Fiqih
Beranda » Berita » Ada Beda Pendapat. Ini Hukum Menyentuh Anjing Menurut 4 Mazhab

Ada Beda Pendapat. Ini Hukum Menyentuh Anjing Menurut 4 Mazhab

Ilustrasi muslim berinteraksi dengan anjing
Ilustrasi muslim berinteraksi dengan anjing

Surau.co – Jika kita pergi ke daerah Maroko atau wilayah Andalusia, kita akan menyaksikan seorang muslim memelihara anjing. Bahkan berinteraksi sangat dekat, dan tak jarang mereka juga nyaman saja saat terkana air liurnya. Sementara di mayoritas wilayah Indonesia, anjing dan seorang muslim memiliki jarak. Jangankan terkena air liurnya, menyentuh saja banyak yang menghindarinya karena meyakinya sebagai hewan yang najis.

Perbedaan pendekatan tersebut, mencerminkan lanskap keislaman yang menjadikan hubungan antara manusia dan anjing tak sederhana. Sebab, pada manusia dan anjing, ada garis batas yang ditarik syariat. Dan garis itu ditafsirkan dengan cara yang berbeda oleh empat imam mazhab besar yang menjadi rujukan umat islam. Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali.

Hadits yang menjadi dasar sejatinya sama. Yakni hadits dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Bila seekor anjing minum dari wadah milik kalian, maka cucilah 7 kali. (HR Bukhari dan Muslim). Namun, keempat imam mazhab menafsirkannya berbeda.

Mazhab Syafi’i dan Hambali

Dalam pandangan Syafi’i yang terkenal sangat hati-hati, anjing adalah hewan najis ‘ain (najis zat). Sehingga najis semuanya termasuk air liur dan tubuhnya. Bila terkena, wajib dibasuh tujuh kali, salah satunya dengan tanah, sesuai hadits nabi.

Memelihara anjing dalam mazhab Syafi’i hanya diperbolehkan untuk keperluan berburu, menjaga rumah atau ternak. Jika hanya untuk hobi atau kesenangan, maka hukumnya haram. Bahkan bisa mengurangi pahala harian sebagaima hadits nabi.

Membangun Etos Kerja Muslim yang Unggul Berdasarkan Kitab Riyadus Shalihin

“Siapa saja yang memelihara anjing bukan anjing pemburu, penjaga ternak, atau penjaga kebun, maka pahalanya akan berkurang sebanyak dua qirath setiap hari.” (HR. Muslim).

Mazhab Hambali yang pengikutnya tersebar di Asia Barat memiliki pendapat yang sejalan dengan Syafi’i. Kelompok ini juga mewajibkan basuhan tujuh kali, dan menganggap seluruh tubuh anjing najis.

Sebagaimana Syafi’i, Hanbali juga berpendapat pemeliharaan anjing terbatas. Hanbali mengizinkan anjing untuk fungsi-fungsi yang sama, yakni berburu, menjaga ladang, atau rumah. Yang menarik, Imam Ahmad bin Hanbal juga memiliki riwayat tentang pentingnya memperlakukan anjing dengan baik, dan menyebutkan bahwa hukum menjaga anjing adalah mubah jika ada kebutuhan mendesak.

Mazhab Hanafi

Sementara Mazhab Hanafi memiliki pendekatan yang cenderung moderat. Mereka tidak berpendapat bahwa seluruh tubuh anjing najis. Najis dalam pandangan Hanafi hanya pada organ byang basah seperti air liur. Namun demikian, hanafi tidak mewajibkan membasuhnya harus tujuh kali seperti yang diyakini Syafi’I dan hanbali.

Menurut mereka status anjing pada dasarnya adalah suci kecuali pada perkara yang basah. Landasan yang mereka pakai adalah Alquran Surah Al-An’am ayat 145 :

Frugal Living Ala Nabi: Menemukan Kebahagiaan Lewat Pintu Qanaah

“Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi, karena semua itu kotor atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Menurut mereka anjing tidak najis karena tidak termasuk dalam cakupan ayat tersebut.

Mazhab Maliki

Di antara keempat mazhab, Mazhab Maliki yang berkembang di Afrika Utara dan sebagian Andalusia, memiliki pandangan yang paling lunak soal anjing. Imam Malik sendiri berpendapat bahwa anjing tidak najis secara zat. Artinya, menyentuh anjing tidak membuat wudhu batal atau pakaian najis, bahkan air liurnya pun tidak dianggap najis secara mutlak.

Adapun terkait hadits nabi, Maliki menafsirkan jika perintah membasuh tersebut hanya berlaku jika ada wadah yang terkena jilatannya sebagai bentuk ta’abbud atau kepatuhan.

Syekh Al Habib Bin Tahir dalam kitab Al Fiqh Al Maliki Wa Adilatuhu menjelaskan, ada dua alasan yang mendasari Maliki menilai anjing suci. Pertama, Maliki menyamakan bekas jilatan anjing (su’rul kalb) dengan bekas jilatan hewan buas lainnya yang tidak najis. Karena anjing termasuk salah satu dari jenis hewan buas.

Menyelaraskan Minimalisme dan Konsep Zuhud: Relevansi Kitab Riyadhus Shalihin di Era Modern

Kemudian alasan kedua, Maliki menyamakan sucinya anjing dengan kucing. Dia berpandangan, anjing dan kucing memiliki kesamaan dalam hal tathwaf. Kedua hewan ini memiliki karakter yang senang mengitari manusia atau berjalan-jalan di sekitar manusia. Sehingga interaksinya sangat intens dalam kehidupan.

Anjing Tetap Wajib diperlakukan Baik

Meski terdapat perbedaan pandangan dalam hukumnya, keempat mazhab punya pandangan yang sama perihal perlakuan terhadap anjing. Yakni harus memberikan kasih sayang. Sebab Islam bukan agama yang membenci hewan apapun. Dalam banyak riwayat Rasulullah justru mencontohkan kasih sayang kepada binatang, termasuk anjing.

Dalam riwayat, ada juga kisah seorang pelacur yang mendapat pengampunan dosa karena memberi minum seekor anjing yang kehausan. Salah satu cerita paling menyentuh yang menunjukkan pesan jelas. Bahwa terhadap hewan yang kita anggap najis sekalipun, kita tetap harus menunjukkan sikap kasih sayang.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement