Khazanah
Beranda » Berita » Menangis di Malam Hari, Murah Senyum di Siang Hari (Refleksi Akhlak dari Kalbu yang Terhubung pada Allah)

Menangis di Malam Hari, Murah Senyum di Siang Hari (Refleksi Akhlak dari Kalbu yang Terhubung pada Allah)

Menangis di Malam Hari, Murah Senyum di Siang Hari (Refleksi Akhlak dari Kalbu yang Terhubung pada Allah)

“Menangis di Malam Hari, Murah Senyum di Siang Hari”: Sebuah Refleksi Akhlak dari Kalbu yang Terhubung pada Allah.

 

 

“Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling banyak menangis di malam hari dan murah senyum di siang hari.”
(Imam Adz-Dzahabi)

Kalimat sederhana dari ulama besar Imam Adz-Dzahabi ini menyimpan kedalaman makna yang tak sekadar nasihat, tetapi juga cermin dari kehidupan ruhani seorang hamba yang dekat dengan Allah. Di dalamnya tergambar keseimbangan antara kesalehan pribadi dan kemuliaan sosial. Di malam hari, ia tenggelam dalam tangisan di hadapan Rabb-nya, sedangkan di siang hari, ia hadir sebagai sosok yang membagikan senyum dan kebaikan bagi sesama.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Lalu, apa makna dari menangis di malam hari dan murah senyum di siang hari? Bagaimana kita memaknainya dalam kehidupan sehari-hari sebagai seorang Muslim?

Tangisan di Malam Hari: Bukti Kelembutan Hati dan Rasa Takwa.

Tangisan dalam kesendirian malam adalah tanda kehidupan hati. Ia bukan sekadar air mata yang jatuh karena duka, tapi ia adalah tetesan jujur dari rasa takut, harap, dan cinta yang begitu dalam kepada Allah. Orang-orang seperti ini memahami bahwa malam adalah waktu terbaik untuk mendekat kepada Allah, di saat manusia tertidur, mereka justru bangun untuk bersimpuh, mengadukan dosa, mengungkap rindu kepada akhirat, dan merintih dalam istighfar.

Allah SWT berfirman:

> “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (Surat As-Sajdah: 16)

Tangisan malam adalah amalan para Nabi dan orang-orang saleh. Nabi Muhammad ﷺ sendiri dikenal sebagai orang yang banyak menangis di malam hari, meskipun beliau telah dijamin masuk surga. Beliau menangis bukan karena takut tak masuk surga, tapi karena cinta yang dalam kepada Rabb-nya dan tanggung jawab yang besar terhadap umatnya.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Menangis dalam doa, dalam tahajud, atau dalam perenungan hidup adalah tanda bahwa hati kita belum mati. Ia membuktikan bahwa masih ada rasa takut kepada neraka, masih ada rasa malu karena dosa, dan masih ada harapan ampunan dari Allah.

Murah Senyum di Siang Hari: Wajah yang Membawa Kedamaian

Senyum adalah bahasa universal kasih sayang. Islam mengajarkan bahwa senyum adalah sedekah, sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

> “Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah.”
(HR. At-Tirmidzi)

Bayangkan, seorang hamba yang semalam menangis karena merasa kerdil di hadapan Allah, di pagi harinya ia bangkit dan hadir di tengah masyarakat dengan wajah ramah dan penuh cinta. Ia tidak menampakkan kesedihannya. Ia tidak mengeluh pada dunia. Justru ia menjadi penyejuk, menjadi pelipur lara bagi orang lain, bahkan mungkin menjadi tempat sandaran dan inspirasi bagi orang-orang di sekitarnya.

Orang yang murah senyum menandakan bahwa ia tidak egois. Ia telah menyelesaikan urusan batinnya dengan Tuhannya di malam hari, sehingga di siang hari ia hadir bagi manusia lain dengan hati yang lapang. Ia adalah gambaran dari keseimbangan antara hablum minallah dan hablum minannas.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Menyulam Keseimbangan antara Dunia dan Akhirat

Seseorang yang bisa menangis di malam hari namun tetap bisa tersenyum di siang hari adalah seseorang yang memiliki kematangan spiritual. Ia tidak larut dalam kesedihan, tidak memamerkan kesalehan, dan tidak membebani orang lain dengan perasaan-perasaan berat yang seharusnya hanya dipersembahkan kepada Allah.

Ia tahu bahwa tempat mengadu adalah kepada Allah, bukan kepada manusia. Ia memilih untuk tidak membebani orang lain dengan kesulitannya, melainkan justru berusaha meringankan beban orang lain. Hatinya mungkin penuh luka, tapi wajahnya tetap cerah.

Betapa indahnya pribadi seperti ini, yang hidupnya benar-benar menjadi rahmat bagi alam. Di malam hari ia menyucikan dirinya, dan di siang hari ia menyinari dunia dengan amal dan akhlaknya.

Akhlak Tinggi yang Lahir dari Kedalaman Iman

Dalam ilmu tasawuf, tangisan malam disebut sebagai “zuhud”—bukti bahwa seseorang telah melepaskan ketergantungan kepada dunia. Sedangkan senyum di siang hari disebut sebagai “akhlaq mahmudah”, bentuk ekspresi cinta dan kasih terhadap makhluk Allah.

Kedua hal ini tidak bisa dipisahkan. Jangan sampai seorang hamba rajin menangis di malam hari tapi angkuh dan masam di hadapan manusia. Begitu juga jangan sampai kita hanya bisa tersenyum, tapi lupa menangis dalam munajat malam. Keduanya harus berjalan seiring.

Imam Hasan Al-Bashri berkata:

“Aku tidak melihat seseorang yang paling banyak shalat malam kecuali wajahnya bersinar di siang hari dengan cahaya ketundukan kepada Allah.”

Meneladani Para Kekasih Allah

Coba perhatikan para ulama dan orang-orang saleh sepanjang sejarah. Mereka bukan hanya kuat ilmunya, bukan hanya rajin ibadahnya, tapi juga ramah dan lembut kepada sesama. Mereka mengerti bahwa akhlak adalah manifestasi dari ibadah yang benar. Semakin seseorang mengenal Allah, maka semakin rendah hati dan penyayang ia kepada manusia.

Mereka tidak marah karena hal dunia, tidak mudah tersinggung, tidak sibuk menilai orang lain, dan tidak gemar membanggakan ibadahnya. Karena tangisan mereka di malam hari telah membersihkan jiwa mereka dari ujub dan riya.

Mari Jadi Hamba yang Lembut di Hadapan Allah dan Ramah kepada Sesama

Hari ini, banyak orang yang terlihat keras dalam dakwah, marah dalam mengingatkan, sinis dalam menegur, bahkan menampakkan wajah masam seolah-olah sedang mengusung beban dunia di pundaknya. Padahal Islam mengajarkan kelembutan, keramahan, dan cinta.

Menangislah di hadapan Allah, bukan di hadapan manusia. Adukan segala kelemahanmu kepada-Nya, bukan kepada media sosial. Dan saat kau keluar dari sejadahmu, jadilah seperti matahari yang memberi hangat kepada siapa saja, meskipun hatimu penuh luka. Itulah kekuatan sejati seorang hamba.

Penutup: Menjadi Manusia Terbaik Menurut Timbangan Allah

Mari kita renungkan kembali nasihat Imam Adz-Dzahabi tersebut:

> “Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling banyak menangis di malam hari dan murah senyum di siang hari.”

Karena pada akhirnya, Allah tidak menilai siapa yang paling banyak bicara soal agama, tapi siapa yang paling lembut hatinya kepada Allah dan paling indah akhlaknya kepada manusia.

Mari kita hidupkan malam dengan tangis rindu kepada Allah, dan kita cerahkan siang dengan senyum tulus untuk manusia. Itulah jalan para kekasih Allah, dan semoga kita pun termasuk di dalamnya. Aamiin. #MunajatMalam #SenyumSiang #TasawufNusantara #AkhlakKarimah #CintaIlahi. (Tengku Iskandar,  M.Pd)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement