SURAU.CO. Setiap manusia pasti pernah merasa khawatir tentang rezekinya. Kita sering bekerja keras, namun rezeki yang kita idam-idamkan belum datang jua. Terkadang hasil tidak sesuai harapan. Hal itulah yang kadang membuat kita menjadi cemas dan gelisah. Padahal, Allah SWT telah menjamin rezeki setiap makhluk-Nya. Ada sebuah kisah menarik tentang rezeki tak terduga dari seorang sufi bernama Abu Ya’kub al Aqtha al Basri Kisah ini mengajarkan arti rezeki dan tawakal yang sesungguhnya
Kisah ini bermula saat Abu Ya’kub tiba di kota suci Mekah. Selama 10 hari bertahan hidup di Mekkah dengan perut kosong menahan lapar. Kondisi ini mendorongnya untuk mencari sesuatu untuk dimakan. Rasa lapar yang tak tertahan membuat Abu Ya’kub melangkahkan kaki keluar dari Mekah. Tujuannya adalah padang pasir yang luas dengan harapan menemukan makanan.
Setelah beberapa waktu, matanya menangkap sebuah buah yang tampak sudah dibuang oleh pemiliknya. Tanpa pikir panjang, Abu Ya’kub mengambil buah tersebut sebagai pengganjal rasa lapar. Ia merasa sedikit lega akhirnya dapat menemukan sesuatu yang dapat dimakannya. Setelah itu memutuskan untuk kembali ke Mekah. Namun, dalam perjalanan, sebuah bisikan halus muncul di dalam kalbunya. Bisikan itu seolah berkata, ”Engkau datang sepuluh hari namun hanya mendapatkan sepotong buah.”
Bisikan tersebut menyentak kesadarannya. Secara spontan buah tersebut ia lemparkan dari genggamannya. Abu Ya’kub memilih untuk memasrahkan dirinya sepenuhnya kepada Allah. Ia kemudian kembali ke masjid dan duduk dengan tenang.
Pertolongan Allah yang Datang Tiba-Tiba
Tidak lama kemudian, keajaiban terjadi. Seorang lelaki yang duduk di sampingnya tiba-tiba menyodorkan sebuah bungkusan.
“Ini untukmu,” kata lelaki itu.
Abu Ya’kub merasa terkejut dan heran. Ia tidak mengenal orang tersebut.
“Lho, mengapa engkau mengistemewakanku,” jawab Abu Ya’kub penasaran.
Lelaki itu pun mulai menceritakan pengalamannya. Sebuah kisah yang membuktikan kuasa Allah.
“Kami berada di tengah laut sepuluh hari yang lalu. Saat itu saya dan beberapa orang berada di atas kapal dan hampir karam. Setiap hari kami yang berada di atas kapal selalu bernazar. Apabila Allah menyelamatkan kami, maka kami akan memberikan sedekah. Sayapun bernazar apabila Allah menyelamatkan diriku, maka saya akan memberikan sedekah dan benda ini kepada orang yang pertama yang aku jumpai dan berdampingan dan engkaulah orang pertama yang aku jumpai,” katanya.
Lelaki misterius itu kemudian membuka bungkusan tersebut. Mata Abu Ya’kub terbelalak. Di dalamnya terdapat aneka ragam makanan yang sangat lezat. Ada juga buah-buahan yang tampak segar dan manis. Pria itu meletakkan sebagian makanan di tangan kanan dan kiri Abu Ya’kub.
Sebelum pergi, ia menambahkan, ”Berikan sisa ini kepada putera-puteramu sebagai hadiah dariku untuk mereka.”
Abu Ya’kub hanya bisa bergumam dalam hati penuh rasa syukur. “Rezekimu datang dengan mudah kepadamu sejak sepuluh hari yang engkau sendiri mencari di padang pasir,” guman Abu Ya’kub.
Memahami Hakikat Rezeki yang Sebenarnya
Kisah rezeki tak terduga yang dialami Abu Ya’kub mengajarkan kita tentang hakikat rezeki. Secara bahasa, rezeki berasal dari kata Arab rizqun. Artinya adalah ma yuntafa‘u bihi, atau sesuatu yang bisa kita ambil manfaatnya. Ulama besar At-Taftazani menjelaskan lebih dalam bahwa rezeki adalah pemberian Allah kepada makhluk-Nya. Pemberian itu kemudian ia manfaatkan, baik halal maupun haram.
Dari sini, kita paham sebuah konsep penting. Rezeki bukanlah apa yang kita miliki. Rezeki adalah apa yang telah kita gunakan atau manfaatkan. Makanan yang kita makan adalah rezeki. Pakaian yang kita kenakan adalah rezeki. Rumah yang kita tempati juga rezeki. Sebaliknya, makanan yang kita beli namun tidak termakan bukanlah rezeki kita.
Seorang penyair Arab pernah berkata, “Terkadang harta dihimpun oleh selain pemakannya. Dan terkadang harta dimakan oleh yang bukan penghimpunnya.”
Selain itu penting juga untuk diingat, rezeki tidak selalu halal. Harta yang didapat dari cara haram juga disebut rezeki. Namun, semua akan dimintai pertanggungjawaban. Sebagaimana perkataan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, “Dunia ini halalnya adalah hisab dan haramnya adalah siksa” (HR. Al-Baihaqi).
Jaminan dari Allah SWT
Allah SWT menjamin rezeki setiap makhluk tanpa terkecuali. Jaminan ini tertulis jelas dalam Al-Qur’an. ” “Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)” (QS. Hud: 6). Ayat ini seharusnya menenangkan hati setiap mukmin. Keyakinan inilah yang membuat para ulama terdahulu begitu tenang. Imam Syafi’i pernah mengungkapkan perasaannya, “Aku mengetahui bahwa rezekiku tidak akan dimakan orang lain, maka menjadi tenanglah hatiku.”
Allah SWT juga menjamin bahwa rezeki kita tidak akan pernah tertukar. Orang lain tidak akan bisa mengambil jatah rezeki kita. Imam an-Nasafi menegaskan, “Dan tidak terbayang apabila seseorang tidak memakan rezekinya atau rezekinya dimakan selainnya.”
Setiap orang sudah memiliki takarannya masing-masing. Jika sesuatu memang rezeki kita, ia pasti akan datang. Sekalipun usaha kita terlihat lemah. Sebaliknya, jika bukan rezeki, sekeras apapun usaha kita tidak akan membuahkan hasil. Tugas kita adalah berikhtiar di jalan yang halal. Jauhilah cara-cara haram. Lalu, serahkan hasilnya kepada Allah dengan penuh tawakal.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
