SURAU.CO – Ulama Nusantara telah mewariskan kebijaksanaan moral dalam karya-karya sederhana namun sarat makna. Salah satunya adalah Akhlaq lil Banin karya Syekh Umar bin Ahmad Baraja dari Ampel, Surabaya. Beliau lahir pada 10 Jumadil Akhir 1331 H (17 Mei 1913 M), menempuh pendidikan di Madrasah Al-Khairiyah, dan belajar kepada sejumlah guru besar sebelum akhirnya mengabdikan diri sebagai pendidik.
Kitab ini ditulis untuk santri madrasah diniyah, dengan tujuan membentuk etika Islam sejak masa kanak-kanak. Syekh Umar menjelaskan bahwa anak yang beradab akan dicintai keluarga dan disayangi masyarakat. Tak heran bila Akhlaq lil Banin menjadi bacaan pokok di banyak pesantren. Oleh sebab itu, Syekh Umar sering disebut sebagai sosok yang “mengukir akhlak para santri Indonesia.”
Dengan Apa Seorang Anak Beradab?
Kitab ini diawali dengan pertanyaan retoris: بماذا ينخلق الولد؟ – Dengan apa seorang anak bisa berakhlak?
Syekh Umar menjawab:
«يجب على الولد أن يتخلق بالأخلاق الحسنة من صغره، ليعيش محبوباً في كبره: يرضى عنه ربه، ويحبّه أهله، وجميع الناس»
“Wajib atas seorang anak untuk berakhlak baik sejak kecil, agar saat dewasa hidupnya penuh cinta: Tuhan meridhainya, keluarganya mencintainya, dan semua orang menyayanginya.”
Dari kutipan itu, jelas bahwa pembentukan akhlak tidak boleh ditunda. Seperti halnya pohon yang dibiarkan tumbuh bengkok, akhlak yang buruk pun akan sulit diluruskan ketika dewasa.
Oleh karena itu, sejak dini anak perlu diajarkan nilai-nilai sopan santun. Kitab ini menekankan pentingnya menghormati orang tua, guru, dan saudara yang lebih tua, serta menyayangi yang lebih kecil. Di era digital, nasihat ini menjadi sangat relevan. Sebab, anak-anak kini akrab dengan gawai dan hiburan yang membuat mereka mudah melupakan tata krama.
Antara Anak Berakhlak dan Anak yang Kasar
Syekh Umar menghadirkan dua gambaran kontras. Anak yang beradab bersikap sopan, sabar, tidak menyela pembicaraan, dan tertawa dengan rendah hati. Sebaliknya, anak yang buruk akhlaknya digambarkan suka berbohong, berkata kasar, meremehkan orang lain, serta tidak malu berbuat keburukan.
Menariknya, kitab ini menggunakan pendekatan naratif yang sangat efektif. Anak-anak diajak membayangkan dua karakter berbeda. Dengan cara ini, mereka bisa memahami mana perilaku yang patut diteladani dan mana yang seharusnya dihindari.
Di sisi lain, kita sebagai orang tua atau guru bisa memanfaatkan cerita-cerita semacam ini sebagai sarana berdialog. Daripada memberi ceramah panjang, lebih baik membacakan kisah dan membiarkan anak menyimpulkan nilai yang terkandung di dalamnya.
Hikmah dari Pohon Miring
Salah satu kisah paling menyentuh dalam Akhlaq lil Banin ialah dialog antara Ahmad dan ayahnya. Saat melihat pohon mawar yang tumbuh miring, Ahmad bertanya mengapa hal itu bisa terjadi. Sang ayah menjelaskan: karena tidak dirawat sejak kecil, batangnya jadi sulit diluruskan. Syekh Umar menjadikan kisah ini sebagai perumpamaan bahwa anak pun harus dibimbing sejak dini agar tidak “miring” saat dewasa.
Cerita ini menyentuh banyak hati. Misalnya, beberapa pembaca mungkin mengenang masa kecil yang penuh kedisiplinan, sementara yang lain tumbuh tanpa arahan yang jelas. Di masa kini, kesibukan orang tua sering membuat pendidikan anak diserahkan pada sekolah atau bahkan layar gadget.
Namun, pendidikan moral tak bisa sepenuhnya dialihkan. Justru melalui tindakan-tindakan sederhana seperti merapikan buku, menolong tetangga, atau mengucap terima kasih, akhlak anak bisa dibentuk secara perlahan namun kokoh.
Saya pribadi mengenal kitab ini dari kelas madrasah. Guru kami membacakan kisah anak sopan yang menghormati ibunya. Kami sempat tertawa saat mendengar gambaran anak nakal yang suka berkelahi. Akan tetapi, tanpa disadari, kisah-kisah itu tertanam dalam benak.
Bertahun-tahun kemudian, ketika menjadi orang tua, saya menyadari bahwa kisah pohon miring itu menjadi nyata. Anak saya meniru apa yang saya lakukan. Ketika saya bersikap santun, ia pun mengikuti. Namun, saat saya lengah, ia menyerap tayangan yang tidak mendidik. Maka dari itu, kitab ini mengingatkan saya bahwa akhlak harus dirawat setiap hari.
Refleksi untuk Zaman Sekarang
Di bagian akhir kitab, Syekh Umar mengajak kita untuk merenungi pentingnya masa kecil dalam menentukan masa depan seseorang. Dalam masyarakat modern yang serba cepat dan kompetitif, membentuk akhlak menjadi investasi paling berharga—bahkan lebih penting daripada sekadar menyiapkan tabungan materi.
Oleh karena itu, saya merasa perlu meluangkan waktu untuk duduk bersama anak, mematikan gawai, dan bercerita tentang adab kepada orang tua, guru, dan tetangga. Pertanyaannya: sudahkah kita menanamkan akhlak sejak dini?
Semoga kisah pohon miring membuka mata hati kita untuk terus membimbing anak-anak dengan kasih sayang, keteladanan, dan keteguhan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
