“Menegur Itu Seni Jiwa: Hikmah di Balik Perbedaan dan Cara Menyikapinya”.
Dalam kehidupan ini, perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Setiap manusia diciptakan dengan fitrah dan latar belakang yang unik. Maka tidak heran jika kita menemui perbedaan pandangan dalam banyak aspek: dalam keluarga, di antara sahabat, di tengah organisasi, hingga dalam interaksi di media sosial. Perbedaan ini tidak selalu menunjukkan siapa yang salah dan siapa yang benar. Yang lebih penting adalah bagaimana kita menyikapi perbedaan tersebut dengan adab dan akhlak yang mulia.
Perbedaan Adalah Sunnatullah
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
> “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan mereka satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji mereka terhadap apa yang telah diberikan-Nya kepada mereka, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (QS. Al-Ma’idah: 48)
Ayat ini menegaskan bahwa perbedaan bukan sesuatu yang harus ditakuti atau dihindari. Justru perbedaan adalah ruang untuk kita mengembangkan kebaikan, menunjukkan kelapangan hati, dan melatih akhlak dalam menyikapi perbedaan.
Rasulullah ﷺ hidup di tengah masyarakat yang beragam — ada yang menentang, ada yang menyakiti, ada pula yang akhirnya menerima dakwah dengan hati yang terbuka. Namun tidak sekalipun Rasulullah ﷺ menanggapi perbedaan itu dengan emosi yang tidak terkendali atau cacian yang menyakitkan. Bahkan terhadap musuh-musuhnya sekalipun, beliau menunjukkan kelapangan hati dan kesantunan dalam menyampaikan kebenaran.
Menegur Itu Seni Jiwa
Menegur bukan hanya soal menyampaikan bahwa sesuatu itu salah, tapi bagaimana menyampaikannya dengan cara yang tidak menyakiti. Ini adalah seni yang hanya bisa dilakukan oleh jiwa yang bening, yang telah belajar menyelaraskan akal dan hati.
Dalam Islam, konsep Adabul Ikhtilaf (adab dalam perbedaan) bukan hanya sekadar teori dalam kitab, tetapi cerminan nyata dari akhlak Rasulullah ﷺ. Di sinilah terlihat bahwa seni dalam menegur membutuhkan tiga hal penting:
1. Niat yang Ikhlas
Tujuan menegur adalah untuk memperbaiki, bukan untuk mempermalukan. Maka sebelum lisan kita berbicara, hati harus bersih dari niat untuk menghakimi atau membalas dendam.
2. Pilihan Kata yang Bijak
Al-Qur’an mengajarkan kita:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik…” (QS. An-Nahl: 125)
Kata-kata yang baik bisa menembus hati, sedangkan ucapan yang kasar akan menutup pintu penerimaan.
3. Waktu dan Tempat yang Tepat
Tidak semua teguran harus dilakukan di depan umum. Menegur secara pribadi seringkali lebih efektif dan menjaga kehormatan orang lain.
Psikologi Jiwa dalam Menegur
Seorang psikolog muslim akan memahami bahwa setiap manusia memiliki lapisan kejiwaan yang berbeda. Ada orang yang mudah menerima masukan, ada pula yang sensitif dan mudah terluka. Maka dalam seni menegur, penting untuk memperhatikan karakter lawan bicara.
Jika seseorang sedang dalam kondisi emosi, maka menegur saat itu hanya akan menambah api dalam sekam.
Jika seseorang sedang merasa bersalah, maka menegur dengan empati bisa menjadi titik balik perbaikan.
Rasulullah ﷺ pernah menegur seorang sahabat yang kencing di dalam masjid — sebuah perbuatan yang secara logika sangat tidak pantas. Tapi Rasulullah ﷺ tidak langsung membentak atau mengusir, melainkan membiarkannya selesai, lalu menasihati dengan penuh kelembutan. Itulah akhlak yang agung.
Perbedaan Tidak Harus Menghancurkan Persaudaraan
Hari ini, banyak hubungan yang retak hanya karena beda pandangan: dalam rumah tangga, komunitas, hingga sesama umat Islam. Padahal, para sahabat Nabi ﷺ pun pernah berbeda pendapat — bahkan dalam hal fikih dan strategi perang — namun mereka tidak pernah saling membenci.
Ulama seperti Imam Syafi’i, Imam Malik, dan Imam Abu Hanifah memiliki perbedaan pendapat yang tajam dalam hukum-hukum Islam. Tapi lihatlah bagaimana adab mereka dalam menyikapi perbedaan itu. Imam Syafi’i pernah berkata:
> “Pendapatku benar tapi mengandung kemungkinan salah, dan pendapat orang lain salah tapi mengandung kemungkinan benar.”
Ucapan ini mencerminkan keluasan hati dan kedalaman akhlak dalam menyikapi perbedaan. Ia bukan hanya tentang benar atau salah, tapi bagaimana kita tetap menjaga ukhuwah (persaudaraan) di atas perbedaan yang ada.
Cermin Akhlak Rasulullah ﷺ
Rasulullah ﷺ adalah sebaik-baik contoh dalam menghadapi manusia yang berbeda. Beliau tidak hanya berakhlak kepada yang sependapat, tapi juga kepada yang menentang. Bahkan kepada orang kafir Quraisy yang menyakiti, beliau tidak membalas dengan dendam, tapi dengan kesabaran dan doa.
Seni menegur seperti inilah yang mencerminkan jiwa yang matang. Bukan hanya pandai menyalahkan, tetapi juga pandai memperbaiki. Bukan hanya menunjukkan kesalahan, tetapi juga mengajak dengan kasih sayang.
Menjaga Adab di Era Media Sosial
Hari ini, perbedaan pendapat sangat mudah tersulut di media sosial. Banyak yang terburu-buru menegur tanpa adab, bahkan menyerang pribadi lawan bicara dengan kata-kata yang menyakitkan. Padahal, media sosial hanya merekam kata — bukan nada, ekspresi, atau niat.
Karenanya, kita harus lebih hati-hati dalam menegur di ruang digital. Jangan jadikan status atau komentar sebagai ladang dosa karena mencela atau memaki. Lebih baik diam daripada menyakiti. Lebih baik mengajak dengan hikmah daripada menghujat tanpa faedah.
Kiat Praktis Menegur dengan Adab
1. Tanyakan pada diri sendiri: Apakah teguran ini benar-benar perlu? Apakah tujuannya jelas dan akan membawa manfaat?
2. Berdoalah sebelum menegur, agar hati kita dijaga dari niat yang salah dan lisan kita dijaga dari ucapan yang menyakitkan.
3. Sampaikan dengan empati, bayangkan jika posisi kita dibalik — apakah kita akan siap menerima teguran yang sama?
4. Gunakan pendekatan yang sesuai, seperti memberi nasihat lewat cerita, pertanyaan retoris, atau memberi contoh dari tokoh yang dihormati.
5. Berikan solusi, jangan hanya menunjukkan kesalahan tapi tunjukkan arah perbaikannya.
6. Berilah waktu untuk merenung, tidak semua orang bisa langsung menerima masukan.
Akhir Kata: Menegur Adalah Dakwah Jiwa
Menegur bukan hanya soal benar atau salah. Ia adalah seni dalam menjaga hati, seni dalam memperbaiki diri dan orang lain. Jika dilakukan dengan adab, menegur akan menjadi jalan menuju kebaikan. Tapi jika dilakukan tanpa jiwa, menegur bisa menjadi sumber luka.
Mari kita belajar dari Rasulullah ﷺ — sang guru kehidupan yang mengajarkan bahwa adab lebih tinggi dari ilmu, dan kelembutan lebih kuat dari kata-kata keras. Karena sejatinya, menegur itu bukan soal lidah, tapi soal jiwa. (Tengku Iskandar, M.Pd)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
