Mode & Gaya
Beranda » Berita » “NGOPI”. Dari Elit Kolonial ke Ritus Sosial Milenial

“NGOPI”. Dari Elit Kolonial ke Ritus Sosial Milenial

Kopi lebih dari sekedar minuman. Ngopi mengalami transformasi nilai dari elit kolonial ke ritus sosial kaum milenial. Sumber Gambar : Internet

SURAU.CO – Ngopi, sebuah aktivitas sederhana yang dulu terkesan eksklusif, kini telah menjelma menjadi bagian dari ritus sosial yang merasuk ke berbagai lapisan masyarakat, terutama generasi milenial. Dari meja-meja marmer rumah bangsawan kolonial hingga kedai-kedai bergaya industrial di sudut kota, secangkir kopi menyimpan sejarah panjang tentang kelas, identitas, dan transformasi budaya. Ngopi mengalami transformasi nilai dari elit kolonial ke ritus sosial kaum milenial.

Memasuki era digital saat ini, ngopi menemukan ruh baru. Generasi milenial mempopulerkan budaya coffee shop sebagai ruang kerja, ruang temu, pertemanan, bahkan aktualisasi diri. Minuman yang dulu eksklusif kini tersedia dalam berbagai varian dan harga—dari kopi tubruk kaki lima hingga cold brew artisan seharga puluhan ribu rupiah.

Media sosial ikut mendorong transformasi ini. Secangkir kopi tak lagi hanya soal rasa, tetapi juga tentang visual, lokasi, dan narasi indah. Ngopi menjadi pengalaman estetika dan ruang sosial: difoto, dibagikan, dan dibicarakan.

Kopi, Dari Perkebunan ke Meja Elit Kolonial

Kopi pertama kali sampai ke Indonesia oleh Belanda pada akhir abad ke-17. Tanaman ini kemudian menjadi komoditas utama dalam sistem tanam paksa (cultuurstelsel), terutama di Jawa. Ironisnya, meski rakyat pribumi menjadi produsen utama kopi melalui kerja paksa, mereka tidak memiliki akses terhadap hasil kerja mereka sendiri. Kopi justru menjadi simbol kemewahan di kalangan pejabat kolonial dan bangsawan Eropa.

Pada masa itu, ngopi merupakan aktivitas dengan etiket tinggi dan dalam suasana formal. Perjamuan kopi menjadi bagian dari gaya hidup kolonial, dengan meja-meja berlapis linen putih, porselen impor, dan perbincangan elite. Aktivitas ini menunjukkan bagaimana konsumsi kopi mencerminkan relasi kuasa dan kelas sosial. Bagi kalangan bawah, kopi masih menjadi barang asing dan jauh dari keseharian.

Fenomena Suami Takut Istri: Meneladani Sikap Sahabat Nabi dan Psikologi Modern

Ngopi pada masa itu adalah aktivitas kelas atas—seremonial, berjarak, dan penuh etiket. Ia menjadi simbol status, bukan sekadar soal rasa atau energi. Rakyat pribumi nyaris tidak punya akses terhadap minuman yang mereka tanam sendiri.

Ngopi Sebagai Budaya Perlawanan

Seiring waktu, kedai kopi mulai tumbuh sebagai ruang diskusi dan perlawanan. Di era pergerakan nasional, warung kopi menjadi tempat berkumpulnya para aktivis dan intelektual. Meskipun tidak semewah cafe ala Eropa, kopi lokal menjembatani gagasan dan solidaritas. Ngopi menjadi jembatan dari konsumsi ke kontestasi, dari barang dagangan kolonial ke simbol identitas lokal.

Memasuki abad ke-20, warung kopi atau kedai sederhana mulai bermunculan di berbagai kota dan desa. Tempat ini menjadi lebih dari sekadar lokasi untuk membeli minuman panas. Ia menjadi ruang sosial tempat para buruh, petani, sopir, dan warga biasa berkumpul. Ngopi di warung menjadi medium berinteraksi, berbagi kabar, bahkan berdiskusi tentang isu-isu politik dan sosial.

Pada masa pergerakan nasional, banyak aktivis dan tokoh pergerakan berkumpul di warung kopi untuk berdiskusi secara informal. Dengan suasana yang cair dan akrab, ngopi menjadi bentuk perlawanan kultural terhadap simbol-simbol kolonialisme. Kopi lokal mulai mendapat tempat sebagai bagian dari identitas bangsa.

Tumbuhnya Pergerakan Nasional Dari Warung Kopi

Warung kopi di masa pergerakan bukan sekadar tempat minum dan bersantai, melainkan ruang diskusi. Di kota-kota seperti Batavia (Jakarta), Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya, banyak warung kopi menjadi tempat berkumpulnya para mahasiswa, aktivis, dan intelektual muda.

Budaya Workaholic: Mengancam Kesehatan Tubuh dan Kualitas Ibadah

Tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka sangat akrab dengan ruang-ruang diskusi nonformal seperti warung kopi. Di sinilah ide tentang kemerdekaan, nasionalisme, dan keadilan sosial didiskusikan secara hangat dan egaliter. Dalam suasana yang tidak kaku, warung kopi memungkinkan dialog lintas kelas dan generasi.

Misalnya, di daerah Menteng dan Kwitang di Batavia, banyak warung kopi menjadi tempat bertemunya kaum pergerakan dari berbagai latar belakang. Di Bandung, lingkungan sekitar Technische Hoogeschool (sekarang ITB) memiliki banyak tempat ngopi yang menjadi pusat pertukaran pemikiran progresif di kalangan mahasiswa.

Warung Kopi dan Pergerakan Nasional Di Batavia

Beberapa warung kopi dan tempat ngopi di Jakarta (dulu Batavia) yang sering menjadi tempat berkumpulnya kaum pergerakan dan intelektual pada masa pergerakan nasional (awal abad ke-20) antara lain:

  1. Kongsi Tiga. Warung Kopi di kawasan Pasar Baru, Batavia. Sering menjadi tempat diskusi para tokoh Indische Partij dan organisasi pergerakan awal, termasuk Tiga Serangkai: Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi), Tjipto Mangunkusumo, dan Soewardi Soerjaningrat. Warung kopi ini disebut-sebut sebagai tempat bertukar gagasan dan menulis artikel-artikel tajam untuk media pergerakan seperti De Express.
  2. Toko Buku dan Warung Kopi milik Gunung Agung (pra-kemerdekaan). Meski lebih aktif menjelang masa kemerdekaan, Toko Gunung Agung di kawasan Kwitang dulu juga berfungsi ganda sebagai tempat berkumpul dan diskusi. Di dalamnya ada pojok ngopi sederhana, yang menjadi tempat debat dan perbincangan antara para mahasiswa, penulis, dan aktivis.
  3. Warung Kopi di Sekitar Kwitang & Cikini. Kawasan Kwitang dan Cikini menjadi pusat intelektual dan penerbitan. Banyak warung kopi kecil dan lesehan di pinggir jalan yang menjadi tempat berdiskusi mahasiswa STOVIA, wartawan, dan tokoh pergerakan. Kawasan ini dekat dengan Balai Pustaka dan Perpustakaan Nasional, sehingga strategis bagi para pemuda yang terlibat dalam gerakan literasi dan politik. 
  4. Gedung Kramat 106 (Cikini). orang menyebutnya sebagai Asrama Pergerakan Pemuda, tempat lahirnya Sumpah Pemuda (1928). Meski bukan warung kopi dalam arti harfiah, di dalam asrama ini ada ruang kecil tempat menyeduh kopi dan berdiskusi yang sering menjadi ajang pertukaran ide oleh tokoh-tokoh seperti Mohammad Yamin, Amir Sjarifuddin, dan Sutan Sjahrir. Kegiatan ngopi menjadi bagian dari ritus harian intelektual muda yang tinggal di sana.
  5. Warung Kopi di Kebon Sirih & Tanah Abang. Di daerah ini banyak terdapat percetakan dan kantor surat kabar, seperti Medan Prijaji, media milik Tirto Adhi Soerjo. Para penulis, aktivis, dan pekerja media sering berkumpul di warung kopi sekitar untuk berdiskusi dan merancang tulisan-tulisan perlawanan terhadap pemerintah kolonial.

Transformasi Kopi di Era Milenial

Kini, budaya ngopi mengalami transformasi besar yang terpicu oleh dua hal: perubahan gaya hidup dan pengaruh teknologi digital. Generasi milenial—yang lahir antara awal 1980-an hingga pertengahan 1990-an—memainkan peran sentral dalam transformasi ini. Bagi mereka, ngopi tidak lagi hanya soal minuman, tetapi juga soal suasana, estetika, dan pengalaman sosial.

Kedai kopi menjamur di kota-kota besar, mengusung konsep kekinian, desain interior yang instagramable, dan menu kopi yang beragam, dari espresso, latte, hingga manual brew dengan biji kopi lokal pilihan. Kedai kopi menjadi “ruang ketiga”—tempat di luar rumah dan kantor—di mana orang bisa bekerja, belajar, bertemu, atau sekadar bersantai.

Frugal Living: Seni Hidup Sederhana dan Secukupnya

Media sosial juga memperkuat budaya ini. Foto-foto secangkir kopi dengan latar estetik menjadi bagian dari narasi digital kaum milenial. Ngopi menjadi simbol gaya hidup urban, kreatif, dan terbuka. Tak jarang, pilihan tempat ngopi bahkan menjadi representasi dari kelas sosial dan selera kultural seseorang.

Kopi, Antara Gaya Hidup dan Identitas

Fenomena ngopi hari ini merepresentasikan gaya hidup urban, namun juga menumbuhkan kesadaran akan asal-usul kopi itu sendiri. Gerakan kopi lokal, third wave coffee, dan kampanye fair trade mendorong konsumen untuk tidak hanya menikmati, tetapi juga memahami. Dari mana biji kopi berasal? Siapa petaninya? Bagaimana praktik keberlanjutan dalam industri ini?

Kopi lebih dari sekedar minuman. Ngopi bukan lagi sekadar aktivitas minum kopi. Ia adalah cermin sejarah, budaya, dan kelas sosial. Dari minuman elit kolonial yang penuh jarak, menjadi ritus sosial milenial yang inklusif, cair, dan terus berevolusi. Dalam setiap tegukan Kopi kini, seakan mengolah ulang  warisan budaya yang menjadi bagian dari identitas generasi baru.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement