Internasional
Beranda » Berita » Geopolitik Timur Tengah: Mengapa Tak Pernah Damai?

Geopolitik Timur Tengah: Mengapa Tak Pernah Damai?

Negara Arab-Timur Tengah (Peta Ilustrasi)
Negara Arab-Timur Tengah (Peta Ilustrasi)

SURAU.CO-Geopolitik Timur Tengah telah menjadi pusat konflik dunia selama beberapa dekade. Kawasan ini tidak pernah benar-benar tenang. Dua faktor utama—sumber daya energi dan rivalitas kekuatan global—seringkali memicu ketegangan. Geopolitik Timur Tengah menjadi ajang perebutan pengaruh, baik oleh negara besar maupun aktor lokal. Di tengah potensi besar kawasan ini, pertanyaan terus muncul: mengapa kawasan ini tak pernah damai?

Runtuhnya Kekaisaran Ottoman pada awal abad ke-20 meninggalkan kekosongan kekuasaan di Timur Tengah. Negara-negara kolonial seperti Inggris dan Prancis membagi-bagi wilayah melalui Perjanjian Sykes-Picot. Pembagian ini tidak mempertimbangkan ikatan etnis atau agama. Akibatnya, negara-negara baru terbentuk di atas fondasi rapuh.

Konflik antar etnis dan sektarian pun tumbuh subur. Penjajahan tak hanya merampas kedaulatan, tetapi juga mewariskan sistem politik yang korup dan otoriter. Banyak pemimpin dipilih bukan karena legitimasi rakyat, melainkan dukungan Barat. Ketegangan yang ditanam sejak era kolonial terus berdampak hingga kini.

Perebutan Sumber Daya Energi

Timur Tengah menyimpan cadangan minyak dan gas terbesar di dunia. Kekayaan energi ini menjadikan kawasan ini sangat strategis. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Cina memiliki kepentingan langsung terhadap stabilitas—atau bahkan ketidakstabilan—di kawasan ini.

Banyak negara di kawasan ini bergantung pada ekspor minyak. Ketika harga minyak jatuh, krisis ekonomi muncul dan memicu instabilitas politik. Sebaliknya, ketika harga naik, perebutan kontrol terhadap wilayah penghasil minyak semakin sengit. Inilah yang menjadikan konflik seperti di Irak, Libya, dan Suriah semakin kompleks.

Masa Lalu yang Tidak Kunjung Pergi: Warisan Kolonialisme Inggris-Prancis di Timur Tengah dan Afrika Utara

Selain faktor ekonomi dan politik, dimensi ideologis juga penting. Konflik antara Sunni dan Syiah bukan sekadar perbedaan teologis, tetapi telah menjadi alat politik. Arab Saudi dan Iran memanfaatkan perbedaan ini untuk memperluas pengaruh regional mereka.

Dukungan terhadap kelompok bersenjata yang sehaluan secara ideologis menambah bahan bakar konflik. Hizbullah di Lebanon, Houthi di Yaman, dan berbagai milisi di Suriah semuanya terkait dalam jaringan kepentingan yang luas. Konflik antar-negara di Timur Tengah pun berubah menjadi perang proksi.

Peran Negara-Negara Besar

Amerika Serikat sering mengklaim membawa demokrasi ke Timur Tengah, tetapi intervensi militernya justru sering memperburuk keadaan. Invasi ke Irak tahun 2003, misalnya, menciptakan kekosongan kekuasaan yang akhirnya melahirkan ISIS. Rusia pun tak ketinggalan, mendukung rezim Assad di Suriah untuk menjaga kepentingannya.

Negara-negara besar ini tidak hanya berlomba menguasai energi, tetapi juga mempertahankan pangkalan militer dan pengaruh diplomatik. Alih-alih menjadi mediator, mereka justru memperuncing konflik yang ada.

Organisasi regional seperti Liga Arab jarang menunjukkan efektivitas. Negara-negara anggotanya sering terpecah dalam menyikapi isu-isu besar. Bahkan solidaritas antar sesama negara Arab pun kerap goyah. Banyak pemimpin lebih fokus mempertahankan kekuasaan domestik ketimbang menyelesaikan konflik regional.

Mengupas Kitab Kopi dan Rokok Syaikh Ihsan Jampes

Upaya damai seringkali berhenti pada deklarasi tanpa implementasi. Tanpa mekanisme resolusi konflik yang kuat, setiap gesekan bisa menjadi ledakan besar.

Peran media dalam konflik Timur Tengah tak bisa diabaikan. Banyak media dikendalikan oleh negara atau kelompok tertentu yang menyebarkan narasi sepihak. Polarisasi pun makin dalam. Rakyat sering dijebak dalam propaganda yang memperkuat ketakutan dan kebencian terhadap pihak lain.

Media sosial juga mempercepat penyebaran kebohongan dan ujaran kebencian. Opini publik dengan cepat terbelah dan konflik pun sulit diredam.

Timur Tengah bukan kawasan tanpa harapan. Meski luka geopolitik begitu dalam, inisiatif damai tetap muncul. Namun, tanpa kemauan politik yang kuat dari negara-negara besar dan regional, damai hanyalah ilusi. Untuk mengakhiri konflik, semua pihak harus mengutamakan dialog daripada senjata.

Rakyat Timur Tengah telah terlalu lama menjadi korban kepentingan elite dan kekuatan luar. Perdamaian sejati hanya mungkin terwujud jika kepentingan rakyat lebih didahulukan daripada kekuasaan dan minyak. (Hen)

Introvert: Mengenali Diri dan Merayakan Keunikan Batin


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.