SURAU.CO – Sayyid Qutb terkenal sebagai salah satu pemikir Islam paling berpengaruh pada abad ke-20. Karya dan perjuangannya meninggalkan jejak mendalam dalam diskursus Islam kontemporer, meski kerap mengundang kontroversi. Dia bukan hanya seorang penulis, tetapi juga seorang hafiz Al-Qur’an, cendekiawan, sastrawan, dan jurnalis. Pemikirannya yang tajam dan keberaniannya melawan rezim penguasa membuatnya menjadi figur inspiratif sekaligus target penindasan.
Awal Kehidupan dan Pendidikan
Sayyid Qutb lahir pada 9 Oktober 1906 di desa Musha, Mesir. Ia tumbuh dalam keluarga religius. Ayahnya, Ibrahim Qutb, adalah seorang ahli pertanian. Sayyid merupakan anak tertua dari lima bersaudara. Sejak kecil, ia telah menunjukkan kecerdasan yang luar biasa. Atas dorongan ibunya, ia berhasil menghafal seluruh Al-Qur’an pada usia sepuluh tahun.
Qutb memulai pendidikannya di desa. Keluarganya kemudian pindah ke Halwan, dekat Kairo, agar anak-anaknya mendapat pendidikan yang lebih baik. Di Kairo, ia melanjutkan studi ke Madrasah Darul Ulum dan lulus pada tahun 1929. Ia kemudian berhasil kuliah di Universitas Darul Ulum Kairo yang prestisius, dan meraih gelar sarjana dalam bidang pendidikan pada tahun 1933. Setelah lulus, ia memulai karirnya sebagai dosen dan kemudian selanjutnya menjadi pengawas sekolah di bawah Kementerian Pendidikan Mesir.
Titik Balik di Amerika Serikat
Kementerian Pendidikan Mesir mengirim Sayyid Qutb ke Amerika Serikat. Ia mendapat beasiswa untuk mempelajari sistem pendidikan modern selama dua tahun. Pengalamannya di Barat menjadi titik balik penting dalam hidupnya. Di sana, Qutb menyaksikan langsung pengaruh buruk materialisme dan sekularisme. Ia merasa gelisah dengan kondisi moralitas masyarakat Barat yang mengalami kemerosotan.
Pengamatan ini membuatnya semakin yakin bahwa hanya Islam yang memiliki solusi komprehensif untuk masalah kemanusiaan. Islam, dalam pandangannya, tidak hanya mengatur ibadah ritual tetapi juga seluruh aspek kehidupan. Sekembalinya ke Mesir, keyakinan ini mendorongnya untuk terjun ke dalam aktivisme Islam.
Bergabung dengan Ikhwanul Muslimin
Setelah kembali dari Amerika, Sayyid Qutb mulai mempelajari gerakan Ikhwanul Muslimin. Gerakan ini bertujuan melawan pengaruh kolonialisme Barat dan menegakkan nilai-nilai Islam di Mesir. Pada tahun 1945, Qutb secara resmi bergabung dengan Ikhwanul Muslimin.
Popularitas Ikhwanul Muslimin meningkat pesat setelah Perang Dunia II. Mereka menuntut kemerdekaan penuh Mesir dari Inggris. Kekuatan mereka yang terus bertumbuh membuat pemerintah Mesir cemas. Setelah pendiri Ikhwanul Muslimin, Hasan al-Banna, dibunuh pada tahun 1949, pemerintah Mesir sempat melarang organisasi ini. Namun, setelah Revolusi Mesir 1952, pemerintah Mesir kembali melegalkan Ikhwanul Muslimin kembali dan Sayyid Qutb menjadi anggota komite pusat. Ia juga menjabat sebagai redaktur majalah partai.
Konfrontasi dengan Rezim Nasser dan Penjara
Hubungan Ikhwanul Muslimin dengan rezim baru pimpinan Kolonel Gamal Abdel Nasser awalnya baik. Namun, hubungan itu segera memburuk. Nasser tidak menunjukkan niat untuk menerapkan syariat Islam seperti yang diharapkan Ikhwan. Puncaknya, Nasser membuat kesepakatan dengan Inggris. Atas hal itu Ikhwanul Muslimin melakukan kritik keras.
Pemerintahan Nasser kemudian bertindak represif terhadap Ikhwanul Muslimin. Pada tahun 1954, ribuan anggota, termasuk Sayyid Qutb, ditangkap dengan tuduhan merencanakan pembunuhan Nasser. Pemerintah menjatuhi Qutb dengan hukuman 15 tahun penjara dan mengalami penyiksaan berat. Meskipun menderita sakit parah, semangatnya tidak pernah padam. Ketika pemerintah menawarinya pengampunan jika ia bersedia memintanya, Qutb dengan tegas menolak. Ia berkata:
“Sang tertindas meminta pengampunan? Demi Allah, saya tak akan pernah melakukannya walaupun saya menyadari akan dibebaskan oleh penindas kalau saya meminta pengampunan. Saya lebih suka menemui Tuhan seakan-akan Dia menyukai saya dan saya menyukai Dia.”
Karya Monumental dan Gagasan Utama
Di dalam penjara, produktivitas Sayyid Qutb justru mencapai puncaknya. Ia menulis dua karyanya yang paling berpengaruh.
- Fi Zilal al-Qur’an (Dalam Naungan Al-Qur’an): Ini adalah tafsir Al-Qur’an 30 juz yang monumental. Qutb menulisnya dengan gaya sastra yang indah, tafsir ini tidak hanya membahas makna ayat, tetapi juga ruh dan semangatnya sebagai petunjuk hidup. Qutb menulis sebagian besar tafsir ini saat mendekam di penjara, menuangkan penderitaan dan penghayatannya yang mendalam terhadap Al-Qur’an.
- Ma’alim fi al-Tariq (Petunjuk Jalan): Buku kecil yang terbit pada tahun 1964 ini sebagai manifesto gerakan Qutb. Dalam buku ini, ia mengemukakan konsep jahiliyyah modern, yaitu kondisi masyarakat yang tidak berhukum pada syariat Allah. Ia berpendapat bahwa dunia Muslim telah kembali ke kondisi jahiliyyah dan menyerukan pembentukan sebuah garda depan (avant-garde) untuk menegakkan kembali kedaulatan Allah di muka bumi. Buku inilah yang menjadi alasan utama pemerintah Mesir menjatuhkan hukuman mati kepadanya.
Akhir Hayat dan Warisan
Sayyid Qutb sempat bebas pada tahun 1964 atas permintaan Presiden Irak, namun statusnya menjadi tahanan rumah. Setahun kemudian, pemerintah kembali menangkapnya bersama ribuan aktivis lainnya dengan tuduhan merencanakan kudeta.
Dalam pengadilan militer yang kontroversial, ia divonis mati. Protes dari dunia internasional tidak dihiraukan oleh pemerintah Mesir. Pada 29 Agustus 1966, Sayyid Qutb dieksekusi dengan cara digantung.
Kematian Sayyid Qutb menjadikannya seorang martir (syahid) di mata banyak pengikutnya. Pemikirannya menginspirasi banyak gerakan Islam di seluruh dunia, meskipun juga sering dianggap sebagai landasan ideologis bagi kelompok-kelompok radikal. Terlepas dari kontroversi yang menyertainya, Sayyid Qutb tetap menjadi salah satu tokoh paling signifikan dalam sejarah pemikiran Islam modern. (Tri/dari berbagai sumber)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
