SURAU.CO – Setiap orang tentu mendambakan kebaikan. Keinginan untuk menjadi pribadi yang saleh adalah fitrah. Namun, perjalanan spiritual ini sering kali memiliki jebakan tersembunyi. Jebakan itu bernama perasaan paling benar. Kondisi ini secara tidak sadar membuat seseorang merasa lebih suci. Akibatnya, ia mudah menghakimi orang lain yang berbeda pandangan.
Lalu, bagaimana cara kita untuk menjadi baik tanpa merasa paling benar? Jawabannya terletak pada seni mengelola hati dan pikiran. Ini adalah tentang memupuk kebaikan yang tulus. Kebaikan tersebut lahir dari kesadaran, bukan dari arogansi spiritual.
Bahaya Tersembunyi dari Perasaan Superior
Perasaan “paling benar” adalah dinding tebal yang menghalangi pertumbuhan spiritual. Ketika seseorang meyakini hanya dirinya yang berada di jalan lurus, ia menutup pintu untuk belajar. Ia berhenti mendengarkan nasihat. Selain itu, ia juga kehilangan empati terhadap sesama.
Sikap ini justru bertentangan dengan esensi ajaran agama. Hampir semua ajaran agama menekankan pentingnya rendah hati. Sikap merasa superior justru melahirkan perpecahan dalam komunitas iman. Energi yang seharusnya digunakan untuk berbuat baik malah habis untuk berdebat. Hal ini tentu merusak keharmonisan.
Introspeksi Diri sebagai Kunci Utama
Langkah pertama untuk menghindari jebakan ini adalah introspeksi diri. Alih-alih sibuk menilai ibadah orang lain, kita seharusnya fokus pada kekurangan diri sendiri. Kita perlu terus bertanya pada diri kita. Apakah niat kita sudah lurus? Apakah ibadah kita sudah bersih dari riya?
Introspeksi diri adalah cermin kejujuran. Melalui cermin ini, kita melihat betapa banyaknya kekurangan kita. Kesadaran ini secara otomatis akan mengikis kesombongan. Kita akan sadar bahwa perjalanan spiritual adalah urusan personal antara hamba dan Tuhannya. Dengan demikian, kita tidak lagi punya waktu untuk mengukur keimanan orang lain.
Salah satu ulama kharismatik, K.H. Bahauddin Nursalim atau Gus Baha, sering mengingatkan hal ini. Beliau menekankan pentingnya berfokus pada ibadah personal.
“Orang yang merasa paling suci sering kali lupa bahwa kesucian sejati adalah milik Allah. Tugas kita hanya beribadah, bukan menghakimi ibadah orang lain.”
Kutipan ini memberikan perspektif yang kuat. Tugas manusia adalah menyembah, bukan mengambil alih peran Tuhan sebagai hakim.
Kebaikan yang Merangkul, Bukan Menghakimi
Selanjutnya, kebaikan sejati seharusnya bersifat merangkul. Kebaikan itu menebarkan kedamaian, bukan ketakutan. Orang yang baik secara tulus akan membuat orang di sekitarnya merasa nyaman. Ia tidak akan mudah menyalahkan atau mencari-cari kesalahan orang lain.
Sebaliknya, ia akan menjadi pendengar yang baik. Ia menawarkan bantuan tanpa pamrih. Ia juga memberikan nasihat dengan cara yang bijaksana dan lembut. Tujuannya adalah mengajak pada kebaikan, bukan untuk menunjukkan bahwa dirinya lebih hebat.
Budayawan Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun juga sering menyuarakan pesan serupa. Beliau mendorong kita untuk melihat manusia dengan kacamata kasih sayang.
“Jangan pernah meremehkan kebaikan sekecil apapun, dan jangan pula merasa aman dengan dosa sekecil apapun. Fokuslah pada perbaikan dirimu sendiri, karena hanya itu yang akan kau bawa mati.”
Pesan Cak Nun sangat relevan. Energi kita terbatas. Oleh karena itu, lebih baik kita gunakan untuk memperbaiki diri sendiri daripada sibuk mengkritik orang lain.
Praktik Nyata dalam Kehidupan Sehari-hari
Menerapkan konsep ini membutuhkan latihan terus-menerus. Berikut beberapa langkah praktis yang bisa Anda coba dalam komunitas iman Anda:
-
Lebih Banyak Mendengar: Cobalah lebih banyak mendengar daripada berbicara, terutama dalam diskusi keagamaan.
-
Akui Keterbatasan Ilmu: Selalu sadari bahwa ilmu kita sangat terbatas. Di atas langit masih ada langit.
-
Cari Titik Persamaan: Saat berinteraksi dengan orang yang berbeda, fokuslah pada persamaan nilai, bukan perbedaan ritual.
-
Doakan, Jangan Caci Maki: Jika melihat seseorang berbuat salah, doakan ia agar mendapat hidayah. Jangan langsung mencacinya di depan umum atau di media sosial.
-
Rayakan Kebaikan Orang Lain: Berikan apresiasi tulus ketika melihat orang lain melakukan kebaikan.
Kesimpulan
Pada akhirnya, perjalanan menjadi baik tanpa merasa paling benar adalah sebuah maraton spiritual. Ini adalah proses seumur hidup yang menuntut kesadaran dan kerendahan hati. Kebaikan sejati tidak diukur dari seberapa sering kita mengkritik orang lain. Kebaikan itu justru tecermin dari kemampuan kita mengendalikan ego dan terus memperbaiki diri.
Dengan fokus pada introspeksi dan menebar kasih sayang, kita dapat membangun komunitas iman yang sehat. Sebuah komunitas yang saling mendukung, bukan saling menjatuhkan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
