Sejarah
Beranda » Berita » Masjid Agung Keraton Buton: Jejak Masuknya Islam Di Kesultanan Buton

Masjid Agung Keraton Buton: Jejak Masuknya Islam Di Kesultanan Buton

Masjid Agung Keraton Buton menjadi jejak masuknya Islam di Tanah Buton
Gambar Masjid Agung Keraton Buton yang berada dalam Keraton Kesultanan Buton di Bau-Bau. Gambar : Internet

SURAU.CO -Di atas bukit tepat di jantung Kota Bau-Bau di Pulau Buton, berdiri megah sebuah situs peninggalan Kesultanan Buton yang bernilai sejarah tinggi nan sakral. Masjid Agung Keraton Buton alias Masjid Agung Wolio. Dalam Bahasa Buton, orang-orang Buton menyebutnya degan Masigi Ogena yang memiliki makna Masjid Besar. Masjid Agung Wolio lebih dari sekedar situs sejarah. Lebih dari sekedar bangunan tua tempat ibadah umat Islam peninggalan sejarah. Masjid  Agung Keraton Buton menjadi jejak masuknya Islam di Tanah Buton. Masjid ini sekaligus menandai begitu kuatnya identitas Islam di Kesultanan Buton. Bukti bahwa filosofi Islam menjadi pondasi dan nilai tata pemerintahan Kesultanan Buton sejak dulu hingga saat ini.

Masigi Ogena alias Masjid Agung Keraton Buton berdiri di pusat pemerintahan Kesultanan Buton. Dikelilingi oleh kokohnya dinding Benteng Keraton Buton yang merupakan benteng terluas di dunia. Tepat di depan masjid terdapat tempat Pelantikan Sultan Buton, dalam bahasa Buton menyebutnya Batu Popaua alias Batu Berpayung. Makna simbolik dari tata lokasi masjid berdiri, telah menyiratkan pesan sejarah bahwa nilai-nilai Islam menjadi filosofi utama pemerintahan Kesultanan Buton. Pemerintahan yang menyatu dengan agama. Dinding benteng menandakan kewibawaan yang kuat dari pemerintahan Kesultanan Buton.

Buton ; Kerajaan Sebelum Kesultanan

Catatan sejarah mengurai, Kerajaan Buton sudah ada sejak abad ke-14. Kerajaan ini tercatat dalam naskah Nagarakertagama dengan nama Butuni. Pada awalnya, yang memimpin Kerajaan Buton adalah seorang wanita bernama Wa Kaa Kaa yang merupakan keturunan bangsawan Majapahit. 

Pengaruh Islam mulai masuk ke Buton pada abad ke-16. Kala itu adalah masa pemerintahan Raja Buton ke-5. Adalah Syeikh Abdul Wahid yang membawa Islam di Buton. Beliau adalah ulama dari Patani, sebuah kerajaan Islam di semenanjung Melayu. Syeikh Abdul Wahid datang ke Buton dan berhasil mengislamkan Raja Buton, yang kemudian menjadi Sultan bergelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis.

Buton menerima Islam tidak hanya sebagai agama, tetapi juga menjadi kekuatan sosial dan politik yang mengubah sistem pemerintahan kerajaan menjadi kesultanan. Hukum yang berlaku di Kesultanan Buton juga mengalami perubahan. Sultan Buton menetapkan Martabat Tujuh menjadi  landasan hukum dan pemerintahan kesultanan. Martabat Tujuh merupakan perpaduan antara hukum adat Buton dengan syariat Islam.

Mustafa Kemal Ataturk: Modernisasi dan Perkembangan Islam Modern

Sejarah Masjid Agung Keraton Buton

Masjid Agung Keraton Buton Buton kini memiliki usia lebih dari 300 tahun. Menurut catatan sejarah, Masjid Agung Keraton Buton pertama kali didirikan pada tahun 1538 M oleh Sultan Buton ke I, Sultan Murhum atau Khaimuddin Khalifatul Khamis yang berkuasa pada tahun 1427 Masehi hingga 1473 Masehi. Belum lama berdiri, masjid ini terbakar karena perang saudara di Kesultanan Buton dalam perebutan kekuasaan.

Sultan Buton ke XIX yakni La Ngkariyri yang bergelar Sultan Zakiyuddin Darul Alam yang memenangi perang tersebut memulai kembali pembangunan Masjid  Keraton pada tahun 1712 M. Lokasi masjid tidak begitu jauh dari tempat semula, di dalam wilayah Keraton Kesultanan Buton, tempatnya berdiri megah hiongga saat ini.

Renovasi Masjid Agung Keraton Buton sudah dilakukan sebanyak 4 kali yakni tahun 1929, 1978, 1986 dan 2002. Sultan Buton ke 37 yakni Sultan Hamidi melakukan renovasi pertama pertama di tahun 1930. Tetap memepertahankan struktur asli bangunan masjid, hanya mengganti sebagian rangka kayu karena sudah lapuk akibat usia, serta melantainya dengan semen. Mengganti atap yang sebelumnya menggunakan atap rumbia menjadi atap seng.

Pemugaran kedua dan ketiga masing masing tahun 1978, dan 1986 juga untuk mengganti atap seng yang sudah usang. Renovasi terahir dilakukan tahun 2002, mengganti lantai semen dengan lantai marmer. Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri pernah mengunjung masjid ini menjelang Pemilu 1999 dan memberikan bantuan untuk merenovasi lantai masjid.

Keunikan Arsitektur Masjid, Melambangkan Sendi Islam

Masjid Agung Keraton Buton memiliki banyak keunikan. Seluruh bangunan masjid melambangkan sendi-sendi Islam. Masjid ini tidak memiliki menara. Namun, di sisi utara berdiri sebuah tiang bendera yang ujungnya lebih tinggi dari puncak masjid. Tiang bendera berdiri tidak lama setelah masjid berdiri. Dahulu, setiap hari Jumat Kesultanan memasang bendera Kesultanan Buton yang berwarna kuning, merah, putih, dan hitam di ujung tiang tersebut.

Peran Pemikiran Al-Farabi; Pencerahan Filsafat Yunani dan Barat

Bentuk ruang Masjid Agung Keraton Buton adalah persegi dengan banyak tiang tanpa sekat. Terdapat 12 pintu masuk ke dalam masjid yang salah satu di antaranya berfungsi sebagai pintu utama. Jumlah 12 pintu melambangkan 12 lubang yang terdapat pada tubuh manusia. Tiang kayu yang menopang masjid keseluruhan berjumlah 313. Angka ini identik dengan jumlah tulang pada tubuh manusia. Sedangkan jumlah anak tangga masuk masjid sebanyak 17 buah, sama dengan jumlah rakaat salat umat Islam dalam sehari. 

Bedug masjid berukuran panjang 99 cm, analoginya sama dengan asmaul husna yaitu 99 sifat Allah SWT, sedangkan diameter 50 cm maknanya sama dengan jumlah rakaat salat yang pertama kali diterima Rasulullah. Bedug menggunakan pasak pengencang berjumlah 33 potong kayu yang menyamai jumlah bacaan tasbih sebanyak 33 kali.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement