Apa Itu Lafaz Umum?
Surau.co Dalam dunia ushul fiqih, istilah lafaz ‘am bukan sekadar perkara bahasa Arab. Ia adalah pintu masuk menuju cara ulama memahami nash. Dalam Jam’ul Jawami’, salah satu kitab ushul terpenting, Imam Taqiyuddin As-Subki menulis:
“Lafaz ‘am adalah lafaz yang mencakup semua individu dari satu jenis dalam satu hukum.”
Misalnya, ayat:
“Tuhanmu mengharamkan atas kalian segala perbuatan keji”
menggunakan lafaz yang bersifat umum. Tapi apakah semua perbuatan keji langsung termasuk dalam keharaman itu?
Imam Subkhi membahas pertanyaan ini panjang lebar.
baca juga : Menghidupkan Warisan Ilmu: Kajian Kitab Ar-Risalah Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah
Perbedaan Pandangan Ulama
Imam As-Subki menampilkan pandangan yang berbeda-beda dari para ulama. Menurut Mazhab Syafi’i, bisa menjadikan lafaz umum sebagai hujjah secara langsung—selama belum ada dalil yang mengkhususkannya.
Namun, ulama Hanafiyah lebih hati-hati. Mereka menilai bahwa lafaz umum tidak otomatis berlaku universal tanpa adanya qarinah—indikator atau konteks yang menguatkan.
As-Subki tidak memihak. Ia menghadirkan dialog antar mazhab, memperlihatkan bahwa ushul fiqih bukan ruang fatwa instan, melainkan forum berpikir.
Pelajaran untuk Santri Masa Kini
Pada era digital, bisa langsung menjadikan satu ayat sebagai status atau quote dakwah. Tapi Jam’ul Jawami’ menggaris bawahi, tidak semua langsung bisa menarik lafaz umum jadi hukum. Ada yang perlu dikhususkan, ada yang butuh penjelasan, bahkan ada yang maknanya bergantung pada dalil tambahan.
Beberapa klasifikasi penting:
Yaitu,‘Am Mustaqr – umum yang tetap berlaku,
‘Am Makhsush – umum yang telah dikhususkan,
‘Am Ghair Mustafad Minhu al-‘Umum – umum yang tidak menghasilkan makna menyeluruh.
Memahami ini membantu kita lebih bijak dalam menyimpulkan hukum dari satu teks. Santri tidak cukup hanya hafal ayat—ia harus tahu konteks dan bagaimana para ulama menafsirkan dengan hati-hati.
Menulis dan Berpikir dengan Etika Ushul
Imam As-Subki menulis dengan gaya lugas dan penuh tanggung jawab. Ia tidak terburu-buru menyimpulkan. Penulis dan pendakwah masa kini perlu meniru gaya seperti ini.
Kalimat aktif dan jelas, disertai transisi yang halus, memudahkan pembaca memahami alur gagasan. Misalnya:
“Santri perlu memahami struktur lafaz sebelum menyimpulkan makna.”
“Lafaz umum tidak selalu bisa diterapkan tanpa pengecualian.”
Dengan struktur yang baik dan bahasa yang ramah pembaca, tulisan tentang hukum bisa menjadi jembatan pengetahuan, bukan sekadar pelabelan halal-haram.
baca juga: Terjemah Jam’ul Jawami Pdf, Ushul fikih karya Imam As Subki
Menjaga Warisan Ilmu, Menyapa Zaman
Jam’ul Jawami’ bukan hanya kitab tua yang tebal. Ia adalah warisan kecermatan berpikir, teladan bagaimana mengkaji ilmu dan merumuskan hukum. Membaca ulang bagian tentang lafaz umum bukan sekadar mempelajari istilah, tapi menyelami etika berpikir Islam: hati-hati, adil, dan membuka ruang untuk dialog.
Santri milenial hari ini punya tantangan sekaligus peluang. Dengan akses pada teknologi dan teks klasik, kita bisa menjadikan ushul fiqih bukan hanya pelajaran kelas, tapi cara hidup dan cara berdakwah—berilmu, beradab, dan berpikir jernih (Samsul R Fausto)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
