SURAU.CO–Imam Abu Hamid Al-Ghazali, ulama besar dari Thus (Iran) yang hidup pada abad ke-5 H, dikenal sebagai tokoh pembaharu pemikiran Islam. Ia tidak hanya menguasai fikih dan teologi, tetapi juga mendalami filsafat serta menyelami tasawuf. Julukan Hujjatul Islam melekat padanya karena pengaruh dan kedalaman ilmunya.
Karya Bidayatul Hidayah ditulis sebagai panduan awal bagi penuntut ilmu dan pencari kebenaran. Kitab ini menyuguhkan adab-adab harian yang sederhana namun mengandung makna mendalam. Secara historis, kitab ini menjadi gerbang untuk memahami karya utamanya: Ihya Ulumuddin.
Memulai Hari dengan Kesadaran Ilahi
Imam Al-Ghazali memulai kitab ini dengan adab bangun tidur. Ia menyampaikan pesan penting:
فَإِذَا اسْتَيْقَظْتَ مِنْ نَوْمِكَ فَلاَ تَكُنْ هِمَّتُكَ التَّلَذُّذَ بِالنَّوْمِ، بَلِ اشْكُرِ اللهَ عَلَى أَنْ أَحْيَاكَ بَعْدَ مَا أَمَاتَكَ.
“Jika engkau terbangun dari tidur, jangan langsung ingin kembali tidur. Namun, bersyukurlah kepada Allah yang telah menghidupkanmu kembali setelah mematikanmu sementara.”
Pesan ini sangat relevan di era serba cepat seperti sekarang. Banyak orang memulai pagi dengan terburu-buru, tanpa kesadaran bahwa bangun tidur adalah karunia. Imam Al-Ghazali mengajak kita berhenti sejenak, mengakui rahmat Allah, dan memulai hari dengan hati yang lapang.
Bagi saya pribadi, saat terjaga di pagi buta dan mendengar kokok ayam, ada rasa syukur yang tak terucap. Saya masih diberi waktu. Masih ada halaman kehidupan yang belum selesai. Setiap pagi menjadi kesempatan baru untuk memperbaiki niat dan arah hidup.
Doa Bangun Tidur Sebagai Kunci Spiritual Menyambut Hari
Al-Ghazali tak sekadar mengajarkan adab, tetapi juga membiasakan hati dengan doa. Ia menganjurkan membaca:
الْـحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
“Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami kembali setelah mematikan kami, dan hanya kepada-Nya kami kembali.”
Doa ini sederhana, namun sarat makna. Ia menyadarkan bahwa hidup hanyalah jeda sejenak dalam perjalanan menuju akhirat. Setiap bangun tidur bukanlah hal biasa. Ada amanah baru yang Allah titipkan. Kita diberi waktu tambahan untuk memperbaiki diri.
Sayangnya, banyak orang lebih dulu menyentuh gawai dibanding mengucap doa ini. Budaya digital sering memalingkan kita dari momen sakral pagi hari. Padahal, kebiasaan kecil seperti ini bisa menjadi fondasi besar bagi ketenangan batin dan kekhusyukan dalam ibadah.
Bersuci Sebagai Menyegarkan Raga, Menjernihkan Jiwa
Selanjutnya, Imam Al-Ghazali menekankan pentingnya segera berwudhu dan melaksanakan shalat dua rakaat. Ia berkata:
“Bergegaslah bersuci. Dirikan dua rakaat sebagai rasa syukur karena engkau masih dihidupkan.”
Wudhu bukan sekadar membersihkan anggota tubuh. Ia simbol kesiapan spiritual. Air yang membasahi wajah bukan hanya membilas kantuk, tapi juga membersihkan dosa. Ketika dilakukan dengan kesadaran, wudhu bisa menjadi momen perjumpaan awal kita dengan Allah pada hari itu.
Di era modern, aktivitas pagi sering kali dimulai dengan rutinitas duniawi, kopi, notifikasi, dan lalu lintas. Namun, Imam Al-Ghazali mengingatkan bahwa seharusnya hari dibuka dengan sujud, bukan scroll media sosial.
Saya sendiri pernah mencoba memulai pagi tanpa menyentuh ponsel sebelum Subuh. Hasilnya luar biasa. Hati terasa lebih ringan. Pikiran jernih. Dan hari pun berjalan dengan ritme yang lebih tenang.
Pagi adalah Rahmat, Jangan Sia-Siakan
Imam Al-Ghazali lewat Bidayatul Hidayah mengajarkan bahwa pagi adalah titik tolak menuju keselamatan akhirat. Kita bisa memilih untuk memulai hari dengan keluhan, atau justru mengisinya dengan syukur.
“Bangun tidur adalah bukti bahwa Tuhan belum selesai menulis kisahmu.”
Setiap pagi adalah pertanda bahwa kita masih diberi kesempatan. Maka mari jadikan bangun tidur bukan sekadar kebiasaan, tapi juga ibadah. Kita tak pernah tahu, mungkin esok tak lagi diberikan. Maka, selama masih hidup, bangunlah dengan hati penuh syukur dan tekad untuk mendekat kepada-Nya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
