Opinion
Beranda » Berita » Tadarus Musiman: Euforia Sesaat atau Panggilan Jiwa yang Abadi?

Tadarus Musiman: Euforia Sesaat atau Panggilan Jiwa yang Abadi?

Ilustrasi Anak Muda Sedang Mengaji

SURAU.CO – Bulan Ramadhan selalu tiba dengan keistimewaannya. Suasana spiritual terasa begitu kental di mana-mana. Salah satu pemandangan yang paling menyejukkan adalah gema tadarus Al Quran. Suara lantunan ayat suci terdengar dari masjid, musala, hingga rumah-rumah. Fenomena ini kita kenal sebagai tadarus musiman.

Aktivitas ini tentu membawa berkah yang luar biasa. Semangat kolektif untuk mendekatkan diri kepada Al Quran menciptakan energi positif. Banyak orang berlomba-lomba untuk mengkhatamkan Al Quran. Mereka membentuk kelompok-kelompok kecil untuk saling menyimak bacaan. Ini adalah pemandangan yang patut kita syukuri. Ramadhan berhasil menjadi momentum penyemangat.

Namun, di balik euforia tersebut, muncul sebuah pertanyaan mendasar. Apakah semangat ini akan terus menyala setelah Ramadhan berlalu? Ataukah Al Quran kembali menjadi “tamu agung” yang hanya disambut setahun sekali? Pertanyaan ini mengajak kita merenung lebih dalam. Kita perlu mengevaluasi relasi kita dengan kitab suci ini.

Al Quran: Sekadar Bacaan atau Pedoman Hidup?

Banyak Muslim menjadikan tadarus musiman sebagai target utama di bulan Ramadhan. Fokus utamanya sering kali hanya pada kuantitas. Misalnya, menargetkan berapa kali khatam dalam sebulan. Tentu saja, membaca Al Quran (tilawah) adalah ibadah mulia. Setiap hurufnya mendatangkan pahala.

Akan tetapi, Allah SWT menurunkan Al Quran dengan tujuan yang lebih besar. Al Quran bukan sekadar buku untuk dibaca. Ia adalah hudan lin-nas, atau petunjuk bagi seluruh umat manusia. Fungsinya sebagai panduan hidup seringkali terlupakan. Interaksi kita terkadang berhenti pada lisan, belum meresap ke dalam hati dan perbuatan.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Seorang pemerhati studi Islam, Dr. Amir Faishol Fath, pernah mengingatkan pentingnya interaksi yang utuh. Ia menyatakan, “Interaksi dengan Al Quran yang benar bukan hanya membacanya, melainkan membacanya (tilawah), memahaminya (tadabbur), mengamalkannya, lalu mendakwahkannya.”

Kutipan ini menampar kita dengan lembut. Relasi yang sehat dengan Al Quran harus mencakup pemahaman mendalam atau tadabbur. Tanpa tadabbur, kita hanya akan menjadi pembaca. Kita mungkin fasih melantunkan ayat, tetapi kosong dari maknanya. Akibatnya, Al Quran belum benar-benar berfungsi sebagai pemandu dalam setiap langkah kehidupan kita.

Jebakan “Ramadhan-Sentris”

Fenomena tadarus musiman tanpa sadar menciptakan sebuah pola pikir “Ramadhan-sentris”. Artinya, banyak ibadah, termasuk membaca Al Quran, terkonsentrasi penuh hanya di bulan suci ini. Setelah Idul Fitri tiba, mushaf Al Quran kembali tersimpan rapi di rak. Ia menunggu Ramadhan berikutnya untuk kembali disentuh.

Ini adalah sebuah ironi. Kita membutuhkan petunjuk Al Quran setiap hari, bukan hanya setahun sekali. Masalah kehidupan, tantangan pekerjaan, dan dinamika keluarga terjadi sepanjang tahun. Oleh karena itu, kita memerlukan bimbingan Al Quran secara berkelanjutan.

Jika kita hanya menjadikannya ritual musiman, kita kehilangan esensi terbesarnya. Al Quran ibarat kompas. Seorang pengembara tentu tidak akan melihat kompasnya hanya pada waktu-waktu tertentu. Ia akan terus merujuknya untuk memastikan perjalanannya tetap pada arah yang benar. Begitulah seharusnya seorang Muslim memosisikan Al Quran dalam hidupnya.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Membangun Relasi yang Berkelanjutan dengan Al Quran

Lalu, bagaimana cara mengubah kebiasaan tadarus musiman menjadi interaksi yang langgeng? Jawabannya terletak pada konsistensi dan perubahan pola pikir. Berikut beberapa langkah praktis yang bisa kita coba.

  1. Mulai dari yang Kecil. Jangan membebani diri dengan target yang terlalu berat. Mulailah program seperti “One Day One Ayat”. Baca satu ayat setiap hari, tetapi lengkap dengan terjemahan dan sedikit tafsirnya.

  2. Jadikan Bagian dari Rutinitas. Kaitkan waktu membaca Al Quran dengan aktivitas harian. Misalnya, membacanya secara rutin setelah salat Subuh atau sebelum tidur. Ini membantu membentuk kebiasaan baru.

  3. Manfaatkan Teknologi. Saat ini, ada banyak aplikasi Al Quran di ponsel pintar. Aplikasi ini menyediakan terjemahan, tafsir, hingga audio murottal. Manfaatkan kemudahan ini untuk berinteraksi dengan Al Quran di mana saja.

  4. Bergabung dengan Komunitas. Carilah komunitas atau kelompok studi Al Quran, baik secara daring maupun luring. Belajar bersama teman akan membuat kita lebih termotivasi dan bersemangat.

    Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

  5. Fokus pada Kualitas, Bukan Kuantitas. Ubah target dari “berapa kali khatam” menjadi “berapa banyak ayat yang sudah dipahami dan diamalkan”. Kualitas interaksi jauh lebih penting daripada sekadar kuantitas bacaan.

Pada akhirnya, tadarus musiman adalah titik awal yang sangat baik. Ia adalah gerbang pembuka untuk mencintai Al Quran. Namun, jangan biarkan pintu itu tertutup rapat saat Ramadhan usai. Mari kita buka terus pintu itu. Jadikan Al Quran sebagai sahabat sejati. Seorang sahabat yang selalu menemani, menasihati, dan membimbing kita di setiap musim kehidupan.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement