Pendidikan
Beranda » Berita » Seni Mendidik dengan Pujian: Meneladani Metode Rasulullah

Seni Mendidik dengan Pujian: Meneladani Metode Rasulullah

Seni Mendidik dengan Pujian

SURAU.CO – Dalam mendidik, kita sering kali lebih fokus pada kesalahan. Akibatnya, kita menjadi cepat dalam mengoreksi, namun lambat dalam mengapresiasi. Padahal, pujian yang tulus merupakan salah satu alat pendidikan paling ampuh. Ia mampu menyiram benih kebaikan dan menumbuhkan kepercayaan diri. Rasulullah ﷺ, sebagai pendidik terhebat, telah memberikan teladan sempurna dalam hal ini. Beliau menggunakan pujian bukan sebagai sanjungan kosong, melainkan sebagai strategi untuk membangun karakter yang kokoh.

Pada dasarnya, pujian yang tepat sasaran berfungsi layaknya bahan bakar. Ia mampu menyalakan semangat dan mendorong seseorang untuk menjadi versi terbaik dari dirinya. Sebaliknya, kritikan yang terus-menerus justru dapat memadamkan potensi. Anak yang selalu disalahkan cenderung tumbuh menjadi pribadi yang ragu-ragu. Di sisi lain, anak yang diapresiasi akan merasa dihargai. Sebagai hasilnya, mereka lebih berani mencoba hal baru dan tidak takut berbuat salah. Inilah inti dari metode pendidikan kenabian.

Rasulullah ﷺ, Sang Maestro Pendidikan Lewat Pujian

Nabi Muhammad ﷺ memiliki kemampuan yang luar biasa dalam memuji. Beliau mampu melihat potensi terbaik dalam diri setiap sahabatnya. Pujian beliau selalu tulus, spesifik, dan memberikan dampak jangka panjang. Salah satu contoh indahnya terekam dalam sebuah hadis yang melibatkan Abu Hurairah.

Suatu hari, Abu Hurairah, seorang sahabat yang sangat mencintai ilmu, mengajukan sebuah pertanyaan:

يا رسول الله من أسعد الناس بشفاعتك يوم القيامة؟

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

“Ya Rasulullah, siapakah kiranya orang yang paling beruntung mendapatkan syafa’at engkau di hari kiamat nanti?”

Namun, sebelum menjawab pertanyaan itu, Rasulullah ﷺ memberikan pujian yang menyentuh. Beliau tidak langsung ke inti jawaban, melainkan mengapresiasi semangat Abu Hurairah terlebih dahulu.

لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَنْ لَا يَسْأَلُنِي عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلُ مِنْكَ لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيثِ

“Aku telah menduga wahai Abu Hurairah, bahwa tidak ada orang yang mendahuluimu dalam menanyakan masalah ini, karena aku lihat betapa perhatian dirimu terhadap hadits.” (HR. Bukhari)

Coba bayangkan perasaan Abu Hurairah saat itu. Semangat belajarnya mendapat pengakuan dan pujian langsung dari manusia termulia. Tentu saja, pujian ini membuatnya semakin termotivasi untuk mendalami hadis. Barulah setelah itu, Rasulullah ﷺ memberikan jawaban atas pertanyaannya.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Pujian yang Membangun: Kisah Abdullah bin Umar

Contoh lain yang sangat inspiratif adalah kisah Abdullah bin Umar. Suatu ketika, Abdullah bin Umar bermimpi seolah-olah dibawa ke neraka. Ia merasa sangat ketakutan dalam mimpinya. Kemudian, ia menceritakan mimpi tersebut kepada kakaknya, Hafsah, yang juga istri Nabi. Hafsah lalu menyampaikannya kepada Rasulullah ﷺ.

Setelah mendengar cerita itu, Rasulullah ﷺ tidak menghakimi atau menakut-nakuti. Beliau justru memberikan pujian yang digabungkan dengan sebuah saran yang sangat lembut. Beliau bersabda:

نِعْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللَّهِ لَوْ كَانَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ

“Sebaik-baik lelaki adalah Abdullah, seandainya ia mau shalat di malam hari.” (HR. Bukhari & Muslim)

Metode pujian ini sangat cerdas. Nabi ﷺ memulai dengan pengakuan, “Sebaik-baik lelaki adalah Abdullah.” Kalimat positif ini tentu mengangkat semangat Abdullah bin Umar. Setelah itu, beliau menyisipkan sebuah nasihat yang membangun, “seandainya ia mau shalat di malam hari.” Hasilnya? Sejak saat itu, Abdullah bin Umar hampir tidak pernah lagi meninggalkan shalat malam. Pujian tersebut berhasil mengubah kebiasaannya seumur hidup.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Pujian yang Tepat Sasaran: Kunci Keberhasilan

Dari teladan Nabi, kita belajar bahwa pujian harus memiliki tujuan yang jelas, yaitu untuk mendidik, bukan sekadar memanjakan. Sebab, pujian yang berlebihan atau tidak sesuai kenyataan justru bisa berbahaya. Ia dapat menumbuhkan sifat sombong dan ‘ujub (bangga diri). Seseorang yang terlalu sering dipuji untuk hal biasa saja akan merasa cepat puas. Akibatnya, ia berhenti berusaha untuk menjadi lebih baik.

Ibnu Batthol rahimahullah juga mengingatkan tentang bahaya pujian yang melampaui batas. Menurutnya, pujian seperti itu dapat membuat orang yang dipuji lalai dari beramal. Ia merasa sudah hebat sehingga tidak perlu lagi meningkatkan kebaikannya. Oleh karena itu, kuncinya adalah tulus dan spesifik. Puji perbuatannya, bukan hanya orangnya. Misalnya, lebih baik mengatakan, “Masya Allah, tulisanmu sangat rapi,” daripada hanya berkata, “Kamu pintar.”

Menerapkan Metode Kenabian di Era Modern

Lantas, bagaimana kita dapat menerapkan metode kenabian ini di zaman sekarang? Berikut beberapa langkah praktisnya:

  1. Awali dengan Niat Mendidik. Jadikan pujian sebagai sarana untuk menanamkan nilai-nilai positif.

  2. Jadilah Pengamat yang Baik. Perhatikan setiap kebaikan, sekecil apa pun. Apresiasi usaha dan prosesnya, bukan hanya hasil akhir.

  3. Gunakan Pujian yang Spesifik. Hindari kalimat klise. Sebutkan secara jelas perilaku baik yang ingin Anda kuatkan.

  4. Sampaikan dengan Tulus. Pujian yang datang dari hati akan sampai ke hati.

  5. Seimbangkan dengan Nasihat. Jika perlu, gabungkan pujian dengan saran membangun, seperti teladan Rasulullah ﷺ pada Abdullah bin Umar.

Pada intinya, dengan mempraktikkan seni memuji ala Rasulullah, kita tidak hanya sedang membahagiakan orang lain. Lebih dari itu, kita sedang berpartisipasi aktif dalam membentuk generasi yang berakhlak mulia, percaya diri, dan senantiasa termotivasi untuk berbuat kebaikan.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement