Khazanah
Beranda » Berita » Marah Ketika Dinasehati? Cari Pembenaran Ketika Diluruskan? Renungan tentang Keikhlasan dan Penerimaan Nasehat

Marah Ketika Dinasehati? Cari Pembenaran Ketika Diluruskan? Renungan tentang Keikhlasan dan Penerimaan Nasehat

Marah Ketika Dinasehati? Cari Pembenaran Ketika Diluruskan? (Renungan tentang Keikhlasan dan Penerimaan Nasehat. 

Marah Ketika Dinasehati? Cari Pembenaran Ketika Diluruskan? (Renungan tentang Keikhlasan dan Penerimaan Nasehat). 

Dalam perjalanan hidup, kita tidak akan pernah lepas dari yang namanya kesalahan. Baik disengaja maupun tidak, setiap manusia pasti pernah berbuat salah. Namun, bagaimana sikap kita saat ada orang yang mengingatkan? Apakah kita menerima dengan lapang dada, atau justru marah dan mencari-cari alasan pembenaran?

Imam Adz Dzahabi rahimahullah pernah berkata:

> “Tanda orang yang ikhlas adalah apabila diingatkan kesalahannya, ia tidak merasa panas hatinya, tidak juga ngeyel. Justru ia akan mengakui kesalahannya dan mendoakannya, ‘Semoga Allah merahmati orang yang mengingatkan kesalahanku.’”
(Siyar A’lam An-Nubala, 13/439)

Kalimat ini mengandung pelajaran mendalam. Bahwa keikhlasan seseorang bisa dilihat dari caranya merespon teguran. Hati yang bersih tidak akan merasa sakit ketika diingatkan, karena ia sadar bahwa teguran adalah bentuk kasih sayang dari Allah melalui sesama manusia.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Mengapa Kita Mudah Marah Ketika Dinasehati?

Salah satu penyebabnya adalah ego. Ego yang terlalu tinggi membuat seseorang merasa selalu benar, sehingga ketika ada orang lain yang mengingatkan, ia merasa harga dirinya direndahkan. Padahal, menerima nasihat bukanlah tanda kelemahan, tetapi tanda kebesaran jiwa.

Rasulullah ﷺ bersabda:
“Agama itu adalah nasehat.”
(HR. Muslim, no. 55)

Menerima nasihat berarti kita sedang menjalankan salah satu inti ajaran Islam. Sebaliknya, menolak dengan amarah hanya akan menutup pintu kebaikan.

Mencari Pembenaran, Tanda Kurang Ikhlas

Sering kali kita lebih sibuk mencari-cari alasan untuk membenarkan diri, daripada mendengar dengan hati terbuka. Padahal, pembenaran tidak akan menghapus kesalahan, justru menambah beban hati. Orang yang ikhlas tidak merasa hina ketika mengakui kesalahan. Ia bahkan berterima kasih kepada orang yang telah mengingatkan.

Sikap yang Seharusnya

1. Dengarkan dengan Tenang. Saat diingatkan, tahan emosi, jangan buru-buru menjawab.
2. Evaluasi Diri. Periksa kebenaran nasihat tersebut. Jika memang benar, akui kesalahannya.
3. Ucapkan Terima Kasih. Mendoakan orang yang menegur kita adalah bentuk akhlak mulia.
4. Perbaiki Diri. Jadikan setiap teguran sebagai sarana memperbaiki kekurangan.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Buah Keikhlasan

Ketika hati mampu menerima nasihat, ia akan menjadi lebih lapang. Kesalahan menjadi pelajaran, bukan sumber permusuhan. Inilah tanda keikhlasan sejati, karena orang yang ikhlas tidak takut disalahkan. Ia hanya takut jika kesalahannya tidak diampuni oleh Allah.

Penutup: Mari kita jadikan setiap teguran sebagai hadiah, bukan hinaan. Jangan biarkan amarah menutup hati kita dari kebenaran. Katakanlah pada diri sendiri:
“Siapa tahu melalui orang yang menasihatiku, Allah sedang menuntunku menuju kebaikan.”

Semoga kita termasuk orang-orang yang hatinya lembut, mampu menerima kebenaran meski pahit, dan selalu mendoakan mereka yang mengingatkan kita. Aamiin.

 


 

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Mengendalikan Emosi: Kunci Kedamaian dan Kemenangan Sejati.

Emosi adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Ia seperti air dalam gelas jiwa: bila tenang, ia memantulkan cahaya dengan indah, tetapi bila bergelombang, ia bisa tumpah dan merusak sekeliling. Dalam Islam, pengendalian emosi bukan hanya soal etika sosial, tetapi merupakan bentuk kematangan iman dan akhlak.

1. Emosi: Anugerah yang Perlu Dikelola
Allah SWT menciptakan manusia dengan berbagai perasaan: marah, cinta, takut, sedih, bahagia, kecewa. Semua ini tidaklah sia-sia. Namun, keberhasilan seseorang dalam hidup tidak ditentukan oleh apakah ia memiliki emosi atau tidak, melainkan bagaimana ia mengelola emosinya.

Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Bukanlah orang yang kuat itu yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya saat marah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada fisik, tapi pada pengendalian diri. Dalam dunia modern, kemampuan ini disebut emotional intelligence atau kecerdasan emosional — dan Islam telah mengajarkannya sejak 14 abad lalu.

2. Penyebab Emosi Meledak
Mengapa seseorang mudah marah, menangis tanpa kendali, atau kecewa hingga bertindak ceroboh? Di antaranya:

Kurangnya kesadaran diri (self-awareness)
Ego yang besar: ingin selalu menang, selalu benar
Kondisi fisik dan mental yang lelah
Lingkungan dan pergaulan yang tidak sehat
Kurang ilmu dan dzikir

Semua faktor ini membuat hati sempit, dan ketika hati sempit, ucapan dan tindakan mudah menyakiti.

3. Cara Islam Mengajarkan Pengendalian Emosi
a. Berwudhu dan Shalat
Ketika marah, Rasulullah ﷺ menganjurkan kita untuk berwudhu:

> “Sesungguhnya marah itu dari setan, dan setan diciptakan dari api. Api itu dapat dipadamkan dengan air, maka apabila seseorang marah hendaklah ia berwudhu.”
(HR. Abu Dawud)

Shalat juga menjadi sarana utama dalam menenangkan jiwa. Allah berfirman:

> “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu…”
(QS. Al-Baqarah: 45)

b. Diam saat Marah
Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Jika salah seorang di antara kalian marah, hendaklah ia diam.”
(HR. Ahmad)

Banyak konflik yang bermula dari kata-kata saat emosi tak terkendali. Diam adalah perisai terbaik saat emosi memuncak.
c. Mengubah Posisi Tubuh
Jika marah dalam posisi berdiri, duduklah. Jika duduk, berbaringlah. Cara ini terbukti menurunkan ketegangan fisik yang memperburuk emosi.
d. Berdzikir dan Memohon Perlindungan
> “Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.”

Ini bukan sekadar bacaan, tapi bentuk kesadaran bahwa kemarahan bisa menjadi celah masuknya setan.

4. Emosi Negatif Bisa Merusak Segalanya
Seorang pemimpin, ayah, guru, atau da’i — jika tak mampu mengendalikan emosi, bisa menghancurkan kepercayaan orang-orang di sekitarnya. Emosi yang tidak dikelola bisa memutus silaturahmi, merusak rumah tangga, meruntuhkan reputasi, bahkan membunuh orang tak berdosa.

> “Sesungguhnya orang yang paling buruk di sisi Allah pada hari kiamat adalah orang yang ditinggalkan manusia karena takut terhadap kejahatannya.”
(HR. Bukhari)

Orang seperti ini menjadi berbahaya karena tak punya kendali diri. Maka Islam menempatkan pengendalian emosi sebagai tangga awal menuju akhlak mulia.

5. Emosi Positif Juga Perlu Dikendalikan
Bukan hanya marah atau benci yang harus dikendalikan, tapi juga senang, cinta, kagum, dan bahagia. Berlebihan dalam mencintai bisa berubah menjadi fanatisme buta. Terlalu senang bisa membuat lalai.

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:

> “Cintailah kekasihmu sekadarnya saja, bisa jadi suatu hari dia menjadi orang yang kau benci. Dan bencilah musuhmu sekadarnya saja, bisa jadi suatu hari dia menjadi kekasihmu.”

Islam mengajarkan seimbang dalam segala hal, termasuk emosi.

6. Latihan Mengendalikan Emosi
Beberapa latihan praktis dalam kehidupan sehari-hari:

Muroqobah (merasa diawasi Allah) setiap saat
Menulis jurnal emosi: mengidentifikasi sebab dan reaksi
Menunda respon: tarik napas, hitung 10 detik sebelum bicara
Evaluasi harian (muhasabah): adakah ucapan atau perbuatan yang disesali hari ini?
Perbanyak istighfar: emosi sering bersumber dari hati yang kotor

7. Buah Manis dari Pengendalian Emosi
Disukai banyak orang
Didoakan malaikat
Diberikan kelapangan hati
Dipercaya dalam kepemimpinan

Dicintai Allah SWT

> “Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
(QS. Ali Imran: 134)

Inilah orang-orang yang tangguh di hadapan manusia dan mulia di sisi Allah.

8. Penutup: Emosi Bukan untuk Ditekan, Tapi Dikelola
Mengendalikan emosi bukan berarti mematikan rasa. Tapi mengarahkan emosi dengan bijak. Marah boleh, tapi pada tempat dan cara yang benar. Sedih boleh, tapi jangan sampai kufur nikmat. Bahagia boleh, tapi jangan lalai. (Tengku Iskandar, M.Pd)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement