Kisah
Beranda » Berita » The Other Side of Silence: Di Balik Pemisahan India-Pakistan

The Other Side of Silence: Di Balik Pemisahan India-Pakistan

Konflik India-Pakistan
(sumber gambar: gemini.google.com)

SURAU.CO –  Dikutip dari Washington Post, India dan Pakistan mengakhiri konflik bersenjata pada 10 Mei 2025 dengan menyepakati  gencatan senjata melalui mediasi AS. Pakistan mengakui keterlibatan AS, namun  India tetap menyatakan bahwa gencatan terjadi tanpa mediasi pihak ketiga.

Konflik antara India dan Pakistan bukanlah hal yang baru terjadi, peperangan tersebut telah berlangsung sejak lama. Krisis tersebut bermula dari pembentukan mereka sebagai negara yang berdaulat. Kejadian bersejarah itu disebut Partition (“Pemisahan”).

Dalam buku The Other Side of Silence, Urvashi Butalia mencoba merekam peristiwa yang terjadi pada masa itu:

Belum pernah sebelum dan sesudahnya begitu banyak orang bertukar rumah dan negeri dengan cara begitu lekas. Dalam waktu hanya beberapa bulan, belasan juta manusia bergerak antara wilayah India yang terpenggal, dan dua sayap  barat dan timur, yang membentuk negeri baru, Pakistan.

Pemisahan India dan Pakistan

Sejak 1858 hingga  1947, anak benua India berada dalam cengkeraman kekuasaan kolonial Inggris. Ketika gelombang nasionalisme bangsa-bangsa Asia-Afrika bergelora, India Britania lalu terbagi menjadi dua negara merdeka.

Pasca Wafatnya Rasulullah: Sikap Abu Bakar Menghadapi Kemurtadan

Pakistan, dengan mayoritas penduduk Muslim, merdeka pada 14 Agustus 1947. Pakistan terbentuk sebagai dua wilayah terpisah secara geografis dan kultur, Pakistan Barat dan Pakistan Timur. India dengan mayoritas penduduk Hindu, merdeka sehari setelahnya.

Mengutip dari laman Aljazera, proses Pemisahan ini berlangsung dengan penuh chaos, sampai memicu salah satu arus migrasi terbesar dan paling berdarah dalam sejarah. Sekitar 15 juta orang terpaksa mengungsi, dan konflik kekerasan komunal yang melibatkan umat Muslim, Hindu, dan Sikh melanda berbagai wilayah. Perkiraan angka korban meninggal ada pada angka 200 ribu hingga dua juta orang. Setelah itu, berbagai konflik perbatasan dan gerakan separatis mulai bermunculan.

Kafilah

Dalam proses migrasi itu, Urvashi menyampaikan konflik dan ketegangan kian menjadi seperti wabah antara mereka yang berpindah ke Pakistan-hampir semuanya muslim-dan mereka yang memilih tetap berada di India. Bentrokan, pembantaian, dan pemerkosaan berlangsung. Sekitar satu juta orang tewas. Sekitar 75 ribu perempuan menjadi korban penculikan dan perkosaan. Ribuan keluarga harus terpisah, rumah-rumah porak poranda, hasil panen ditinggalkan hingga membusuk, dan desa-desa menjadi sunyi tak berpenghuni. Sementara itu, jutaan orang melakukan migrasi besar-besaran dalam rombongan yang disebut ‘kafilah’—barisan panjang yang saking lamanya, bisa memerlukan waktu hingga delapan hari agar seluruh iring-iringan melintasi satu titik tertentu.

Kini sudah secara luas diketahui bahwa kekerasan seksual terjadi secara massal selama Pemisahan, dan hampir seratus ribu perempuan diyakini telah mengalami penculikan. perkosaan, kadang dijual ke dalam prostitusi, kadang pula mengalami nikah paksa.

Zainab dan Buta Singh

Goenawan Mohamad juga mengulas kisah Zainab dan Buta Singh dalam Catatan Pinggir. Selama proses Pemisahan, dalam rombongan kafilah tersebut terdapat kisah seorang gadis muslim bernama Zainab. Ia mengalami penculikan dalam rombongan kafilah yang lewat. Sudah tak jelas berapa tangan yang telah menjamahnya. Yang tercatat, Zainab akhirnya terjual ke  Buta Singh di Amritsar, Punjab.

Penaklukan Thabaristan (Bagian 2): Kemenangan di Era Umayyah

Sebagaimana adat istiadat Punjab, Buta Singh yang lajang menjalani upacara Chaddar untuk mengawini Zainab. Konon akhirnya mereka kemudian saling mencintai dan Zainab melahirkan dua anak perempuan. Beberapa tahun setelah 1947, serombongan orang dari Pakistan mendatangi Amritsar. Mereka mencari Zainab. Tak jelas kenapa mereka tiba-tiba hadir. Dugaan yang muncul bahwa adik atau sepupu Buta Singh yang mengundang. Mereka takut kalau kelak anak-anak Zainab akan mengurangi bagan dari milik tanah keluarga. Zainab tak punya pilihan lain. Ia membawa si bungsu dan berbekal pakaian seadanya, ia naik dalam sebuah jip yang telah menunggu. Ia sendiri tak tahu kepada siapa ia akan kembali. Pada hari-hari Pemisahan dulu, orang tuanya terbunuh dan hanya seorang saudara kandung perempuan yang tinggal.

Sementara itu, Buta Singh  mendapat kabar bahwa istrinya yang telah hidup di Pakistan itu akan dipaksa menikah oleh keluarganya yang masih hidup. Buta Singh segera menjual tanah miliknya, menyiapkan diri menyusul. Namun dampak Pemisahan telah membentuk tapal batas, dan tak mudah bergerak dari wilayah India ke wilayah Pakistan, terutama ketika dua negeri itu sedang berkonflik. Buta Singh tak putus asa. Ia pun memutuskan untuk jadi warga negara Pakistan, Ia masuk Islam, lalu berganti nama jadi Jamil Ahmed. Upaya susah payah yang ia lakukan untuk beralih kewarganegaraan, tetap tidak berhasil dan otoritas Pakistan menolaknya. Ia pun masuk ke Pakistan dengan visa jangka pendek.

Bertemu Zainab

Celakanya, di negeri itu ia lupa melapor ke otoritas setempat dan melanggar aturan keimigrasian. Ia dibawa ke pengadilan. Kepada hakim, ia mengisahkan maksud kedatangannya: ia bermaksud ingin menemukan istrinya kembali. Pengadilan pun menghadirkan Zainab sebagai saksi. Tapi Zainab dengan penjagaan ketat oleh keluarga, ia menampiknya. ” Saya kini sudah menikah. Saya tak berurusan lagi dengan laki-laki itu. Ia boleh membawa kembali anak yang dulu saya bawa dari rumahnya…”

Keesokannya, Buta Singh membiarkan tubuhnya tergilas kereta api. Dalam saku bajunya ada sepucuk surat. Ia minta orang-orang memakamkannya di dusun Zainab. Selama proses otopsi, kerumunan banyak orang berkumpul  dan sebagian menangisi nasib yang menimpa Buta Singh alias Jamil Ahmed. Bahkan, seorang pembuat film menyampaikan akan mengangkat kisah tragis itu dalam sebuah layar lebar. Ketika aparat membawa jenzahnya ke dusun Zainab,  permintaan itu mendapatkan penolakan. Akhirnya aparat menguburkan Buta Singh di Lahore.

Dalam kematian Buta Singh, ia menjadi  pahlawan. Ia menjadi  legenda, seperti kisah-kisah para kekasih malang lainnya: Heer dan Ranjha, Sohni dan Mahiwal.

Penaklukan Thabaristan: Merebut Negeri Kapak Persia di Masa Utsmaniyah

Zainab, sementara itu, terus ‘hidup’, dikelilingi oleh kesunyian.Ia tak mampu berduka dan meratapi kekasihnya, dan besar kemungkinan, bahkan tak mampu berbicara. Ia hanyalah satu di antara ribuan perempuan lain yang bernasib serupa.

Trauma dan Luka yang Tak Terlupakan

Bagi para korban Pemisahan, kisah-kisah itu sulit untuk terlupakan dari ingatan. Urvashi Butalia menurut Lily Mondal dalam artikelnya,  berhasil menggali kisah-kisah sederhana dari orang-orang biasa dalam masa gejolak sosial-politik yang sangat kompleks. Guncangan yang terjadi bukan semata-mata membelah sebuah negara, melainkan juga meninggalkan luka mendalam pada jiwa manusia—tak hanya secara fisik, tetapi juga batin—dan menjadikannya sebuah peristiwa yang tercatat dalam sejarah.

Kelahiran dua negara dari satu identitas datang dengan harga yang sangat mahal: pembantaian jutaan orang. Meski pemisahan bangsa yang melahirkan dua wilayah geografis telah melekat sebagai gambaran utama dalam ingatan kolektif, sesungguhnya terdapat lapisan yang lebih dalam dan tersembunyi—yakni trauma serta kekerasan seksual yang dialami perempuan selama masa pemisahan.

Urvashi menyatakan perempuan masih menjadi korban karena jenis kelamin dan gender. Mereka hingga kini seringkali mengalami pembungkaman oleh tirani dan dominasi para pelaku kekuasaan. (St.Diyar)

Referensi:

Goenawan Mohamad ,Catatan Pinggir 6,Pusat Data dan Analisa Tempo, 2009.

Lily Mondal, The Other Side of Silence by Urvashi Butalia – A Representation of Women’s Voices during Partition, Journal of the Department of English, Vidyasagar University, Feb 2021.

Urvashi Butalia, The Other Side of Silence, Viking UK,1998.

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement