SURAU.CO – Banyak orang mempersepsikan dakwah sebagai kegiatan yang serius dan kaku. Mereka sering membayangkan seorang penceramah dengan intonasi tinggi. Namun, citra tersebut mulai bergeser seiring waktu. Kini, semakin banyak pendakwah menggunakan pendekatan yang berbeda. Salah satunya adalah melalui humor dalam dakwah. Strategi ini membuktikan efektivitasnya untuk mendekati masyarakat. Humor bukan sekadar pemanis, melainkan sebuah strategi kultural yang cerdas.
Membuka Pintu Hati yang Tertutup
Pertama-tama, humor dapat berfungsi sebagai pemecah kebekuan. Seorang dai yang mengawali ceramah dengan candaan segar dapat mencairkan suasana. Audiens yang tadinya kaku pun menjadi lebih rileks. Akibatnya, mereka lebih terbuka untuk menerima pesan yang penceramah sampaikan. Humor secara aktif membangun jembatan emosional antara dai dan jamaahnya. Proses ini membentuk sebuah ikatan positif saat audiens tertawa bersama.
Pendekatan ini sangat penting di tengah masyarakat yang beragam. Tawa yang tulus bisa langsung meluruhkan prasangka atau jarak. Dr. Ahmad Santoso, seorang pakar Komunikasi Dakwah, menyatakan:
“Humor itu seperti kunci. Ia membuka pintu hati yang terkunci oleh prasangka. Pesan dakwah bisa masuk dengan lebih mudah setelah pintu itu terbuka.”
Kutipan tersebut menegaskan fungsi humor sebagai alat pembuka yang kuat. Tanpa “kunci” ini, pesan dakwah yang luhur mungkin sulit menembus benteng skeptisisme audiens.
Menjadikan Dakwah Lebih Manusiawi dan Merakyat
Selanjutnya, humor membuat ajaran agama terasa lebih membumi. Seorang dai yang mampu berkelakar menunjukkan sisi manusiawinya. Ia tidak tampil sebagai sosok suci yang kaku. Sebaliknya, ia hadir sebagai teman yang memahami realitas kehidupan. Hal ini membuat ajaran Islam tidak terasa asing atau berat.
Sebagai contoh, banyak pendakwah populer di Indonesia meraih sukses karena gaya jenaka mereka. Mereka sering mengangkat contoh dari kehidupan sehari-hari. Mereka membalut masalah utang atau drama rumah tangga dengan lelucon yang relevan. Dengan demikian, materi dakwah menjadi sangat dekat dengan audiens. Masyarakat pun merasa bahwa Islam menawarkan solusi nyata untuk masalah mereka.
Landasan Sejarah dan Batasan Etis
Praktik menggunakan humor untuk menyampaikan kebaikan bukanlah hal baru. Terdapat riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW juga sesekali bercanda. Tentu saja, candaan beliau selalu mengandung kebenaran dan tidak berlebihan. Hal ini menjadi landasan bahwa seorang dai tidak harus selalu menyampaikan dakwah dengan wajah tegang.
Namun, seorang dai harus menetapkan batasan yang jelas. Humor dalam dakwah wajib tetap berada dalam koridor etika Islam. Seorang dai harus memegang teguh beberapa prinsip. Pertama, humor tidak boleh mengandung kebohongan. Kedua, candaan tidak boleh bertujuan merendahkan atau menghina orang lain. Ketiga, isinya harus sopan dan tidak menjurus pada hal-hal vulgar. Terakhir, frekuensinya tidak boleh berlebihan hingga menutupi esensi pesan utama.
Relevansi di Era Digital dan Generasi Milenial
Di era digital saat ini, pendekatan humor menjadi semakin relevan. Generasi milenial dan Gen Z memiliki rentang perhatian yang pendek. Mereka menyukai konten yang ringkas, visual, dan menghibur. Oleh karena itu, jika dai menyajikan dakwah secara monoton, audiens akan mudah meninggalkannya.
Sebaliknya, potongan video ceramah lucu lebih mudah viral di media sosial. Orang-orang lebih mungkin membagikan ulang konten seperti ini. Secara tidak langsung, jangkauan dakwah menjadi lebih luas. Dai yang kreatif mampu mengubah topik berat menjadi ringan tanpa kehilangan substansi. Praktik inilah yang kita sebut sebagai dakwah kreatif yang menjawab tantangan zaman.
Humor sebagai Alat, Bukan Tujuan
Pada akhirnya, humor dalam dakwah adalah sebuah alat yang sangat kuat. Ia bukan tujuan akhir, melainkan sarana untuk mencapai tujuan mulia. Tujuan utamanya tetaplah penyampaian risalah Islam secara bijaksana. Humor membantu proses itu dengan membuat pesan lebih mudah audiens terima, ingat, dan amalkan.
Dengan menggunakan humor secara tepat, dakwah tidak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan. Ia menjelma menjadi sebuah obrolan hangat yang mencerahkan. Pendekatan kultural ini memastikan ajaran Islam dapat terus relevan dan menyentuh hati semua kalangan di setiap zaman.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
