SURAU.CO – Pada masa keemasan Islam di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khatthab, hiduplah seorang janda yang mempunyai bersama anak gadis yang berbakti. Mereka menempati sebuah gubuk sederhana di pinggiran kota Mekah. Meskipun hidup dalam keterbatasan harta, keduanya memiliki kekayaan iman. Ibu dan anak ini sangat tekun beribadah. Mereka juga bekerja keras demi menyambung hidup.
Setiap fajar menyingsing, usai menunaikan salat Subuh, mereka bergegas menuju kandang. Di sanalah sumber pencaharian mereka berada. Keduanya memerah susu dari beberapa ekor kambing milik mereka. Susu kambing hasil perahan mereka sangat terkenal di kalangan penduduk Mekah. Banyak orang menyukainya karena kualitasnya yang terjaga dan rasanya yang murni. Kejujuran menjadi modal utama dalam usaha kecil mereka.
Kebiasaan Mulia Umar bin Khatthab
Khalifah Umar bin Khatthab memiliki sebuah kebiasaan mulia. Beliau sering berkeliling di malam hari untuk memantau langsung kondisi rakyatnya. Seorang pengawal menemani sang khalifah menyusuri sudut-sudut negeri. Beliau ingin memastikan tidak ada warganya yang kelaparan atau terzalimi. Perjalanan senyap itu membawanya hingga ke pinggiran kota Mekah.
Perhatian Khalifah Umar tiba-tiba tertuju pada sebuah gubuk tua. Sebuah cahaya lampu minyak tampak remang-remang dari dalam. Ini menandakan penghuninya masih terjaga di larut malam. Rasa penasaran mendorong sang khalifah untuk mendekat. Beliau turun dari kudanya dengan perlahan. Dari balik dinding gubuk, terdengar samar percakapan antara seorang ibu dan anaknya.
Percakapan tentang Kejujuran
“Anakku, malam ini kambing kita hanya mengeluarkan susu sedikit sekali. Ini tidak cukup untuk memenuhi permintaan pelanggan kita besok pagi,” keluh sang ibu dengan nada cemas.
Gadis remajanya itu merespons dengan senyum yang menenangkan. Ia berusaha menghibur hati ibunya yang sedang gundah. “Ibu, tidak usah disesali. Inilah rezeki yang diberikan Allah kepada kita hari ini. Semoga besok kambing kita mengeluarkan susu yang lebih banyak lagi.”
Namun, sang ibu masih diliputi kekhawatiran. Ia takut kehilangan para pelanggan setianya. Sebuah pemikiran singkat melintas di benaknya. “Tapi, aku khawatir para pelanggan kita tidak mau membeli susu kepada kita lagi. Bagaimana kalau susu itu kita campur air supaya kelihatan banyak?” usulnya.
“Jangan, Bu!” sang gadis menolak dengan tegas namun tetap lembut. “Bagaimanapun kita tidak boleh berbuat curang. Lebih baik kita katakan dengan jujur pada pelanggan bahwa hasil susu hari ini hanya sedikit. Mereka tentu akan memakluminya. Lagi pula kalau ketahuan, kita akan dihukum oleh Khalifah Umar. Percayalah, ketidakjujuran itu akan menyiksa hati.”
Dari luar, Khalifah Umar menyimak dengan saksama. Beliau semakin tertarik dengan perdebatan kecil yang sarat akan nilai-nilai tersebut.
Sang ibu masih mencoba berargumen. Ia merasa situasi mereka sangat terdesak. “Bagaimana mungkin khalifah Umar tahu!” kata janda itu kepada anaknya. “Saat ini beliau sedang tertidur pulas di istananya yang megah tanpa pernah mengalami kesulitan seperti kita ini?”
Melihat ibunya masih bersikeras, gadis itu kembali menenangkannya dengan bijaksana. Kata-katanya menunjukkan kedalaman iman yang luar biasa. “Ibu, memang Khalifah tidak melihat apa yang kita lakukan sekarang. Tapi Allah Maha Melihat setiap gerak-gerik makhluknya. Meskipun kita miskin, jangan sampai kita melakukan sesuatu yang dimurkai Allah.”
Kekaguman Umar bin Khatthab
Mendengar kalimat terakhir itu, hati Khalifah Umar tersentuh. Sebuah senyuman terukir di wajahnya. Beliau merasa sangat kagum dengan keteguhan iman dan kejujuran gadis muda itu. Kemiskinan tidak menggoyahkan prinsipnya. Himpitan ekonomi tidak membuatnya silau untuk berbuat curang. Setelah merasa cukup, khalifah mengajak pengawalnya untuk kembali ke kediamannya.
Keesokan paginya, Khalifah Umar segera memberi perintah. Beliau mengutus beberapa orang pengawal untuk menjemput wanita pemerah susu dan putrinya. Keduanya tentu merasa terkejut dan sedikit takut. Mereka bertanya-tanya kesalahan apa yang telah diperbuat. Setibanya di hadapan khalifah, rasa takut mereka berubah menjadi keheranan.
Khalifah Umar memuji akhlak mulia sang gadis di hadapan ibunya. Beliau menceritakan apa yang didengarnya pada malam sebelumnya. Ternyata, sang khalifah memiliki niat yang sangat mulia. Beliau ingin menjadikan gadis yang jujur itu sebagai menantunya. Beliau melamar gadis tersebut untuk dinikahkan dengan salah satu putranya.
Kisah ini menjadi bukti nyata dan teladan agung bagi kita semua. Kejujuran yang lahir dari rasa takut kepada Allah adalah harta yang tak ternilai. Mungkin sifat inilah yang menjadi barang langka di zaman sekarang. Ia adalah permata yang cahayanya tidak akan pernah padam oleh waktu.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
