Kisah
Beranda » Berita » Kisah Keberanian Memberi Nasihat kepada Penguasa

Kisah Keberanian Memberi Nasihat kepada Penguasa

Ilustrasi

SURAU.CO – Menyampaikan kebenaran kepada penguasa seringkali menjadi perjuangan terbesar. Risikonya tidak main-main, mulai dari kehilangan kebebasan hingga ancaman nyawa. Karena itulah, tindakan ini memiliki kedudukan yang sangat mulia dalam Islam. Rasulullah SAW pernah ditanya tentang perjuangan apa yang paling utama. Beliau pun memberikan jawaban yang tegas.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasa’i, Abu Daud, dan Tirmidzi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, perjuangan paling utama adalah, “Mengatakan kebenaran kepada penguasa yang menyeleweng.” Sabda ini menunjukkan betapa besar nilai keberanian dalam menasihati pemimpin demi kebaikan. Namun, karena risikonya yang besar, hanya segelintir orang yang berani mengambil jalan ini.

Sejarah Islam mencatat satu nama yang menjadi teladan dalam hal ini, yaitu Thawus al-Yamani. Beliau adalah seorang tabi’in terkemuka, generasi Muslim yang belajar langsung dari para sahabat Nabi Muhammad SAW. Kisahnya bersama Khalifah Hisyam bin Abdul Malik dari Bani Umayyah menjadi bukti nyata bagaimana nasihat bagi penguasa harus disampaikan dengan tulus dan berani.

Pertemuan yang Menguji Keberanian

Kisah ini bermula ketika Khalifah Hisyam bin Abdul Malik melaksanakan ibadah haji di Mekah. Beliau ingin bertemu dengan salah seorang sahabat Nabi yang mungkin masih hidup. Namun, para pengawalnya memberitahu bahwa semua sahabat telah wafat. Sebagai gantinya, khalifah meminta untuk dipertemukan dengan seorang tokoh dari kalangan tabi’in.

Thawus al-Yamani pun maju untuk mewakili para tabi’in. Sejak awal, Thawus menunjukkan sikap yang tidak biasa. Saat hendak menginjak permadani mewah di hadapan khalifah, ia melepaskan kedua alas kakinya. Ia masuk tanpa mengucapkan salam penghormatan yang lazim diberikan kepada seorang pemimpin.

Pasca Wafatnya Rasulullah: Sikap Abu Bakar Menghadapi Kemurtadan

Thawus hanya mengucapkan salam sederhana, “Assalamu’alaikum,” lalu tanpa ragu ia duduk di samping khalifah. Ia bahkan langsung bertanya tanpa basa-basi, “Bagaimanakah keadaanmu, wahai Hisyam?”

Sikap Thawus ini menyulut amarah sang khalifah. Wajahnya memerah dan ia merasa sangat terhina. Hampir saja ia memerintahkan pengawalnya untuk menghukum Thawus. Menyadari bahaya, Thawus dengan cepat berkata, “Ingat, Anda berada dalam wilayah haramullah dan haramurasulihi (tanah suci Allah dan tanah suci Rasul-Nya). Karena itu, demi tempat yang mulia ini, Anda tidak diperkenankan melakukan perbuatan buruk seperti itu!”

Khalifah yang masih geram lantas menuntut penjelasan. “Lalu apa maksudmu melakukan semua ini?” tanyanya.

“Apa yang aku lakukan?” Thawus balik bertanya.

Dengan nada tinggi, khalifah merinci semua tindakan yang dianggapnya sebagai penghinaan:

Penaklukan Thabaristan (Bagian 2): Kemenangan di Era Umayyah

“Kamu tanggalkan alas kaki persis di depan permadaniku. Kamu masuk tanpa mengucapkan salam penghormatan kepadaku sebagai khalifah, dan juga tidak mencium tanganku. Lalu, kamu juga memanggilku hanya dengan nama kecilku, tanpa gelar dan kun-yah (nama panggilan)ku. Dan, sudah begitu, kamu berani pula duduk di sampingku tanpa seizinku. Apakah semua itu bukan penghinaan terhadapku?”

Jawaban Tegas yang Mengandung Nasihat

Thawus al-Yamani menjawab setiap pertanyaan dengan argumen yang kokoh dan penuh nasehat dan hikmah.

“Wahai Hisyam! Kutanggalkan alas kakiku karena aku juga menanggalkannya lima kali sehari ketika aku menghadap Tuhanku, Allah ‘Azza wa Jalla. Dia tidak marah, apalagi murka kepadaku lantaran itu.”

“Kenapa aku tidak mencium tanganmu lantaran kudengar Amirul Mukminin Ali Radhiyallahu ‘anhu pernah berkata bahwa seorang tidak boleh mencium tangan orang lain, kecuali tangan istrinya karena syahwat atau tangan anak-anaknya karena kasih sayang.”

“Aku tidak mengucapkan salam penghormatan dan tidak menyebutmu dengan kata-kata amiirul mukminin lantaran tidak semua rela dengan kepemimpinanmu; karenanya aku enggan untuk berbohong.”

Penaklukan Thabaristan: Merebut Negeri Kapak Persia di Masa Utsmaniyah

“Sedangkan aku tidak memanggilmu dengan sebutan gelar kebesaran dan kun-yah  lantaran Allah memanggil para kekasih-Nya di dalam Al Qu’ran hanya dengan sebutan nama semata, seperti ya Daud, ya Yahya, ya ‘Isa; dan memanggil musuh-musuh-Nya dengan sebutan kun-yah seperti Abu Lahab….”

“Aku duduk persis di sampingmu lantaran kudengar Amiirul Mukminin Ali Radhiyallahu ‘anhu pernah berkata bila kamu ingin melihat calon penghuni neraka, maka lihatlah orang yang duduk sementara orang di sekitarnya tegak berdiri.”

Akhir dari Pertemuan

Khalifah Hisyam terdiam. Ia merenungkan setiap kata yang diucapkan Thawus. Kemarahannya mereda, digantikan oleh kesadaran atas kebenaran yang disampaikan. Ia pun berkata, “Benar sekali apa yang Anda katakan itu. Nah, sekarang berilah aku nasehat sehubungan dengan kedudukan ini!”

Thawus al-Yamani kemudian memberikan nasihat pamungkas yang menusuk kalbu.

“Kudengar Amiirul Mukminin Ali Radhiyallahu ‘anhu berkata dalam sebuah nasehatnya,” jawab Thawus, “Sesungguhnya dalam api neraka itu ada ular-ular berbisa dan kalajengking raksasa yang menyengat setiap pemimpin yang tidak adil terhadap rakyatnya.”

Mendengar nasihat terakhir ini, khalifah hanya bisa terdiam. Ia menyadari betapa berat tanggung jawab seorang pemimpin. Ia harus bersikap adil dan bijaksana agar tidak terjerumus ke dalam ancaman yang mengerikan itu. Setelah berbincang beberapa saat, Thawus al-Yamani pamit undur diri. Khalifah melepasnya dengan penuh hormat, hatinya merasa lega setelah menerima nasihat yang tulus dan berani tersebut.

Kisah ini abadi sebagai pelajaran tentang pentingnya menyampaikan kebenaran, sebuah nasihat bagi penguasa di setiap zaman.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement