Kisah
Beranda » Berita » Kisah Kafarat Amir Andalusia: Ketika Fiqih Menjadi Alat Pendidikan Karakter

Kisah Kafarat Amir Andalusia: Ketika Fiqih Menjadi Alat Pendidikan Karakter

Ilustrasi

SURAU.CO – Sejarah peradaban Islam di Andalusia menyimpan banyak hikmah. Salah satunya adalah kisah kafarat Amir Andalusia, Abdurrahman bin Al-Hakam. Kisah ini menunjukkan kecerdasan dan keberanian seorang ulama. Ia memberikan fatwa yang tidak biasa. Tujuannya bukan sekadar menggugurkan kewajiban. Namun, untuk mendidik karakter seorang penguasa. Peristiwa ini menjadi cerminan agung tentang fleksibilitas fiqih.

Dilema Sang Amir di Bulan Suci

Kisah bermula di istana megah Andalusia. Amir Abdurrahman bin Al-Hakam II sedang dirundung gelisah. Ia adalah seorang penguasa yang dihormati. Namun, ia juga manusia biasa yang tak luput dari khilaf. Sang Amir menghadapi sebuah masalah yang sangat pelik. Hatinya gundah gulana karena sebuah pelanggaran besar.

Di suatu siang pada bulan suci Ramadhan, ia telah gagal. Ia tidak sanggup menahan hasrat birahinya. Sang Amir melakukan hubungan seksual dengan budak perempuannya. Perbuatan ini jelas membatalkan puasanya. Lebih dari itu, perbuatan tersebut menuntut tebusan dosa (kafarat) yang berat. Sadar akan kesalahannya, sang Amir tidak tinggal diam. Ia segera mengundang para ahli fiqih terkemuka di negerinya. Ia ingin mencari jalan taubat dan cara membayar kafarat.

Fatwa Tegas Yahya bin Yahya Al-Laitsi

Para ulama terbaik berkumpul di kediaman sang Amir. Suasana terasa hening dan penuh hormat. Sang Amir kemudian mengutarakan masalah pribadinya. Ia mengakui perbuatannya dengan penuh penyesalan. Ia bertanya tentang cara bertaubat dan melunasi kafarat atas dosanya.

Para ulama terdiam sejenak. Mereka memikirkan jawaban yang tepat. Kemudian, seorang ulama bernama Yahya bin Yahya Al-Laitsi angkat bicara. Ia menatap sang Amir dengan pandangan yang tajam namun menenangkan. Dengan suara yang tegas, Yahya memberikan fatwanya.

Kisah Nama Abu Hurairah: Dari Pecinta Kucing Menjadi Penjaga Hadis

“Selain bertaubat kepada Allah dengan sungguh-sungguh, Engkau harus berpuasa dua bulan berturut-turut,” kata Yahya bin Yahya Al-Laitsi.

Jawaban itu mengejutkan. Ulama-ulama lain yang hadir hanya diam. Tak seorang pun berani menyanggah fatwa Yahya. Mereka semua tahu ada pilihan lain yang lebih ringan. Namun, mereka memilih untuk tidak menginterupsi di hadapan sang Amir. Majelis itu pun berakhir dengan ketetapan tersebut.

Hikmah di Balik Pilihan Terberat

Begitu para ulama keluar dari kediaman sang Amir, suasana berubah. Beberapa dari mereka segera menghampiri Yahya bin Yahya. Mereka merasa penasaran dan sedikit tidak setuju. Mereka pun memberanikan diri untuk bertanya.

“Mengapa engkau tadi tidak memberikan fatwa berdasarkan Imam Malik? Sehingga ia bisa memilih tiga saksi secara berurutan: memerdekakan budak, atau memberikan makan sejumlah orang miskin, baru berpuasa selama dua bulan berturut-turut.”

Pertanyaan itu sangat beralasan. Dalam mazhab Maliki, kafarat untuk pelanggaran tersebut memang berurutan. Pelaku bisa memilih memerdekakan budak. Jika tidak mampu, ia bisa memberi makan 60 orang miskin. Pilihan terakhir barulah berpuasa dua bulan berturut-turut.

Pasca Wafatnya Rasulullah: Sikap Abu Bakar Menghadapi Kemurtadan

Yahya tersenyum mendengar pertanyaan rekan-rekannya. Ia lalu memberikan penjelasan yang menunjukkan kedalaman ilmunya. Jawabannya bukan hanya berlandaskan teks hukum. Namun, juga pemahaman mendalam terhadap kondisi psikologis sang penanya.

“Kalau itu yang aku sampaikan, keenakan dia, mungkin setiap hari akan mengulangi perbuatannya itu karena baginya memerdekakan budak itu masalah yang ringan. Aku sengaja pilihkan yang paling berat, supaya tidak mengulanginya lagi,” jawab Yahya.

Ijtihad Ulama yang Melampaui Zaman

Jawaban Yahya membuka mata para ulama lain. Mereka sadar, Yahya tidak sedang mengubah hukum. Ia sedang melakukan ijtihad yang kontekstual. Ia menerapkan hukum dengan mempertimbangkan siapa yang bertanya. Bagi seorang Amir yang kaya raya, memerdekakan budak bukanlah beban. Memberi makan orang miskin juga perkara yang sangat mudah.

Jika Yahya memberikan opsi paling ringan, esensi dari kafarat akan hilang. Kafarat seharusnya menjadi penebus dosa sekaligus pelajaran berharga. Ia harus memberikan efek jera agar perbuatan serupa tidak terulang. Hukuman puasa selama 60 hari berturut-turut adalah tantangan fisik dan mental. Ini adalah pilihan yang akan benar-benar dirasakan berat oleh seorang penguasa sekalipun.

Kisah kafarat Amir Andalusia ini mengajarkan kita banyak hal. Fiqih bukanlah sekadar aturan yang kaku. Ia adalah disiplin ilmu yang hidup dan dinamis. Seorang ahli fiqih (faqih) harus mampu memahami konteks. Ia harus bisa memberikan solusi yang paling maslahat.

Penaklukan Thabaristan (Bagian 2): Kemenangan di Era Umayyah

Yahya bin Yahya Al-Laitsi menunjukkan kualitas seorang ulama sejati. Ia berani, cerdas, dan memiliki visi pendidikan. Fatwanya menjadi bukti bahwa hukum Islam bertujuan untuk memperbaiki dan mengangkat derajat manusia, bukan sekadar menghukum.

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement