Sejarah
Beranda » Berita » Sejarah Sajadah, Dari Era Nabi Hingga Jadi Komoditas Global

Sejarah Sajadah, Dari Era Nabi Hingga Jadi Komoditas Global

Ilustrasi Sajadah
Ilustrasi Sajadah

Surau.co – Saat shalat, terbentang sehelai kain di hadapan kita. Kain yang kerap kita sebut sajadah itu, diam-diam menyimpan kisah panjang. Sajadah bukan hanya alas sujud, tetapi saksi sejarah peradaban Islam sejak zaman Rasulullah SAW hingga hari ini.

Tak hanya itu, dalam konteks modern, sajadah juga menjadi salah satu identitas budaya dengan keanekaragaman kain dan motifnya. Yang dalam perspektif ekonomi, keunikan itu telah menjadi komoditas yang cukup menjanjikan. Bahkan oleh negara non muslim seperti Tiongkok.

Awal Mula Sajadah

Pada masa Rasulullah SAW, Islam belum mengenal sajadah sebagaimana bentuknya kini. Kala itu, nabi shalat di atas tanah, batu, atau permukaan apa pun yang tersedia. Sebab, seluruh permukaan bumi adalah tempat shalat.

“Seluruh bumi telah dijadikan tempat sholat, kecuali kuburan dan kamar kecil” (HR. Al-Tirmidzi)

Dalam riwayat juga menyebutkan bahwa Nabi kerap shalat langsung di atas tanah. Bahkan, tak jarang tanah itu basah karena hujan. Dahi beliau menyentuh bumi dan kerap kali tanah menempel pada dahinya.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Meski demikian, dalam kesempatan lain juga nabi shalat di atas tikar sederhana. Hal itu sebagaimana pernah disaksikan oleh Abu Sa’id.  “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam salat di atas tikar, beliau sujud di atasnya.” (HR. Muslim).

Tikar pada masa itu umumnya terbuat dari pelepah kurma. Tikar digunakan bukan karena kemewahan, melainkan untuk kenyamanan fisik semata. Meski kadang menyisakan bekas pada dahi, tetapi tetap digunakan jika tanah terlalu panas atau berbatu.

Pada masa itu, fungsi alas shalat murni bersifat praktis. Tidak ada hiasan, motif, atau warna-warna mencolok. Semangatnya adalah kesederhanaan dan keikhlasan dalam ibadah.

Sajadah berkembang di Era Islam Klasik

Dalam perjelanannya, sajadah berkembang. Itu seiring meluasnya wilayah Islam ke Persia, Bizantium, dan wilayah Asia Tengah. Di situ, unsur-unsur budaya lokal mulai terintegrasi ke dalam praktik ibadah, termasuk dalam bentuk alas shalat. Peradaban Persia yang telah lama mengenal seni permadani memberi pengaruh besar terhadap bentuk awal sajadah berornamen.

Mulailah muncul sajadah dengan motif geometris, kaligrafi, bahkan gambar mihrab yang menunjukkan arah kiblat. Di masa Dinasti Abbasiyah dan Utsmani, sajadah menjadi bagian dari seni Islam yang berkembang pesat. Sajadah bukan hanya alas, tetapi juga medium ekspresi religius dan estetika.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Motif Sajadah Jangan Mencolok

Meski tidak ada aturan secara rinci, para ulama tetap mengingatkan agar motif dan bentuk sajadah tidak mengganggu kekhusyukan. Hal itu sebagaimana peristiwa yang pernah dialami Nabi dalam sebuah hadits.

“Bawalah kain ini ke Abu Jahm dan bawakan kepadaku kain milik Abu Jahm yang tidak bercorak, karena kain yang bercorak tersebut sempat melalaikanku dari salatku (mengganggu kekhusyu’anku).” (HR.Bukhâri dan Muslim dari hadits ‘Aisyah RA).

Hadist tersebut menjelaskan, kain bercorak bermakna alas yang penuh dengan gambar atau warna-warna mencolok. Sehingga saat menggunakannya, Nabi justru merasa tidak khusyuk dalam shalatnya. Karena sebagian pikirannya, malah fokus kepada alas salatnya itu.

Sajadah sebagai Komoditas

Memasuki era modern, sajadah mengalami transformasi besar. Dari awalnya tempat sujud, menjadi komoditas global seiring meningkatnya populasi umat islam. Negara-negara seperti Turki, Iran, Pakistan, Indonesia, bahkan Tiongkok, berlomba menjadi produsen dengan berbagai gaya dan kualitasnya.

Ada sajadah anti-bakteri, sajadah traveling yang bisa dilipat sekecil dompet, hingga sajadah digital dengan penunjuk arah kiblat. Fenomena ini tidak lepas dari industrialisasi serta gairah konsumsi keagamaan yang ikut mendorong permintaan sajadah dengan sentuhan personal dan artistik.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Perubahan sajadah dari alas ibadah menjadi produk gaya hidup menimbulkan pertanyaan. Apakah sajadah masih semata-mata alat sujud atau sudah menjadi simbol status?

Bagi sebagian orang, sajadah dengan bordiran eksklusif bisa menjadi bagian dari citra religius yang prestisius. Tapi bagi yang lain, sajadah tetap dipandang sebagai wadah spiritual untuk menyembah Tuhan, tak peduli seberapa sederhana bentuknya. Namun, apakah itu buruk? Tidak selalu. Komodifikasi bisa jadi bentuk penghormatan jika tetap memelihara makna spiritual di dalamnya.

Tak penting seberapa mahal atau indah sajadah itu, yang utama adalah ketulusan sujud yang mengisi tiap helai seratnya. Sebagaimana hadits nabi di awal tulisan ini, tempat ibadah seorang muslim adalah bumi seluruhnya. Sementara sajadah dalam bentuk apapun hanyalah alat bantu. Yang paling utama tetaplah hati yang tunduk dan jiwa yang berserah.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement