Masjid
Beranda » Berita » Kopiko, Khutbah, dan Mihun Goreng: Kisah dari Masjid Al-Jalil”

Kopiko, Khutbah, dan Mihun Goreng: Kisah dari Masjid Al-Jalil”

Kopiko, Khutbah, dan Mihun Goreng: Kisah dari Masjid Al-Jalil"

Kopiko, Khutbah, dan Mihun Goreng: Kisah dari Masjid Al-Jalil”

 

Diujung kawasan perumahan yang perlahan mulai ditinggalkan warganya karena ancaman banjir tahunan, masih berdiri kokoh sebuah masjid kecil bernama Masjid Al-Jalil. Tidak ada yang istimewa secara arsitektur. Tidak pula megah dalam cat atau perabot. Tapi masjid ini memiliki daya tahan luar biasa—baik secara fisik maupun spiritual.

Langit siang itu tampak biru terang, tapi tanah setapak menuju masjid terlihat retak-retak, kering, dan gersang. Sudah lama hujan tak turun, dan warga pun tak banyak lagi yang tinggal di sekitar situ. Banyak rumah yang kosong, jendela tertutup rapat, pekarangan mulai dikuasai semak liar. Namun dari dalam Masjid Al-Jalil, masih terdengar suara iqamah, lantunan ayat suci, dan sesekali canda anak-anak kecil yang belum paham etika masjid—atau mungkin justru paham tapi terlalu semangat untuk tetap diam.

Strategi Dakwah di Tanah Gersang

Hari itu saya dijadwalkan untuk menjadi khatib di masjid ini. Saya sudah pernah datang sebelumnya, dan saya tahu betul tantangan utamanya bukanlah materi khutbah, tapi “makhluk-makhluk mungil” yang hobi ribut saat khutbah sedang berlangsung. Bukan setan, bukan jin, tapi anak-anak.

Memohon kepada Allah Ilmu yang Bermanfaat

Amanah ini memang tidak mudah. Kalau khutbah terlalu serius, anak-anak mulai gelisah, ngobrol, bahkan main lari-lari kecil di belakang saf. Kalau khutbah dilonggarkan jadi terlalu santai, bisa dianggap kurang wibawa. Maka saya pun menyiapkan satu strategi sederhana: permen Kopiko.

Sebelum naik mimbar, saya panggil anak-anak yang biasa jadi “pasukan gaduh.” Dengan senyum penuh strategi, saya keluarkan segenggam Kopiko dari kantong jubah. Saya bilang:

“Nih, Kopiko. Tapi janji ya, jangan ribut. Diam sampai khutbah selesai. Kalau ada yang ribut, minggu depan gak dapat lagi!”

Wajah-wajah mereka bersinar seketika. Ada yang langsung membuka bungkus dan memasukkan permen ke mulut. Ada yang menyimpannya hati-hati. Saya tahu betul, permen ini bukan hanya penawar ngantuk, tapi juga “senjata dakwah” yang tak kalah penting dari mimbar.

Alhamdulillah, khutbah berlangsung dengan tenang. Tak ada suara gaduh. Tak ada lari-larian. Yang ada hanya gumaman lirih anak-anak yang khusyuk mengisap Kopiko, sementara ayat-ayat khutbah menyapa relung hati yang hadir.

Bermacam-macam Do’a Iftitah

Dakwah Bukan Hanya Tentang Kata-kata

Masjid Al-Jalil ini mengajarkan satu hal yang tidak banyak dibahas dalam buku-buku dakwah: bahwa dalam situasi tertentu, keteladanan dan pendekatan kreatif jauh lebih efektif daripada ceramah yang lantang. Anak-anak ini tidak akan paham konsep “adab ketika khutbah” hanya dari ancaman atau teguran. Tapi dengan pendekatan lembut, mereka mulai belajar secara alami.

Bukankah Rasulullah ﷺ pun melakukan hal serupa? Saat cucu beliau naik ke punggung saat sujud, beliau tidak marah. Ketika anak kecil buang air kecil di masjid, beliau tidak bentak. Ada saatnya kita belajar mendekati hati manusia lewat hal-hal sederhana, seperti sebuah permen.

Bahkan dalam kitab al-Adab al-Mufrad, Imam al-Bukhari mengumpulkan banyak hadits tentang kelembutan, kasih sayang, dan seni berinteraksi. Dan ternyata, berdakwah dengan Kopiko tidak jauh dari semangat itu.

Setelah Khutbah, Mihun Goreng Menanti

Usai khutbah, saya turun dari mimbar. Wajah ibu-ibu di teras masjid tampak cerah. Mereka membawa kotak kecil berisi mihun goreng, lengkap dengan potongan telur dadar dan cabe rawit.

“Ini untuk ustadz, sudah kami siapkan tadi pagi.” kata seorang ibu sambil tersenyum.

Apakah Hasil Cukai Rokok di APBN Bisa Disebut Berkah dan Halal ?

Saya terima dengan senang hati. Perjuangan khutbah yang penuh strategi tadi kini dibayar lunas dengan sejumput kasih ibu-ibu yang luar biasa. Bukan soal rasa mihun—yang memang enak—tapi soal penghargaan, tentang bagaimana umat ini masih tahu cara memuliakan orang yang membawa ilmu walau dengan cara sederhana.

“Sering-sering ke sini ya, ustadz.” ujar seorang ibu lain, yang dari logatnya jelas bukan orang asli kampung situ. Mungkin perantau. Atau mungkin justru veteran pengungsi banjir.

Saya jawab sambil tersenyum: “Siap, insya Allah.”
Namun ternyata, senyum saya terlalu tulus… atau terlalu salah waktu. Karena beberapa ibu malah saling pandang dan tersenyum geli.

Saya pun melangkah ke sepeda motor sambil membawa kotak mihun dan menelan senyum yang rasanya… pahit. Sepertinya bukan karena mihunnya, tapi karena pandangan para ibu yang membuat saya merasa jadi objek candaan diam-diam. Ah, beginilah nasib khatib lajang.

Makna di Balik Kesederhanaan

Masjid Al-Jalil mungkin tidak akan pernah viral di media sosial. Tidak akan muncul di feed Instagram dengan caption estetik dan lighting sempurna. Tapi di sana ada denyut kehidupan umat yang nyata. Di sana, dakwah bukan soal panggung besar atau followers berjuta. Tapi soal bagaimana menyentuh hati, satu demi satu.

Kadang, kita terlalu sibuk mengejar konsep besar tentang “perubahan umat,” tapi lupa bahwa perubahan itu seringkali bermula dari hal kecil—seperti membagikan permen Kopiko, khutbah yang sabar, dan kotak mihun goreng dari ibu-ibu kampung.

Masjid Al-Jalil mengingatkan saya bahwa iman itu tidak selalu tumbuh dalam suasana sempurna. Kadang justru di tempat yang terpinggirkan, yang nyaris ditinggalkan, iman tumbuh lebih kuat karena ujian dan keterbatasan.

Dan seperti anak-anak yang belajar diam lewat manisnya Kopiko, kita pun bisa belajar bahwa hikmah bisa hadir dari hal remeh—asal hati kita mau menerima dan membaca.

Penutup: Semoga Allah menjaga Masjid Al-Jalil dan masjid-masjid lain yang tetap hidup meski sekelilingnya mulai sepi. Semoga anak-anak yang hari ini diam karena permen, kelak menjadi para imam yang teguh karena iman. Dan semoga kita, para dai, tidak pernah berhenti belajar—bahwa dakwah tidak hanya soal kata-kata, tapi juga keikhlasan, pendekatan, dan sering kali… sedikit humor dan mihun goreng. Wallahu a’lam bis shawab. (Iskandar)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement