SURAU.CO – Pemandangan seorang ibu dengan sabar menjawab rentetan pertanyaan “kenapa?” dari anaknya adalah hal yang biasa. Suara lembutnya membacakan dongeng, tangannya sigap mengobati luka, atau pelukannya yang menenangkan tangis. Adegan-adegan ini bukan sekadar rutinitas harian. Peran seorang ibu jauh lebih dalam dari itu. Menjadi ibu yang mendidik bukan hanya sebuah tugas. Ia adalah sebuah misi agung yang membentuk masa depan. Ia adalah identitas yang melekat erat dan menjadi penentu arah sebuah peradaban.
Peran ini memang tidak glamor. Tidak ada piala atau sorotan kamera. Namun, justru di situlah letak kekuatannya. Peran ini begitu membumi bagi setiap keluarga. Ia hadir dalam berbagai momen penting: suapan pertama, langkah pertama, kata pertama, hingga saat anak melangkah dewasa.
Menjadi Ibu yang Mendidik: Misi Membangun Peradaban dari Sebuah Pangkuan
Arti dari ibu sebagai pendidik sangatlah kaya dan mendalam. Ia mencerminkan sebuah kearifan universal. Dalam Islam, ada ungkapan kuat: Al-Ummu madrasatul ula. Artinya, ibu adalah sekolah atau madrasah pertama bagi anak-anaknya.
Ungkapan ini bukan sekadar kiasan. Ia adalah cerminan dari sebuah fakta. Proses belajar seorang manusia dimulai dari pangkuan ibunya. Setiap kata, sikap, dan respons seorang ibu adalah kurikulum pertama. Ia mencerminkan nilai-nilai kesabaran, cinta, keteladanan, dan keimanan. Peran ibu bukan hanya selembar ijazah. Ia adalah cerminan dari cara hidup, nilai-nilai luhur, dan sejarah panjang kemanusiaan itu sendiri.
Ibu yang Mendidik: Pembentuk Adab dan Watak Anak
Di banyak keluarga, peran ibu mengajarkan adab. Setiap pelukan dan nasihatnya mengingatkan anak untuk bersikap baik. Perannya adalah penanda untuk menjaga kesucian hati dan menjauhi keburukan. Penampilan anak boleh saja sederhana. Namun, isi kepala dan sikap hatinya harus selalu tertata. Nilai utama dalam keluarga bukan pada apa yang dimiliki. Melainkan pada akhlak dan ilmu.
Di rumah-rumah, suara ibulah yang pertama kali mengenalkan nama Tuhan. Dari sana, muncul kebiasaan yang tumbuh menjadi kesadaran. Ia menanamkan cara hidup yang luhur. Yaitu: cukup, santun, dan terhormat.
Di Balik Tekanan Menjadi Sempurna
Zaman terus berubah, namun peran ibu tidak akan pernah tergantikan. Ia justru menghadapi tantangan yang lebih kompleks. Peran ibu kini harus berhadapan dengan gempuran dunia digital.
Gawai ada di tangan setiap anak. Informasi baik dan buruk bercampur aduk. Di sinilah peran ibu sebagai pendidik menjadi semakin krusial. Ia harus menjadi filter pertama. Ia perlu membekali diri dengan wawasan dan literasi digital. Tujuannya agar bisa mendampingi anak-anaknya di dunia maya. Perannya kini tidak hanya di dunia nyata. Ia juga harus hadir di dunia virtual anak-anaknya.
Tantangan Ibu di Era Modern yang Penuh Distraksi
Di tengah semangat ini, muncul sebuah kegelisahan. Jangan sampai peran ibu yang mendidik hanya menjadi slogan. Jangan sampai ia kehilangan makna sejatinya. Peran ini lahir dari ruang-ruang pengabdian yang sunyi. Ia lahir dari doa-doa di sepertiga malam. Ia berasal dari peluh seorang ibu yang tak pernah lelah belajar.
Dalam beberapa konteks, peran ibu ditarik-tarik untuk kepentingan lain. Media sosial sering menampilkan citra “ibu sempurna”. Rumahnya selalu rapi. Anaknya selalu berprestasi. Hal ini justru bisa menjadi beban. Padahal, menjadi ibu yang mendidik tidak membutuhkan kesempurnaan. Ia hanya membutuhkan kesungguhan. Ia butuh hati yang tulus dan kemauan untuk terus belajar.
Di tengah kehidupan yang konsumtif, peran ibu yang mendidik adalah lambang perlawanan. Ia tidak memamerkan. Ia menanamkan. Ia bukan tren cepat saji. Peran ibu adalah tradisi panjang yang membentuk jati diri. Ia menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan. Ia menjembatani antara nilai-nilai luhur dan tantangan zaman. Ia juga menjembatani spiritualitas dan realitas sosial.
Ibu yang Mendidik adalah Arsitek Peradaban
Tugas kita adalah menjaga ruh ibu pendidik tetap hidup. Peran ini boleh beradaptasi dengan zaman. Namun, jangan biarkan ia kehilangan makna. Islam merangkul perubahan. Namun, nilai-nilai dasarnya harus tetap kuat.
Kita semua, sebagai anak dan calon orang tua, diajak untuk menghayati peran ini. Menjadi ibu yang mendidik berarti tidak berlebihan. Namun, punya isi. Tidak menonjolkan diri. Namun, punya prinsip. Sebuah peran yang genuine atau asli. Ia berasal dari fitrah yang kita rawat. Semua itu berasal dari kesadaran bahwa dari pangkuan seorang ibu, peradaban besar dilahirkan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
