Opinion
Beranda » Berita » Layakkah Eks Direktur Utama BUMN Dipenjara?

Layakkah Eks Direktur Utama BUMN Dipenjara?

Layakkah Eks Dirut BUMN Dipenjara?

Layakkah Eks Dirut BUMN Dipenjara?.

Sejumlah mantan anggota direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersandung kasus hukum. Mereka disangka korupsi dan telah merugikan negara miliaran hingga triliunan rupiah. Setelah kasus yang menjerat Hotasi Nababan (mantan direktur utama PT Merpati), Nur Pamuji (mantan dirut PT PLN), Karen Agustiawan (mantan dirut PT Pertamina), Milawarma (mantan dirut PT Bukit Asam) dan yang terakhir adalah kasus yang menjerat para direktur PT ASDP Indonesia Ferry.  Mereka adalah Ira Puspadewi selaku eks Direktur Utama PT ASDP), Muhammad Yusuf Hadi selaku Direktur Komersial dan Pelayanan tahun 2019-2024, dan Harry Muhammaf Adhi Caksono (HMAC) selaku Direktur Perencanaan dan Pengembangan tahun 2020-2024. Ketiganya saat ini ditahan di Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pertanyaannya, layakkah para eks direktur BUMN (Badan Usaha Milik Negara) itu dipenjara? Pertanyaan itu makin relevan karena tanggal 1 Maret adalah Hari Keadilan Nasional. Apakah langkah yang ditempuh oleh aparat penegak hukum itu mendatangkan keadilan bagi publik? Apakah langkah mereka yang mengatasnamakan pemberantasan korupsi itu membawa keadilan? Tentu orang bisa berdebat panjang lebar soal keadilan. Apakah itu keadilan personal atau keadilan sosial. Tapi bila dilihat dari kacamata filsuf Inggris abad ke-19, Herbert Spencer, maka keadilan sosial berfokus pada masyarakat sebagai entitas. Masyarakat adalah organisme besar. Maka, apakah penahanan para tersangka direktur BUMN itu akan mendatangkan keadilan sosial bagi masyarakat? Apakah langkah para direksi BUMN yang melakukan aksi korporasi itu bisa lebih memakmurkan Indonesia? Tentu para direktur BUMN bukanlah nabi yang steril dari salah. Mereka orang biasa yang tetap harus diawasi, tapi apakah mereka layak dipenjara karena tuduhan korupsi yang tidak mereka lakukan,  tetapi mereka ingin memajukan BUMN yang dipimpinnya. Kecuali, yang memang jelas-jelas melakukan tindak korupsi untuk kepentingan pribadi.

Companies Act

Seyogyanya, aparat penegak hukum bisa belajar dari yang diterapkan di Inggris dengan Companies Act 2006: yang intinya mengatur bahwa direksi memiliki kebebasan dalam mengambil keputusan bisnis selama bertindak dengan due diligence dan tanpa niat buruk. Demikian hal itu pula yang diterapkan di Australia dengan Corporations Act 2001: yang isinya mengatur perlindungan bagi direksi selama keputusan diambil dengan informasi yang memadai, due diligence, dan kepentingan terbaik perusahaan.

Prinsip itu pula yang dialami PT Bukit Asam saat membeli perusahaan PT Satria Bahana Sarana (SBS) pada 2015. Meski perusahaan ini merugi, tapi mereka punya lisensi dan keahlian operasional tambang, sementara PT Bukit Asam punya konsesi tambang tapi kekurangan tim ahli operasional tambang. Jaksa melihat ini praktek korupsi merugikan negara. Tapi, kalau dilihat dari kacamata bisnis, setelah akuisisi laba dan pendapatan PT Bukit Asam melesat. Di Pengadilan Negeri Palembang, saksi menyatakan setelah akuisisi PTBA mencatatkan kenaikan laba dari Rp 2 triliun (2015) menjadi Rp 12,5 triliun. Biaya pembelian PT SBS yg cuma Rp 40 miliar langsung tertutup dengan keuntungan berlipat-lipat ini. Milawarma dirut PTBA akhirnya diputus bebas pada 1 April 2024 karena Pengadilan Negeri Palembang mempertimbangkan, salah satunya business judgement rule ini.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Sayangnya tidak semua aparat hukum memahami prinsip-prinsip busines judgement rule. Itulah sebabnya mereka melayangkan tuduhan para direksi BUMN sebagai koruptor. Itulah yang terjadi pada Karen Agustiawan (dirut PT Pertamina), Nur Pamudji (dirut PT PLN), Hotasi Nababan (dirut PT Merpati), dan juga Ira Puspadewi, Muhammad Yusuf Hadi, dan Harry Muhammaf Adhi Caksono (ketiganya direktur PT ASDP) Banyak pakar hukum melihat kejanggalan-kejanggalan kasus-kasus mereka. Karen, contohnya, dalam kasus Blok BMG Australia, divonis Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi penjara 8 tahun, padahal ini aksi korporasi biasa. Untunglah, akhirnya Karen dibebaskan di kasasi MA. Namun dia masih terjerat kasus pengadaan LNG yang sebenarnya adalah aksi korporasi berdasarkan Inpres 1 Tahun 2010.
Kasus-kasus itu makin mengejutkan saya, terutama kasus tuduhan korupsi pada para direktur PT ASDP. Mengapa? Pada awal tahun 1990an, selaku Sekretaris Eksekutif Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), saya kedatangan tamu seorang perempuan muda. Namanya Ira Puspadewi, yang belakangan menjadi dirut PT ASDP yang kini disangka korupsi.

Alih-alih berkarir di dunia industri lulusan Universitas Brawijaya ini justru memilih lembaga nonpemerintah.
Ditempa oleh senior-seniornya, para aktivis perempuan terkemuka, seperti Erna Witoelar, Zoemrotin K Susilo, Tini Hadad, dan Indah Suksmaningsih semuanya adalah para Ketua YLKI  Ira menjadi bagian dari deretan young women activist yang sangat peduli dan memperjuangkan hak-hak konsumen. Setelah dari lembaga nonprofit, kemudian Ira dipercaya menjadi direktur Asia Pasifik sebuah perusahaan garmen terkemuka di Amerika Serikat dan akhirnya diminta oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan untuk memajukan BUMN. Sudah kerja di perusahaan di multinasional dari Amerika Serikat, meraih doktor di Universitas Indonesia, tapi rela pulang kampung mengabdi di BUMN. Sampai berita mengejutkan itu datang beberapa hari lalu: Ira ditahan  KPK sebagai tersangka dugaan korupsi pada proses akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh ASDP. Saya pun segera menelusuri adakah sesuatu latar belakang yang mungkin terkait dengan kasus ini?Sedangjan tindakan Ira, selaku direksi PT ASDP, adalah sebuah aksi korporasi.  Saya sulit percaya kasus serupa itu menimpa Ira, aktivis berintegritas yang saya kenal. Apalagi selama proses akuisisi itu Ira dan para direktur ASDP didampingi oleh Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejaksaan Agung RI. Baik Jamdatun dan Badan Pengawas Keuangan Pembangunam (BPKP) memuluskan proses akuisisi itu karena memang tak ada masalah.

Tapi dari penelusuran, saya menemukan fakta berikut yang diberitakan oleh media: tak lama setelah Ira menjabat sebagai Dirut ASDP (2017) ia segera membenahi PT ASDP dengan tujuan efisiensi dan mencegah kebocoran pendapatan perusahaan serta meningkatkan pelayanan kepada konsumen pengguna jasa transportasi air dan laut. Salah satu perubahan ekstrim yang Ira lakukan adalah digitalisasi layanan tiket. Bayangkan, pada masa puncak keramaian, transaksi tunai di loket-loket pelabuhan berkisar Rp 5-8 miliar/hari. Ini sangat rawan kebocoran, marak percaloan, dan menimbulkan antrean dan keruwetan di pelabuhan, karena semua masih berlangsung secara manual.

Persoalan Kronis

Saya menduga, melihat segala persoalan kronis yang telah berlangsung bertahun-tahun di lingkungan kerjanya yang baru, naluri Ira sebagai aktivis di masa lalunya  dan kini sebagai professional – terusik. Saya kira Ira terinspirasi oleh Ignatius Jonan yang melakukan pembenahan serupa di industri transportasi kereta api (PT KAI), dan berhasil. Berkat Jonan, kita semua hari ini sangat menikmati ketertiban dan kenyamanan layanan PT KAI, yang sebelumnya sangat semrawut dan tak terbayangkan bakal bisa rapi seperti hari ini. Apalagi, percakapan sehari-hari Ira dengan dua putranya yang pakar teknologi digital dan komputasi, tentunya memperkuat motivasi dan jalan pembenahan yang hendak dia lakukan di ASDP. Kenyataannya, pembenahan lewat digitalisasi ticketing itu, tampak membuahkan hasil. Di tengah kebanyakan BUMN yang merugi dan membebani negara, PT ASDP pada 2022 membukukan laba sebesar Rp 585 miliar, naik menjadi 637 miliar pada 2023, dan naik lagi pada 2024 (8% year on year), dengan perolehan 514 miliar baru sampai Oktober 2024. Ini capaian besar.

Tak heran, dalam kiprahnya yang belum terlalu lama di ASDP, Ira Puspadewi mendapat dua penghargaan bergengsi. Pertama, the Best Industry Marketing Champion 2022 kategori transportation dari perusahaan konsultan pemasaran terkemuka, MarkPlus, Inc. Kedua, R.A Kartini Award 2024 untuk kategori Outstanding Leader in Transportation Digital Innovation yang diberikan oleh Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia (Wantimpres RI). Kasus akuisisi perusahaan yang menimpa Ira Puspadewi dan para direktur PT ASDP ini jauh dari penegakan prinsip business judgement rules. Para mantak direktur ASDP itu dianggap merugikan negara Rp 893 miliar. Padahal ini bukan hal riil. Faktanya, pendapatan perusahaan yang diakuisisi meningkat dari Rp 532 miliar (2022) jadi Rp 668 miliar. Pendapatan PT ASDP (Konsolidasi) juga naik dari semula Rp 2,219 triliun (2021) menjadi Rp3.298 triliun (2023);

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Fakta itu mengingatkan saya pada pernyataan Machfud MD tentang industri hukum. Kata Machfud, bahwa di Indonesia ini kasus hukum yang menimpa seseorang bisa saja merupakan hasil rekayasa. Suatu kesalahan, dan pasal-pasal yang dapat digunakan untuk menetapkan kesalahan itu dapat dicari-cari dan digunakan yang cocok dengannya. Saya haqqul yakin pernyataan Machfud MD itu benar adanya. Penulis, aktivis, pernah jadi Sekretaris Jenderal Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) (Zaim Saidi).


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement