketika dalang memainkan satu wayang, seluruh panggung ikut bergerak. Namun di Indonesia, kita memilih untuk memainkan wayang dengan lima dalang sekaligus, masing-masing dengan cerita berbeda, di panggung yang sama.
Ambil contoh kekeringan Wonogiri tadi. Yang terlihat mata adalah sawah kering dan petani mengeluh. Yang tidak terlihat adalah rantai domino yang mulai runtuh: produksi padi turun, harga beras naik, masyarakat urban beralih ke makanan olahan yang lebih murah namun kurang bergizi, tingkat malnutrisi naik, beban kesehatan masyarakat meningkat, anggaran negara tersedot untuk subsidi pangan dan kesehatan, investasi untuk infrastruktur air berkurang, dan lingkaran setan pun berputar seperti becak kusir yang bannya bocor.
Sebaliknya, di Korea Selatan—negara yang dahulu lebih miskin dari Indonesia—mereka telah belajar menari dengan irama yang sama. Program Saemaul Undong mereka di tahun 1970-an bukan hanya membangun infrastruktur, tapi mengintegrasikan pembangunan air, pertanian, energi, dan kesehatan dalam satu gerakan sistemik. Hasilnya? Negara yang dulunya bergantung pada bantuan pangan kini menjadi eksportir teknologi pertanian canggih.
Paradoks Nusantara: Kaya Raya, Miskin Koordinasi
Indonesia adalah negara paradoks yang sempurna untuk dijadikan plot film absurdis karya Sutradara Nia Dinata. Kita memiliki 6% air tawar dunia, tapi 40% penduduk mengalami krisis air bersih. Menguasai 70% cadangan nikel dunia untuk baterai kendaraan listrik, namun desa-desa di NTT masih gelap gulita. Memiliki lahan pertanian seluas Jerman, tapi masih impor beras dari Vietnam—negara yang 40 tahun lalu bertani dengan cangkul bambu.
Seperti keluarga kaya yang tinggal di rumah besar tapi setiap anaknya memasak sendiri-sendiri di kamar masing-masing, kementerian dan lembaga di Indonesia bekerja dalam silo-silo terpisah. Kementerian Energi fokus mengejar target bauran energi terbarukan, sementara Kementerian Pertanian masih sibuk dengan revolusi hijau ala Orde Baru. Kementerian Lingkungan menyerukan pengurangan emisi, namun Kementerian Perindustrian terus mendorong ekspansi industri batu bara. Hasilnya adalah kebijakan yang saling bertabrakan seperti motor di persimpangan tanpa lampu merah.
Bandingkan dengan Singapura, negara tanpa sumber daya alam yang justru menjadi model pengelolaan nexus air-energi-pangan. Mereka mengubah air limbah menjadi air minum (NEWater), memanfaatkan sampah untuk energi, dan mengintegrasikan pertanian vertikal dengan sistem pendingin gedung. “Constraints breed creativity,” kata Lee Kuan Yew dulu. Sementara kita yang tidak terkendala sumber daya malah terkendala kreativitas.
Wonogiri dan Cermin Retak Pengelolaan Nasional
Mari kembali ke sawah kering di Wonogiri. Fenomena ini bukan hanya soal curah hujan yang berkurang, tapi representasi mikro dari kegagalan makro pengelolaan nexus nasional. Ketika aquifer tanah turun drastis, itu bukan karena alam pelit, tapi karena hutan di hulu telah berubah menjadi perkebunan monokultur. Ketika petani kesulitan air irigasi, itu bukan karena sungai kering, tapi karena air telah diprivatisasi untuk industri tekstil di hilir. Ketika produksi pangan turun, itu bukan karena tanah tidak subur, tapi karena sistem distribusi energi tidak mendukung teknologi pertanian modern.
Ironinya, solusi yang ditawarkan pemerintah adalah classic Indonesian problem-solving: “Mari kita bentuk tim koordinasi!” Seolah-olah masalah struktural bisa diselesaikan dengan WhatsApp group antar-kementerian. Tim koordinasi untuk nexus air-pangan-energi ini akan bergabung dengan tim koordinasi penanganan COVID-19, tim koordinasi percepatan investasi, tim koordinasi food estate, dan tim-tim koordinasi lainnya yang jumlahnya sudah seperti pemain sepak bola dalam satu lapangan futsal.
Ambil contoh Program Food Estate di Kalimantan Tengah—sebuah inisiatif yang secara konseptual brilian untuk mengintegrasikan produksi pangan dengan pengelolaan lahan dan air. Namun dalam eksekusinya, program ini justru menjadi contoh sempurna kegagalan nexus: lahan gambut dikonversi tanpa mempertimbangkan dampak hidrologi, sistem irigasi dibangun tanpa koordinasi dengan pengelolaan energi, dan target produksi ditetapkan tanpa analisis dampak lingkungan yang komprehensif. Hasilnya? Investasi triliunan rupiah yang berujung pada lahan telantar dan konflik sosial-ekologis yang berkepanjangan.
Hal serupa terjadi dengan Peta Jalan Energi Nasional yang menargetkan 23% energi terbarukan pada 2025. Dokumen setebal ratusan halaman ini terlihat impresif di atas kertas, namun dalam implementasinya terputus-putus dari strategi pengelolaan air dan ketahanan pangan. Pembangunan PLTS di lahan pertanian dilakukan tanpa kajian dampak terhadap produktivitas pangan, sementara program bioenergi berjalan paralel—bukan sinergis—dengan program ketahanan pangan nasional. Ujung-ujungnya, target energi terbarukan meleset, sektor pertanian terganggu, dan masyarakat bingung harus pilih makan nasi atau menyalakan lampu.
Singapura, Taiwan, dan Pelajaran dari Tetangga yang Tidak Sombong
Sementara kita sibuk menyelenggarakan olimpiade pembentukan tim koordinasi, tetangga-tetangga di Asia Timur telah membuktikan bahwa nexus bukan sekadar konsep akademis, melainkan keharusan survival. Taiwan, dengan luas wilayah seperti Jawa Barat, telah mengintegrasikan manajemen air, pertanian, dan energi sejak era industrialisasi 1980-an. Hasil? Produktivitas pertanian mereka 300% lebih tinggi per hektar dibanding Indonesia, dengan konsumsi air 50% lebih efisien.
Jepang, negara yang harus mengimpor 60% kebutuhan pangannya, justru menjadi eksportir teknologi pertanian presisi dan sistem pengelolaan air terpadu. Mereka menerapkan prinsip “mottainai”—tidak membuang-buang—dalam setiap aspek pengelolaan sumber daya. Seperti kata pepatah Jawa, “aja nganti botak, engko wis ora bisa ditanduri” (jangan sampai gundul, nanti tidak bisa ditanami lagi). Bedanya, orang Jepang tidak hanya berpepatah, tapi juga bertindak.
Korea Selatan bahkan lebih ekstrem. Program K-water mereka mengintegrasikan teknologi blockchain untuk monitoring kualitas air real-time, sistem AI untuk prediksi kebutuhan energi sektor pertanian, dan aplikasi mobile untuk menghubungkan petani dengan pasar langsung. Hasilnya? Efisiensi penggunaan air naik 40%, emisi karbon sektor pertanian turun 30%, dan income petani naik 200% dalam dekade terakhir.
Kita pun pernah punya semangat yang sama saat membangun Proyek Bengawan Solo atau Revolusi Hijau di masa Soeharto, bahkan Program Transmigrasi yang—terlepas dari kontroversinya—menunjukkan kemampuan koordinasi lintas sektor yang luar biasa. Tetapi entah bagaimana irama gotong-royong itu perlahan hilang dalam labirin birokrasi reformasi, tergantikan oleh ego sektoral dan kompetisi antar-kementerian yang justru kontraproduktif.
Orkestrasi versus Karaoke: Pilihan Peradaban
Indonesia hari ini seperti negara yang memilih karaoke ketimbang orkestra. Setiap sektor bernyanyi dengan lagu masing-masing, volume maksimal, tanpa mendengarkan yang lain. Hasilnya adalah _cacophony_ kebijakan yang membuat telinga berdenging dan hati perih. Padahal, yang dibutuhkan adalah konduktor yang mampu membuat seluruh instrumen bermain dalam harmoni.
Pendekatan holistik nexus bukanlah utopia teknokratis yang hanya bisa dipahami oleh PhD dari MIT. Ini adalah common sense yang dikemas dalam framework sistemik. Ketika kita membangun infrastruktur air, apakah sudah diperhitungkan dampaknya terhadap energi dan pertanian? Ketika kita mendorong intensifikasi pertanian, apakah sudah dipetakan kebutuhan air dan energinya? Ketika kita membangun pembangkit listrik, apakah sudah dihitung dampaknya terhadap ketersediaan air untuk pertanian?
Yang dibutuhkan bukanlah tim koordinasi ke-47, melainkan reformasi fundamental pada arsitektur kebijakan nasional. Bayangkan jika Bappenas ditransformasi menjadi semacam “Nexus Command Center” yang dilengkapi dengan sistem data real-time lintas sektor, algoritma prediktif untuk dampak kebijakan, dan kewenangan veto terhadap program yang tidak align dengan prinsip nexus. Setiap proposal pembangunan—mulai dari bendungan di Sumatra hingga pabrik tekstil di Jawa—harus lulus _”stress test nexus”_ sebelum mendapat persetujuan anggaran.
Sayangnya, cara berpikir holistik ini bertabrakan dengan ego sektoral yang telah mengakar kuat dalam birokrasi kita. Setiap kementerian memiliki target kinerja sendiri, anggaran sendiri, dan prestise sendiri untuk dijaga. Meminta mereka berkolaborasi dalam pengelolaan nexus sama sulitnya dengan meminta lima orang berjoget bersama dengan kaki yang diikat—secara teoritis mungkin, secara praktis membuat frustasi.
Epilog: Antara Warisan dan Kutukan
Kita berada di persimpangan sejarah yang tidak akan terulang lagi. Generasi yang lahir tahun 2024 akan hidup di dunia dimana air bersih, pangan bergizi, energi bersih, dan lingkungan sehat bukan lagi hak dasar tapi privilege yang mahal. Mereka akan bertanya kepada kita: mengapa dengan semua kekayaan yang Tuhan berikan, kalian memilih untuk mengelolanya seperti anak-anak yang bermain masak-masakan dengan bahan sungguhan?
Mungkin sudah waktunya kita berhenti bermain peran sebagai bangsa yang kaya raya tapi berpikiran miskin. Berhenti menjadi negara yang memiliki segala-galanya tapi tidak menguasai apa-apa. Meminjam lirik Franky Sahilatua, “Teruslah Indonesia, maju pantang mundur”. Tapi maju ke arah mana? Apakah ke arah pengelolaan nexus yang terintegrasi dan berkelanjutan, ataukah ke arah kehancuran yang terkoordinasi dengan sempurna?
Pilihan ada di tangan kita. Masalahnya, apakah kita masih memiliki waktu untuk memilih, atau waktu telah memilih untuk kita? Seperti kata pepatah Minang, “karatau madang di hulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun.” Jangan sampai kita terus merantau mencari solusi ke luar negeri, sementara di rumah sendiri masalah menumpuk seperti laundry yang tidak pernah dilipat.
Pertanyaan untuk renungan: Jika air, pangan, energi, sampah, dan kesehatan adalah lima jari dalam satu tangan, mengapa kita terus berusaha menggunakan mereka satu per satu untuk menepuk? Kapan kita akan belajar untuk mengepalkan tinju atau minimal bertepuk tangan dengan harmonis?. Mantan Dirut PN Pos (Giyarso Ws). (Oky)