Opinion
Beranda » Berita » Refleksi Dakwah dari Sebuah Dermaga: Pelabuhan Sunyi, Saksi Setia Perjalanan Hidup

Refleksi Dakwah dari Sebuah Dermaga: Pelabuhan Sunyi, Saksi Setia Perjalanan Hidup

Pelabuhan Sunyi, Saksi Setia Perjalanan Hidup" Refleksi Dakwah dari Sebuah Dermaga

Pelabuhan Sunyi, Saksi Setia Perjalanan Hidup” Refleksi Dakwah dari Sebuah Dermaga di Ujung Desa.

Ditepi laut yang sunyi, di sebuah dermaga kayu yang tua, sebuah perahu kecil tertambat tenang, seperti sedang beristirahat setelah menempuh pelayaran panjang. Cuaca cerah. Langit biru berhiaskan awan putih berarak pelan, seolah memberi ruang untuk merenung dan menenangkan jiwa. Tidak ada hiruk pikuk kota, hanya suara angin laut dan gemericik air yang sesekali mencium tiang-tiang penyangga dermaga.

Gambar ini bukan sekadar potret tempat wisata atau pelabuhan kecil di pesisir Sumatera. Ia adalah simbol dari perjalanan hidup manusia. Ia adalah “mihrab tafakur” yang mengajak kita berhenti sejenak dari kesibukan dunia untuk merenungi: ke mana kapal hidup kita sedang menuju? Sudahkah kita mengikatnya pada tali keimanan? Atau justru membiarkannya hanyut bersama arus dunia?

Dermaga: Tempat Persinggahan dan Titik Awal

Dermaga dalam kehidupan adalah tempat singgah. Ia bukan tempat menetap, tetapi menjadi titik awal bagi setiap pelayaran dan juga tempat kembali setelah lelah berlayar. Begitulah kehidupan ini — kita datang ke dunia dari alam ruh, dan suatu saat akan kembali ke pelabuhan akhirat.

Dalam Al-Qur’an, Allah mengingatkan kita tentang asal dan tujuan hidup:

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

> “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.” (QS. Al-Baqarah: 156)

Dermaga ini, dalam pandangan batin, adalah simbol dari fitrah manusia. Ia mewakili titik awal ketika hati masih bersih, belum dicemari keserakahan, kebencian, atau kedengkian. Maka, mampukah kita kembali ke fitrah itu, sebagaimana perahu kembali ke dermaga setelah menghadapi gelombang dunia?

Perahu Kehidupan: Amanah dan Arah

Perahu yang tertambat itu bisa kita ibaratkan sebagai amanah hidup kita: diri, keluarga, ilmu, harta, bahkan waktu. Ia adalah kendaraan yang kita tumpangi menuju akhirat. Tapi pertanyaannya: siapa nahkodanya? Apakah hawa nafsu? Ataukah kita mengangkat Al-Qur’an dan Sunnah sebagai petunjuk arah?

Dalam sebuah hadits, Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang kalian pimpin.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Perahu ini tidak akan sampai ke tujuan tanpa arah yang jelas. Maka, sangat penting bagi seorang Muslim untuk menancapkan niat lurus, menjaga kompas iman, dan menghindari badai kemaksiatan agar tidak karam di tengah lautan dunia.

Air Laut: Dunia yang Luas dan Menipu

Laut itu luas. Ia memesona, menenangkan, tetapi juga menyimpan bahaya. Airnya asin dan tak bisa menghilangkan dahaga, seperti dunia yang jika dikejar terus tak akan memuaskan hati manusia.

Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Jika anak Adam memiliki satu lembah emas, niscaya dia ingin dua lembah. Dan tidak akan memenuhi perut anak Adam kecuali tanah (kematian).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kita sering terlena dengan luasnya dunia. Gelombang ketenaran, badai harta, dan angin kekuasaan membuat banyak perahu kehidupan karam karena lupa pada tujuan awal pelayaran: untuk beribadah kepada Allah.

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

Kabel dan Tiang Listrik: Simbol Peradaban yang Tak Selalu Membahagiakan

Dalam foto ini, ada kabel-kabel yang melintang dan tiang listrik berdiri tegak. Ini bisa dimaknai sebagai tanda kemajuan dan peradaban manusia. Namun, peradaban bukanlah jaminan kebahagiaan. Banyak yang hidup di kota dengan segala fasilitas modern, tetapi hatinya kosong dan kehilangan arah.

Sebaliknya, di desa kecil seperti ini, meski tak ada gemerlap lampu kota, sering kita temui ketenangan jiwa, kebersamaan, dan kesederhanaan yang membawa keberkahan. Kebahagiaan bukan soal teknologi, tapi hati yang mengenal Tuhannya.

Waktu Dzuhur: Saatnya Pulang ke Allah

Cahaya matahari dalam foto menunjukkan waktu mendekati dzuhur. Ini mengingatkan kita pada perintah shalat — tiang agama yang sering kita lalaikan. Shalat dzuhur adalah simbol tengah hari, titik balik antara awal dan akhir. Seperti hidup di usia pertengahan — apakah kita sudah cukup mempersiapkan bekal?

Dermaga itu bisa menjadi tempat kita menggelar sajadah. Merenung. Memohon ampun. Memperbarui komitmen kepada Allah. Sebab, tak ada yang tahu kapan perahu hidup ini akan dipanggil berlayar kembali ke negeri abadi.

Tradisi Maritim dan Dakwah di Pesisir

Di berbagai wilayah pesisir Indonesia, termasuk Riau, Sumatera Barat, hingga Kalimantan, kehidupan laut telah melahirkan tradisi unik yang penuh nilai Islam. Banyak suku dan kampung nelayan yang menjadikan pelabuhan sebagai pusat dakwah. Masjid dibangun tak jauh dari dermaga. Anak-anak belajar mengaji di surau kecil di pinggir pantai.

Di sinilah para dai pesisir berjuang. Tak bersorban mewah. Tak berdiri di atas podium megah. Tapi mereka hadir dengan keteladanan, menjadi bagian dari masyarakat, menyatu dalam kehidupan laut. Seperti da’i zaman dahulu yang berlayar membawa risalah Islam ke nusantara.

Refleksi Akhir: Tali Tambat dan Kematian

Perahu itu terikat pada dermaga dengan tali tambat. Kita pun demikian. Dunia menambat kita dengan ikatan keluarga, jabatan, rumah, dan urusan sehari-hari. Tapi satu saat, tali itu akan dilepaskan oleh malaikat maut. Lalu, perahu jiwa kita akan berlayar ke akhirat. Pertanyaannya, sudahkah kita siap?

Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah berkata:

> “Wahai anak Adam, sesungguhnya engkau hanyalah kumpulan hari. Setiap kali satu hari berlalu, maka sebagian dari dirimu telah pergi.”

Penutup: Gambar dermaga dan kapal ini adalah pelajaran hidup. Ia menyapa kita lewat bahasa alam, memanggil kesadaran kita untuk kembali kepada Allah. Setiap manusia sedang menumpang di atas perahu kehidupan masing-masing. Ada yang rajin memperbaiki perahunya dengan taubat, dzikir, dan amal shalih. Ada pula yang membiarkannya bocor oleh maksiat dan kesombongan.

Jangan tunggu hingga badai datang untuk baru sadar arah. Jangan tunggu senja tiba untuk baru menambatkan perahu ke tempat yang selamat. Selagi matahari masih bersinar dan laut masih tenang, kembalilah ke dermaga fitrah, tempat di mana kita memulai dan akan kembali. Semoga kita semua selamat sampai tujuan. Allahu Yahdik. (Tengku Iskandar, M.Pd)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement