Sosok
Beranda » Berita » Syekh Abdul Qadir al-Jailani: Sang Pembangkit Agama dan Pemimpin Para Sufi

Syekh Abdul Qadir al-Jailani: Sang Pembangkit Agama dan Pemimpin Para Sufi

SURAU.CO  – Syekh Abdul Qadir al-Jailani merupakan salah satu cendekiawan paling berpengaruh dalam sejarah Islam. Beliau menjadi cahaya penerang bagi kemanusiaan, membimbing banyak orang kembali ke jalan kebenaran. Beliau mempraktikkan ajaran Islam secara murni. Kemudian, beliau menyampaikan pesan agung tersebut kepada umat. Baghdad, kota tempatnya berdakwah, menjadi pusat ilmu dan spiritual. Kota itu selalu ramai dikunjungi oleh para pengikut dan muridnya.

Sangat sulit menilai kepribadiannya secara tunggal. Para pengikutnya memberikan banyak gambaran tentang hidupnya. Sebagian menggambarkan beliau sebagai Sufi terbesar yang memiliki karomah. Karomah adalah anugerah kemampuan luar biasa dari Allah. Sementara itu, sebagian lainnya menyebutnya sebagai ulama atau cendekiawan Islam terkemuka. Dari sudut pandang netral, beliau adalah sosok pembaharu idealis. Beliau merupakan ulama besar, cendekiawan agung, dan master Sufi. Kedalaman ilmunya tentang Islam sangat luar biasa. Bahkan, filsuf besar Ibnu al-Arabi memberinya gelar Qutb, atau poros spiritual Islam.

Lahir di Tengah Kemunduran Moral

Syekh Abdul Qadir hidup pada abad ke-6 Hijriah. Saat itu, peradaban Muslim di bawah Kekhalifahan Abbasiyah sedang menurun. Umat Islam mulai kehilangan pegangan agamanya. Terjadi kebangkrutan moral yang meluas. Masyarakat lebih mementingkan kemewahan dan kesenangan duniawi. Pemerintahan korup dan ketidakadilan merajalela. Rakyat pun tenggelam dalam aktivitas yang jauh dari nilai agama. Dari khalifah hingga rakyat biasa, semua menjauh dari esensi ajaran Islam.

Di tengah kondisi tersebut, Syekh Abdul Qadir al-Jailani berdiri tegak. Beliau menyerukan perbaikan moral kepada masyarakat. Beliau mengingatkan semua orang akan tanggung jawab mereka. Khutbahnya ditujukan kepada semua lapisan. Ada khalifah, qadi, gubernur, pedagang, hingga ulama. Beliau mengkritik kekurangan mereka dengan tegas. Beliau juga menawarkan solusi perbaikan sesuai Al-Qur’an dan Hadits. Awalnya, pendengarnya hanya sedikit, sekitar 10-15 orang. Namun seiring waktu, jumlahnya bertambah pesat hingga mencapai 70 ribu orang. Mereka menyimak dengan sepenuh hati dan menyerap ilmunya.

Masa Kecil dan Perjalanan Menuju Baghdad

Ulama terhormat ini bernama lengkap Sayyid Abu Muhammad Abdul-Qadir. Beliau lahir di provinsi Jailan, Persia, pada tahun 1077. Ia mendapat julukan al-Jailani. Julukan ini merujuk pada tanah kelahirannya. Ayahnya, Abu Salih, adalah seorang alim yang saleh. Garis keturunannya bersambung kepada Hasan, cucu Nabi Muhammad SAW dari putrinya, Fatimah. Ibunya juga merupakan keturunan Husain, saudara Hasan.

Cara Ampuh Mengobati Iri dan Dengki Menurut Imam Nawawi: Panduan Membersihkan Hati

Sejak kecil, Abdul Qadir adalah anak yang tenang dan bijaksana. Ia memiliki semangat tinggi dalam mencari ilmu. Ia mempelajari bahasa Arab dan Persia di madrasah setempat. Pada usia 18 tahun, ia berangkat ke Baghdad. Tujuannya adalah menuntut ilmu di Madrasah Nizamiyya yang sangat terkenal. Di sana ia belajar Al-Qur’an, Hadits, fikih, teologi, dan filsafat.

Studi, Sufisme, dan Uzlah

Di Baghdad, Abdul Qadir segera menunjukkan kecerdasannya. Ia memiliki ingatan yang tajam dan pemahaman yang mendalam. Akan tetapi, hatinya lebih tertarik pada sisi spiritual Islam. Dunia Sufisme benar-benar memengaruhinya. Ia menemui banyak tokoh Sufi terkemuka di Baghdad. Akhirnya, ia bertemu dengan Syekh Hammad. Syekh Hammad kemudian menerimanya sebagai salah satu murid kesayangan.

Ia mendedikasikan dirinya untuk mendalami Sufisme. Ia melakukannya melalui ibadah yang tekun dan bimbingan para guru. Setelah menyelesaikan studi formalnya, ia memilih jalan uzlah. Ia menjauh dari keramaian untuk berkhalwat dan mendekatkan diri pada Tuhan. Ia menjalani hidup yang sangat keras dan sederhana. Malam-malamnya diisi dengan shalat dan meditasi mendalam. Disebutkan bahwa ia mengkhatamkan Al-Qur’an hampir setiap malam.

Kemudian, ia meninggalkan Baghdad menuju gurun yang sepi. Di sana, ia menghabiskan 25 tahun hidupnya untuk bermeditasi. Ia menyucikan jiwanya dari segala urusan duniawi. Tujuan dari perjalanan spiritual ini adalah untuk mengenal Tuhannya. Ia pun berhasil mencapai tujuannya.

Kembali Berdakwah dan Pengaruhnya yang Luas

Pada usia 51 tahun, Syekh Abdul Qadir kembali ke Baghdad. Ia kembali ke tengah masyarakat atas dorongan gurunya, Yusuf al-Hamadani. Ia mulai mengajarkan pesan Islam dengan semangat baru. Orang-orang mulai berdatangan untuk mendengarkannya. Secara bertahap, kerumunan itu berubah menjadi ribuan jamaah. Mereka menerima kepemimpinan spiritualnya.

Mbah Mangli: Ulama Kharismatik dari Lereng Andong Magelang

Setiap Rabu malam, beliau memberikan khutbah di tempat terbuka. Orang dari berbagai kalangan datang berduyun-duyun. Mereka mendengarkan dengan penuh kekaguman. Mereka lalu memperbaiki diri sesuai petunjuk dan arahannya. Karena jumlah jamaah terus bertambah, tempat terbuka itu harus diperluas. Sebuah tempat peristirahatan besar juga didirikan untuk para pengunjung.

Nama Abdul Qadir al-Jailani menjadi buah bibir di seluruh Baghdad. Beliau menyajikan kejayaan Islam dalam cahaya yang baru. Beliau menyampaikannya dengan bahasa yang fasih dan penuh semangat. Hal ini membuat ribuan orang menjadi muridnya. Mereka memberinya gelar Muhyiddin, yang artinya “Pembangkit Agama”. Para pengikutnya terdiri dari Sufi, ahli fikih, ulama, menteri, bahkan khalifah. Beliau memperlakukan mereka semua dengan setara. Dedikasinya yang total kepada Allah memberinya julukan Ghauth al-A’zam, yang berarti “Penolong Teragung” atau pemimpin seluruh Sufi.

Ajaran Utama dan Warisan Abadi

Dari khutbah-khutbahnya, para ahli berhasil menyusun kitab Futuh al-Ghayb (Pembukaan dari Kegaiban). Kitab lainnya adalah al-Fath ar-Rabbani. Keduanya mengandung nilai sastra tinggi dan manfaat spiritual yang mendalam. Disebutkan bahwa beliau telah menulis lebih dari 40 buku. Sayangnya, tidak ada satu pun yang tersisa saat ini. Kemungkinan besar, semua karyanya musnah saat invasi Hulagu Khan di Baghdad pada tahun 1258.

Beberapa ajaran utamanya yang terkenal adalah:

Menjauhi Pemujaan Dunia: “Dia selalu mengatakan bahwa mereka yang berkata memuja Allah tetapi pada kenyataannya menginginkan kekayaan dan kemasyhuran dunia, sebenarnya adalah pemuja dunia.” Menurutnya, rasa takut kepada selain Allah muncul dari ketamakan.

Menangkal Hoaks dengan Bab “Menjaga Lisan”: Perspektif Imam Nawawi untuk Era Digital

Ibadah yang Tulus: “Dia juga berpendapat bahwa shalat, puasa, dan haji seorang Muslim tidak berarti apa-apa jika mereka tidak mendekatkan diri pada Tuhannya.” Seorang Muslim harus merasakan kehadiran Tuhannya dalam setiap ibadah.

Ikhtiar di Atas Takdir: “Dia juga memarahi mereka yang selalu bermalas-malasan dan menyalahkan nasib. Dia mengatakan hanya mereka yang malas yang menyerah pada nasib.” Seorang Muslim wajib berusaha dan menyerahkan hasilnya kepada Allah.

Syekh Abdul Qadir al-Jailani wafat pada usia 91 tahun setelah menjalani kehidupan yang penuh berkah. Beliau meninggalkan 27 putra dan 22 putri dari empat orang istri. Hidupnya dihabiskan untuk melayani Islam dan kemanusiaan. Hingga hari ini, ribuan pengikutnya yang tergabung dalam Tarekat Qadiriyah terus mengenang dan mengamalkan ajarannya.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement