SURAU.CO-La Karambau yang juga bergelar Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi alias Oputa Yi Koo, adalah Sultan Buton yang dua kali menduduki tahta kesultanan. Beliau adalah Sultan Buton ke-20 yang berkuasa pada tahun 1752 1755. Kemudian menduduki kembali tahta sebagai Sultan Buton ke-23 tahun 1760 – 1763. Pada Tahun 2019, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Sultan Himayatuddin sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Sebagai bentuk apresiasi dan penghargaan, Pemerintah Daerah Sulawesi Tenggara membangun Patung Oputa Yi Koo yang megah di Pantai Kota Bau-Bau.
Sultan Himayatuddin bukan dari kalangan rakyat biasa. Ia besar dan bertumbuh di lingkungan Kesultanan. Ayahnya adalah Sultan La Umati Liauddin Ismail, yang merupakan Sultan Buton ke-13. Setiap anak pembesar di kesultanan, sudah tentu mendapatkan pengajaran akhlak dan budi pekerti berlandaskan Islam.
Ketika Pemerintah Hindia Belanda melalui VOC akan menanamkan kekuasaan di Tanah Buton, La Karambau menolak dan menentang habis-habisan. Beliau rela meninggalkan empuknya kursi istana kesultanan demi melawan Belanda. Bahkan melepaskan tahta kesultanan untuk memilih bergerilya di hutan bersama rakyat hingga akhir hayatnya. Olehnya itu, khalayak dan Kesultanan Buton memberikan gelar Oputa Yi Koo yang artinya Sultan alias Penguasa yang Bergerilya di hutan.
Masa Muda dan Pendidikan Sultan Himayatuddin
Himayatuddin lahir pada awal abad ke-18. Meski tak ada keterangan pasti tentang waktu lahirnya, namun silsilah hayatnya terjabarkan secara terang. Himayatuddin adalah putra dari Sultan Buton ke-13.
Sebagai anak yang bertumbuh dalam wilayah kesultanan Buton, Himayatuddin kecil memperoleh pendidikan akhlak dan budi pekerti yang berlandaskan Islam. Pendidikan dan perkembangan pekertinya langsung dalam pengawasan tetua di lingkungan Keraton Kesultanan Buton.
Selain itu, beliau juga menerima pendidikan baca-tulis Al-Quran dari mu’adib kesultanan, baca-tulis aksara Buri-Wolio, dan tentu saja seni beladiri. Ketika beranjak remaja, fisik Himayatuddin tumbuh lebih cepat dari teman seusianya. Postur badannya tinggi, besar, dan tegap. Oleh karena itu, orang di sekelilingnya menyebutnya sebagai La Karambau, yang berarti “Kerbau”.
Peran Sultan Himayatuddin Dalam Perang
Lakina Kambowa atau kepala wilayah daerah Kambowa, adalah tugas pemerintahan pertama Himayatuddin dari Kesultanan Buton. Tugas ini memungkinkan Himayatuddin banyak berinteraksi langsung dengan masyarakat di wilayah pelosok yang jauh dari pusat kesultanan. Dari sini dia banyak mendengar informasi perilaku orang-orang VOC dalam perdagangan.
Himayatuddin sangat giat bergerilya melawan pemerintahan Hindia Belanda dalam Perang Buton. Beliau menghabiskan waktunya untuk menentang dan melawan kekuasaan pemerintah Belanda. Kesuksesannya mengusir kaum penjajah di tanah Buton membuat Kesultanan Buton menobatkan dirinya sebagai “Oputa Yi Koo”, yang berarti raja atau penguasa yang bergerilya melawan penjajah di dalam hutan.
Ketika VOC mengancam akan menggunakan kekuatan militernya untuk menyerang Buton, Himayatuddin menyongsong ancaman itu dengan mempersiapkan benteng dan pasukannya. Namun, sebelum pertempuran pecah, Sara atau Dewan Penasihat Kesultanan Buton mempunyai siasat jitu untuk meredam serangan VOC. Mereka meminta Himayatuddin menyingkir sementara waktu sembari menyusun kekuatan perlawanan.
Memutus Perjanjian Dagang VOC
Kesultanan Buton telah berinteraksi dengan VOC dalam hubungan dagang dan politik sejak abad ke-17. Bahkan hubungan tersebut terikat secara resmi dalam traktat resmi Pajanji Awalina pada 5 Januari 1613. Inti traktat tersebut, membolehkan VOC menggunakan pelabuhan Bau-Bau, mengendalikan penanaman perdagangan rempah, serta memperoleh budak dari Orang Buton.
Sebaliknya dari pihak VOC. Kesultanan Buton berhak memperoleh bantuan keamanan dari VOC jika Kesultanan Gowa dan Ternate menyerang Buton. Dua kesultanan ini memang memiliki kepentingan politik dan ekonomi terhadap perdagangan rempah di perairan timur Hindia.
Ada situasi ketika VOC berhasil melepaskan Buton dari ancaman Kesultanan Gowa pada sekira tahun 1655. Demikian Kesultanan Ternate mengurungkan niat memperluas pengaruh ekonominya ke Buton. VOC merasa berjasa terhadap Kesultanan Buton. Atas hal tersebut VOC membuat perjanjian segitiga dengan Buton dan Ternate pada 26 Juni 1667. Isinya meminta Kesultanan Buton mengirimkan upeti bahan makanan kepada VOC. Hubungan ekonomi dan politik Buton dengan pihak luar harus seizin VOC dan Kesultanan Ternate.
Pada masa Himayatuddin memerintah, perjanjian antara VOC dengan Buton mulai goyah. Perjanjian terlalu istimewa dan memberi porsi besar untuk VOC. Sultan juga menerima banyak laporan dari rakyat akan perilaku congkak orang-orang VOC. Perilaku pergaulan orang-orang VOC bertentangan dengan perilaku Buton yang Islami. Himayatuddin menimbang ulang perjanjian. Sikap Sultan ini membuat VOC marah dan mengancam mengerahkan kekuatan militer menyerang Buton.
Perjuangan Gerilya Sultan Himayatuddin
Perang Buton yang juga dikenal sebagai Zaman Kaheruna Walanda atau zaman huru-hara Belanda, akhirnya pecah. Himayatuddin memimpin perlawanan dari sebuah benteng, tetapi pasukan VOC berhasil mendesak rakyat Buton. Himayatuddin pun menyingkir dengan bergerilya ke pedalaman. Meskipun perang berakhir, Himayatuddin tetap menolak menjalin hubungan dengan VOC dan memilih bergerilya di hutan dan gunung.
Himayatuddin sempat kembali ke keraton dan menjadi Sultan lagi selama rentang waktu 1760-1763. Namun, tak banyak keterangan tentang apa yang dilakukannya dalam rentang waktu itu. Beliau turun takhta kembali pada 1763 dan memulai lagi perjuangan gerilyanya bersama rakyat. Selama gerilya, dia menekankan pentingnya pewarisan lingkungan kepada generasi setelahnya untuk melestarikan hidup bersama.
Sultan Himayatuddin Sebagai Pahlawan Nasional
Sultan Himayatuddin memilih menetap di daerah pedalaman Siontapina hingga meninggal pada 1776. Makamnya berada di puncak Gunung Siontapina. Di pantai Kota Bau-Bau pemerintah daerah mendirikan Patung Oputa Yi Koo untuk mengenang kepahlawanan beliau. Sultan Himayatuddin adalah Sultan Buton yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Pada 11 November 2019, Pemerintah RI menganugerahkan status Pahlawan Nasional kepada Sultan Himayatuddin “Oputa Yi Koo”. Pengakuan ini menunjukkan betapa besar kontribusinya dalam perjuangan melawan penjajah dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
