SURAU.CO – Sejarah Islam penuh dengan momen-momen penting yang menjadi titik balik perjuangan dakwah Nabi Muhammad ﷺ. Salah satu peristiwa besar yang patut kita renungkan adalah Perjanjian Aqabah, yakni sebuah perjanjian yang terjadi secara diam-diam, namun memberikan dampak besar bagi kelangsungan perjalanan Islam. Dari peristiwa inilah, benih-benih masyarakat Islam yang kuat dan mandiri mulai tumbuh di Madinah, yang saat itu masih bernama Yatsrib.
Latar Belakang Perjanjian
Dakwah Islam di Makkah selama lebih dari sepuluh tahun tidaklah mudah. Nabi Muhammad ﷺ menghadapi banyak penolakan, cemoohan, bahkan kekerasan dari kaum Quraisy. Umat Islam saat itu hidup dalam tekanan dan ketakutan. Dalam situasi yang semakin sulit ini, Rasulullah ﷺ mulai mencari tempat baru untuk menyebarkan Islam secara lebih leluasa—tempat yang mampu memberi perlindungan dan ruang untuk mengembangkan masyarakat Islam yang utuh.
Pada saat yang sama, kota Yatsrib mengalami konflik internal yang berkepanjangan antara dua suku besar, yaitu Aus dan Khazraj . Masyarakat Yatsrib lelah karena permusuhan dan peperangan. Mereka rindu kehadiran seorang pemimpin yang mampu menjadi pemersatu. Dari kabar-kabar yang mereka dengar tentang Nabi Muhammad ﷺ, sebagian penduduk mulai menaruh harapan bahwa beliaulah sosok yang mereka cari.
Perjanjian Aqabah Pertama
Harapan itu mulai diwujudkan pada musim haji tahun ke-11 kenabian. Enam orang dari suku Khazraj datang ke Makkah dan bertemu dengan Rasulullah ﷺ di bukit Aqabah. Dalam pertemuan tersebut, mereka menyatakan keimanan kepada Allah dan mengikrarkan baiat kepada Nabi dengan janji untuk:
- tidak menyekutukan Allah,
- tidak mencuri,
- tidak berzina,
- tidak membunuh anak-anak mereka,
- tidak berdusta, dan
- tidak menolak ajakan Nabi dalam hal kebaikan.
Janji suci ini termaktub dalam riwayat sahabat Ubadah bin Shamit ra:
بايعنا رسول الله ﷺ على ألا نشرك بالله، ولا نسرق، ولا نزني، ولا نقتل أولادنا، ولا نتهم، ولا نعصي في المعروف.” (رواه البخاري ومسلم)”
“Kami berbaiat kepada Rasulullah ﷺ untuk tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kami, tidak menuduh (tanpa bukti), dan tidak mendurhakai dalam hal ma’ruf.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Setelah kembali ke Yatsrib, mereka mulai menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakatnya. Seiring berjalannya waktu, pengaruh Islam pun menyebar dengan cepat dan meluas.
Perjanjian Aqabah Kedua
Dua tahun berselang, pada musim haji tahun ke-13 kenabian, sebanyak 73 laki-laki dan 2 perempuan dari Madinah datang ke bukit Aqabah pada malam hari. Mereka ingin menyatakan baiat kepada Nabi ﷺ. Baiat ini bukan sekedar keimanan, tapi juga bentuk komitmen untuk melindungi Nabi dengan jiwa dan raga mereka.
Dalam riwayat Ibnu Ishaq, Rasulullah ﷺ bersabda:
“أعطني الإذن في السمع والطاعة في الحماس والكسل، في العسر واليسر، أن أقول الحق حيث كنت، ولا أخشى لومة لائم من ينتقدك في إقامة دين الله”
“Aku membaiat untuk mendengar dan taat dalam keadaan semangat maupun malas, dalam keadaan sulit maupun mudah, untuk mengatakan kebenaran di mana pun kalian berada, dan tidak takut terhadap celaan orang yang mencela dalam menegakkan agama Allah.” (Ibnu Hisham, Sirah Nabawiyyah , Jilid 1, hlm. 432)
Sebagai balasannya, mereka pun berkata dengan penuh keyakinan:
“سنحميك كما نحمي أهالينا وأولادنا، وإن أنكرنا ذلك، فسنخسر الدنيا والآخرة.”
“Kami akan melindungimu sebagaimana kami melindungi keluarga dan anak-anak kami. Jika kami mengingkari, maka kami akan menanggung kerugian dunia dan akhirat.” (Ibnu Ishaq, Sirat Rasulillah , hlm. 434)
Perjanjian ini menandai awal terbentuknya masyarakat Islam yang merdeka dan berdaulat di Madinah. Setelah perjanjian tersebut, Nabi ﷺ memberikan izin kepada para sahabat untuk berhijrah ke Madinah. Mereka meninggalkan Makkah secara bertahap, bahkan harus merelakan harta dan keluarga demi menegakkan iman. Tak lama kemudian, Nabi Muhammad ﷺ sendiri melakukan hijrah dan disambut dengan suka cita oleh penduduk Madinah, yang telah siap menyambut beliau sebagai pemimpin dan rasul.
Makna dan Pelajaran dari Perjanjian Aqabah
Dari peristiwa besar ini, kita dapat menarik sejumlah pelajaran penting:
- Dakwah membutuhkan strategi yang bijak. Rasulullah ﷺ tidak hanya menyampaikan risalah secara lisan, tetapi juga membangun jaringan dan dukungan sosial politik demi masa depan Islam.
- Komitmen dan pengorbanan adalah kunci kekuatan umat. Penduduk Madinah bersedia mempertaruhkan nyawa demi membela kebenaran.
- Kelembutan dan akhlak mulia lebih efektif dari kekerasan. Mus’ab bin Umair, yang diutus Nabi, menyebarkan Islam dengan akhlak, bukan dengan kekerasan.
- Kepemimpinan yang visioner mampu membaca peluang. Nabi Muhammad ﷺ memanfaatkan kondisi sosial di Yatsrib untuk membangun fondasi peradaban Islam.
Perjanjian Aqabah bukan hanya bagian dari sejarah, tetapi juga simbol tekad, iman, dan keberanian. Ia menunjukkan bahwa perubahan besar dalam sejarah Islam dimulai dari komitmen bersama antara Nabi ﷺ dan umatnya. Kini, di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks, semangat perjanjian ini tetap relevan: teguh dalam iman, bersatu dalam tujuan, dan bijak dalam perjuangan .
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
