SURAU.CO – Imam Ash-Shafi’i, yang bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad ibn Idris ash-Shafi’i, merupakan salah satu pilar utama dalam sejarah hukum Islam. Beliau lahir di Gaza, Palestina, pada tahun 767 M atau 150 H. Beliau adalah pendiri Madzhab Syafi’i yang dianut oleh jutaan umat Muslim di seluruh dunia. Nasabnya yang mulia tersambung langsung dengan suku Quraisy dan Bani Hasyim. Hal ini memberinya hubungan darah dengan Nabi Muhammad SAW dari sisi ayah dan ibunya, Ummal-Hasan binti Hamzah.
Masa Kecil dan Perjalanan Intelektual Awal
Kehidupan awal Imam Ash-Shafi’i penuh dengan perjuangan. Ayahnya meninggal dunia ketika beliau baru berusia dua tahun. Setelah itu, ibunya membawanya ke kota suci Mekkah. Sang ibu membesarkannya dalam kondisi yang sangat sederhana. Namun, keterbatasan tidak menghalangi semangatnya dalam menuntut ilmu.
Di Mekkah, beliau belajar Fiqih dan Hadits di bawah bimbingan ulama besar. Guru-gurunya antara lain Muslim bin Khalid Zindji dan Sufyan bin Uyainah. Kecerdasannya yang luar biasa terlihat sejak dini. Pada usia 10 tahun, beliau telah berhasil menghafal seluruh Al-Qur’an. Tidak hanya itu, beliau juga menghafal kitab Al-Muwatta’ karya Imam Malik.
Pada usia sekitar 20 tahun, Imam Ash-Shafi’i memutuskan untuk memperdalam ilmunya. Beliau melakukan perjalanan ke Madinah untuk belajar langsung dari Imam Malik. Beliau tinggal dan menimba ilmu bersama sang guru hingga Imam Malik wafat pada tahun 798 M.
Ujian di Yaman dan Perkenalan dengan Madzhab Hanafi
Pada masa pemerintahan Khalifah Harun ar-Rashid, Imam Ash-Shafi’i pindah ke Yaman. Di sana, beliau menghadapi sebuah ujian besar. Penguasa saat itu menuduhnya membantu kelompok Alid (pendukung Ali bin Abi Thalib). Akibat tuduhan tersebut, beliau ditangkap dan dijebloskan ke penjara di Raqqah pada tahun 803 M. Namun, berkat kejelasan argumen dan ketinggian ilmunya, Khalifah Harun ar-Rashid akhirnya memaafkan dan membebaskannya.
Peristiwa ini justru membuka pintu ilmu yang baru. Beliau bertemu dengan Muhammad bin al-Hasan ash-Shaibani, murid utama Imam Abu Hanifa. Dari sinilah Imam Ash-Shafi’i mulai mendalami Fiqih Hanafi. Beliau menggabungkan pemahamannya atas Fiqih Maliki yang berbasis Hadits dengan Fiqih Hanafi yang rasional. Pada tahun 188 H, beliau secara resmi belajar di bawah bimbingan Ash-Shaibani dan menguasai kekayaan ilmu dari dua madzhab terbesar saat itu.
Lahirnya Madzhab Qadeem dan Jadeed
Sekitar tahun 810 M, Imam Ash-Shafi’i pergi ke Baghdad dan menjadi seorang guru. Di kota pusat peradaban Islam ini, beliau merumuskan kerangka pemikiran hukumnya. Hasil karyanya di Baghdad terkenal sebagai al-Madhhab al-Qadeem atau “Madzhab Lama”. Pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh interaksinya dengan ajaran Maliki dan Hanafi.
Kemudian, pada 21 Juni 814 M, beliau memutuskan pindah ke Mesir. Setelah sempat kembali ke Mekkah, beliau akhirnya menetap di Mesir dari tahun 815 M hingga akhir hayatnya. Di Mesir, pemikiran hukum Imam Ash-Shafi’i mencapai puncaknya. Beliau merevisi beberapa pandangan lamanya dan menulis banyak buku monumental. Hasil karyanya selama periode inilah yang kemudian dikenal sebagai al-Madhhab al-Jadeed atau “Madzhab Baru”.
Di sekolahnya, beliau dibantu oleh murid-murid cemerlang. Beberapa di antaranya adalah al-Muzani, ar-Rabi’ bin Sulaiman, dan az-Za’farani, yang berperan besar dalam menyebarkan ajaran beliau.
Wafat dan Warisan Abadi
Imam Ash-Shafi’i wafat pada akhir bulan Rajab tahun 204 H (20 Januari 820 M) di Fustat, Mesir. Jasadnya dimakamkan di kaki Gunung Muqattam. Makamnya menjadi tempat yang sangat dihormati. Bertahun-tahun kemudian, Sultan Salahuddin al-Ayyubi membangun sebuah madrasah besar di dekat makamnya. Pada tahun 1211, Sultan Ayubid Malik al-Kamil membangun kubah megah di atas makam tersebut, yang hingga kini menjadi salah satu tujuan ziarah penting bagi kaum Muslimin.
Fondasi Ushul Fiqih: Kontribusi Terbesar Imam Ash-Shafi’i
Para kritikus modern mengakui Imam Ash-Shafi’i sebagai ahli hukum yang jenius. Kontribusi terbesarnya adalah penciptaan teori klasik Fiqih Islam, atau yang terkenal sebagai Ushul Fiqih. Dalam kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah, beliau mengidentifikasi empat dasar utama hukum Islam secara sistematis.
Al-Qur’an: Beliau menegaskan Al-Qur’an adalah sumber hukum tertinggi. Beliau berkata, “Al-Qur’an adalah dasar pengetahuan legal.”
As-Sunnah: Beliau menempatkan Hadits Nabi SAW sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an. Karena pembelaannya yang kuat terhadap Sunnah, beliau mendapat julukan Nasir as-Sunnah (Pembela Sunnah). Beliau mengambil jalan tengah antara Imam Abu Hanifa yang lebih berfokus pada Al-Qur’an dan Qiyas, dengan Imam Malik yang sangat bersandar pada tradisi masyarakat Madinah. Beliau mengutip ayat Al-Qur’an untuk menunjukkan kewajiban mengikuti Sunnah:
“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al-Qur’an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah (2): 129)
Ijma’ (Konsensus Ulama): Imam Ash-Shafi’i memperluas konsep Ijma’. Menurutnya, Ijma’ bukan hanya kesepakatan ulama di satu wilayah, melainkan konsensus para ahli hukum dari seluruh komunitas Muslim. Beliau mendasarkannya pada sabda Nabi, “Umatku tidak akan pernah setuju pada kesalahan.”
Qiyas (Analogi): Beliau adalah ahli hukum pertama yang menetapkan aturan sistematis untuk Qiyas. Beliau mendefinisikannya sebagai proses menyamakan kasus hukum baru yang belum ada dalilnya dengan kasus lama yang sudah ada hukumnya karena adanya kesamaan sebab atau ‘illah.
Imam Ash-Shafi’i adalah penengah yang brilian. Beliau menyatukan pendekatan independen dalam investigasi hukum dengan tradisionalisme yang kuat pada masanya. Dengan merumuskan Ushul Fiqih, beliau telah memberikan fondasi yang kokoh bagi perkembangan hukum Islam untuk generasi-generasi setelahnya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
