Khadijah Al-Kubra: Meneladani Cahaya Ummul Mukminin di Era Modern
SURAU.CO – Dalam hamparan luas sejarah peradaban Islam, ada beberapa nama yang bersinar begitu terang. Cahayanya menembus lorong waktu, terus menjadi sumber inspirasi abadi. Salah satu cahaya yang paling gemilang itu adalah Khadijah binti Khuwailid RA. Beliau bukan sekadar tokoh sejarah. Beliau adalah sebuah institusi, sebuah madrasah pertama bagi umat ini. Posisinya begitu istimewa. Ia adalah istri pertama dan satu-satunya selama hidupnya bagi Rasulullah Muhammad SAW. Ia juga merupakan manusia pertama yang mengikrarkan keimanan. Selain itu, ia adalah pilar utama dan pendukung terkuat dakwah Nabi di masa-masa awal yang paling sulit.
Oleh karena itu, mempelajari kisah hidupnya adalah sebuah keharusan. Meneladani akhlak dan keteguhannya telah menjadi jalan bagi jutaan Muslimah untuk menemukan versi terbaik dari diri mereka. Kisah Khadijah adalah bukti nyata bahwa kemuliaan seorang wanita tidak diukur dari nasab atau harta semata. Kemuliaan sejati lahir dari kekuatan iman, ketulusan pengorbanan, dan keluhuran budi pekerti.
Posisi Tak Tergantikan di Hati Sang Rasul
Cinta dan penghormatan Rasulullah SAW kepada Khadijah begitu mendalam dan tak lekang oleh waktu. Ini bukanlah cinta biasa. Ini adalah ikatan jiwa yang ditempa dalam iman, perjuangan, dan kesetiaan tanpa batas. Bahkan setelah Khadijah wafat dan Rasulullah menikah dengan beberapa wanita mulia lainnya, posisi Khadijah di hatinya tetap tidak pernah tergantikan. Setiap kali ada kesempatan, Nabi selalu menyebut kebaikan dan kemuliaan Khadijah. Hal ini terkadang membuat istri-istri beliau yang lain merasa cemburu.
Kecintaan mendalam ini terangkum indah dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Ketika mengenang istrinya tercinta, Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Demi Allah, tidak ada yang menggantikannya. Ia beriman kepadaku ketika orang lain mengingkariku, ia membenarkanku saat orang lain mendustakanku, dan ia memberiku hartanya ketika orang lain menahannya dariku.” (HR. Ahmad)
Hadits ini bukan sekadar ungkapan rindu. Ia adalah sebuah testimoni agung yang merangkum tiga pilar utama kontribusi Khadijah. Pertama, keimanan di saat semua orang ingkar. Kedua, pembenaran di saat semua orang mendustakan. Ketiga, pengorbanan harta di saat semua orang menahan. Sifat-sifat inilah yang mengangkat derajat Khadijah. Ia bukan hanya seorang istri, melainkan seorang partner perjuangan sejati yang kontribusinya sangat vital bagi tegaknya pilar-pilar awal Islam.
Menggali Permata Akhlak dari Sosok Khadijah RA
Untuk benar-benar meneladani beliau, kita perlu menggali lebih dalam sifat-sifat mulia yang menjadi fondasi karakternya.
1. Iman yang Teguh Laksana Gunung
Bayangkan situasi saat itu. Rasulullah pulang dari Gua Hira dalam keadaan gemetar dan ketakutan setelah menerima wahyu pertama. Beliau berkata, “Selimuti aku, selimuti aku.” Di saat seperti inilah, kualitas sejati seorang pendamping diuji. Khadijah tidak panik. Ia tidak meragukan suaminya. Sebaliknya, dengan penuh ketenangan dan keyakinan, ia menjadi orang pertama yang menyatakan keimanan. Ia membenarkan kenabian Rasulullah bahkan sebelum orang lain mendengarnya. Keimanannya bukanlah iman yang ikut-ikutan. Ia adalah iman yang lahir dari kejernihan hati dan ketajaman spiritual.
2. Kesetiaan dan Dukungan Tanpa Batas
Di fase awal dakwah di Mekkah, Rasulullah menghadapi penolakan yang luar biasa. Beliau dicaci, dihina, dan dianggap gila oleh kaumnya sendiri. Setiap kali beliau pulang dengan hati yang sedih, Khadijah selalu ada di sana. Ia menjadi penenang, penghibur, dan pemberi semangat. Namun, dukungannya tidak berhenti pada kekuatan moral. Sebagai seorang pengusaha yang sangat sukses, Khadijah tanpa ragu mengorbankan seluruh harta kekayaannya. Ia membiayai kebutuhan dakwah dan membantu kaum Muslimin yang lemah. Puncak pengorbanannya terjadi saat pemboikotan total oleh kaum Quraisy, di mana ia rela hidup dalam kekurangan dan kelaparan demi mempertahankan akidahnya.
3. Kecerdasan dan Kebijaksanaan yang Mengagumkan
Jauh sebelum menikah dengan Rasulullah, Khadijah telah dikenal sebagai seorang wanita yang cerdas dan visioner. Ia mengelola bisnisnya dengan sangat profesional hingga mendapat julukan At-Thahirah (Wanita Suci) karena reputasinya yang bersih. Kecerdasannya terlihat jelas saat ia proaktif melamar Rasulullah setelah melihat akhlak mulia dan kejujuran beliau. Ia mampu melihat “permata” pada diri Muhammad SAW saat orang lain hanya melihatnya sebagai seorang pemuda biasa. Meskipun kaya dan terhormat, ia tetap rendah hati dan bijaksana dalam setiap tindakannya.
Bagi saya, kisah Khadijah adalah jawaban telak bagi mereka yang keliru memandang posisi perempuan dalam Islam. Jauh sebelum era modern, Islam telah mengangkat derajat seorang wanita cerdas, mandiri secara finansial, dan aktif berkontribusi bagi masyarakat, tanpa harus melepaskan kehormatan dan fitrahnya.
4. Kasih Sayang yang Menjadi Oase Ketenangan
Dalam perannya sebagai seorang istri dan ibu, Khadijah adalah teladan sempurna. Ia adalah sumber sakinah (ketenangan) bagi Rasulullah. Rumah tangganya adalah oase kedamaian di tengah panasnya badai permusuhan dari luar. Ia membesarkan anak-anaknya, termasuk Fatimah Az-Zahra, dengan curahan cinta dan pendidikan akhlak terbaik. Kelembutan hatinya menjadi pelipur lara bagi suaminya yang mengemban tugas terberat di muka bumi.
5. Kesabaran dan Ketangguhan yang Luar Biasa
Kehidupan Khadijah setelah pernikahan dengan Nabi bukanlah jalan yang bertabur bunga. Ia harus melepaskan segala kenyamanan hidup yang selama ini ia nikmati. Ia menghadapi tekanan sosial dari kerabatnya. Ia juga merasakan sakitnya kehilangan harta benda dan menghadapi kelaparan. Namun, semua ujian berat itu tidak pernah membuatnya goyah. Ia tetap tegar, sabar, dan kokoh berdiri di samping suaminya, menjadi bukti nyata bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada fisik, melainkan pada ketangguhan jiwa.
Relevansi Teladan Khadijah bagi Wanita Masa Kini
Keteladanan Ibunda Khadijah tidak pernah usang. Justru, sifat-sifatnya menjadi semakin relevan bagi perempuan Muslim di tengah tantangan zaman modern. Perempuan masa kini dapat meneladani Khadijah dengan menjadi pribadi yang:
-
Tangguh secara spiritual dalam menghadapi ujian hidup dan godaan materialisme.
-
Menjadi pendukung utama bagi kebaikan dan perjuangan pasangannya dengan penuh keikhlasan.
-
Menjaga kehormatan diri dan keluarga di tengah derasnya arus budaya yang permisif.
-
Cerdas dan aktif berkontribusi dalam masyarakat dengan tetap memegang teguh akhlak mulia.
Khadijah mengajarkan sebuah pelajaran penting. Menjadi perempuan mulia dan berpengaruh tidak harus dengan mengejar kekuasaan atau kemewahan duniawi. Kemuliaan sejati diraih melalui fondasi iman yang kokoh, akhlak yang luhur, dan ketulusan dalam memberi.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
