Opinion
Beranda » Berita » Semangat Mengukur Kiblat, Jangan Jadi Merusak Ummat

Semangat Mengukur Kiblat, Jangan Jadi Merusak Ummat

Semangat Mengukur Kiblat, Jangan Jadi Merusak Ummat

Semangat Mengukur Kiblat, Jangan Jadi Merusak Ummat: Refleksi Dakwah atas Fanatisme dalam Perbedaan Arah Ibadah.

Di tengah semangat sebagian umat Islam dalam menegakkan kebenaran dan kemurnian syariat, muncul sebuah fenomena yang patut direnungkan secara mendalam: upaya pelurusan arah kiblat yang terkadang disertai dengan sikap fanatik, keras, bahkan memecah belah umat. Semangat mengukur kiblat dengan alat modern, kompas, theodolite, hingga aplikasi digital tentu sangat positif. Namun, yang perlu dijaga adalah niat, pendekatan, dan dampaknya terhadap ukhuwah Islamiyah.

Arah Kiblat, Simbol Kesatuan atau Perpecahan?

Kiblat adalah arah yang menjadi titik penyatuan umat Islam dalam salat. Semua menghadap ke Ka’bah, rumah suci yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Ismail ‘alaihimassalam. Namun, jika arah kiblat justru menjadi sumber perdebatan keras, caci maki, dan saling menyesatkan, maka kita patut bertanya: Apakah semangat mengukur kiblat itu masih dalam semangat mencari rida Allah atau justru telah dicemari ego dan fanatisme golongan?

Dalam sejarah Islam, para ulama telah membahas tentang arah kiblat berdasarkan kemampuan umat di zamannya. Ulama fikih klasik sepakat bahwa menghadap kiblat adalah menghadap ke arah Ka’bah, bukan harus tepat secara geometris. Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ menjelaskan bahwa:

> “Bagi orang yang jauh dari Ka’bah, tidak disyaratkan menghadap tepat ke bangunan Ka’bah, melainkan cukup ke arahnya secara umum.”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Membedakan Antara Ketepatan Teknis dan Kematangan Etika

Dengan hadirnya teknologi modern, kita bisa lebih akurat menentukan arah kiblat. Namun, akurat secara teknis tidak selalu diikuti dengan akurat secara etis. Tidak sedikit yang menganggap masjid-masjid yang kiblatnya ‘melenceng’ beberapa derajat sebagai salah, sesat, bahkan batal ibadahnya. Padahal, Rasulullah ﷺ sendiri tidak mengajarkan fanatisme semacam itu.

Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

> “Apa yang aku perintahkan kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam konteks kiblat, yang penting adalah usaha terbaik untuk menghadap ke arah Ka’bah, bukan absolut pada titik koordinat tertentu. Maka jika semangat meluruskan kiblat berubah menjadi perusakan ukhuwwah, pencemaran nama baik, hingga memaksa-maksa masyarakat awam, kita harus berhenti sejenak dan menata ulang niat.

Ketika Akurasi Mengalahkan Adab

Di banyak tempat, kita menyaksikan takmir masjid dipaksa mengganti arah saf salat hanya karena pengukuran ulang yang menyatakan kiblat sebelumnya kurang tepat. Terkadang dilakukan dengan cara keras, menghardik, bahkan mendiskreditkan pendiri masjid atau ulama lokal.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Lalu, timbul pertanyaan:

> Apakah akurasi arah kiblat lebih penting daripada menjaga kehormatan ulama dan pemuka masyarakat yang telah berjasa membangun masjid?

Di sinilah pentingnya adab mendahului ilmu. Adab dalam menyampaikan, dalam bermusyawarah, dalam menasihati. Jangan sampai karena mengejar presisi arah, kita kehilangan presisi akhlak.

Ushul Fikih: Kiblat sebagai Maqashid, bukan Fetish

Ilmu ushul fikih mengajarkan kita untuk memahami hukum dalam kerangka tujuan syariat (maqashid asy-syari’ah). Arah kiblat adalah media ibadah, bukan tujuan ibadah itu sendiri. Tujuan utamanya adalah menghadirkan kesatuan hati, ketaatan, dan khusyuk dalam salat.

Kalau karena perbedaan arah kiblat beberapa derajat lalu menjadi sumber perpecahan, maka kita telah keluar dari maqashid itu sendiri. Ini mirip dengan seseorang yang sibuk mencuci gelas hingga merusak air di dalamnya. Maka benarlah ungkapan bijak:

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

> “Jangan karena semangat memperbaiki arah, malah kehilangan arah.”

Meneladani Rasulullah: Lembut dalam Perubahan

Ketika Rasulullah ﷺ memerintahkan perubahan kiblat dari Masjidil Aqsha ke Ka’bah, beliau tidak langsung mencela masjid-masjid yang masih menghadap ke arah lama. Bahkan, sahabat yang meninggal dengan salat ke arah Baitul Maqdis tetap dinilai ibadahnya sah.

Allah berfirman:

> “Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu (salatmu).” (QS. Al-Baqarah: 143)

Ayat ini menjadi pelajaran besar bahwa niat yang tulus dan upaya yang sesuai kemampuan lebih Allah utamakan daripada kesempurnaan teknis.

Cara Bijak dalam Meluruskan Arah Kiblat

Jika kita menemukan arah kiblat sebuah masjid yang dirasa kurang tepat, maka langkah terbaik adalah:

Kaji dulu secara ilmiah, jangan hanya bermodal aplikasi ponsel.
Dekati pengurus masjid dengan lemah lembut, jangan langsung menyalahkan.
Ajak berdiskusi dalam forum musyawarah, jangan membawa emosi sendiri.
Sampaikan dengan dalil dan adab, bukan caci maki atau tekanan.
Libatkan tokoh masyarakat dan ormas Islam, agar tidak menimbulkan kesan “kiblat impor”.
Dengan cara-cara tersebut, insya Allah niat baik tidak menjadi bumerang.

Meningkatkan Ilmu, Menjaga Ukhuwah

Mengukur kiblat adalah bagian dari fiqh ibadah, yang membutuhkan ilmu falak, geografi, dan keahlian. Maka, mari tingkatkan literasi kita dalam bidang ini. Namun ingat, ilmu tidak boleh menjauhkan kita dari akhlak dan persaudaraan.

Di tengah perbedaan kecil dalam hal arah kiblat, yang lebih penting adalah kesatuan hati, visi keummatan, dan keikhlasan dalam ibadah. Jangan sampai perbedaan beberapa derajat arah kiblat melahirkan perpecahan hingga ratusan derajat dalam ukhuwah.

Penutup: Kiblat itu Simbol, Persaudaraan itu Inti

Semangat mengukur kiblat adalah cerminan ketekunan dan kehati-hatian dalam ibadah. Namun, jangan sampai semangat itu berubah menjadi senjata pemecah umat, alat menyalahkan sesama, atau simbol kesombongan ilmu.

Ingatlah bahwa kiblat bukan sekadar arah di dunia, tetapi juga arah hati menuju Allah.

> “Kalau kiblat jasad bisa diukur dengan alat, maka kiblat hati hanya bisa ditakar dengan niat.”

Semoga Allah mempersatukan kita dalam satu barisan, satu arah, dan satu tujuan: mencari rida-Nya, bukan menyalakan bara di antara sesama. (Tengku Iskandar)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement