SURAU.CO – Seni merupakan salah satu fitrah kemanusiaan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari peradaban. Dalam Islam, ekspresi kreatif memiliki ruang yang sangat luas. Hal ini terbukti dari berkembangnya seni kaligrafi, arsitektur megah, hingga desain geometris yang rumit. Meskipun demikian, tidak semua bentuk seni mendapatkan lampu hijau. Salah satu cabang seni yang menjadi titik perdebatan panjang di kalangan para ulama adalah seni patung, khususnya yang mereplikasi makhluk bernyawa. Oleh karena itu, muncul sebuah pertanyaan mendasar: bagaimana sebenarnya hukum seorang Muslim membuat patung?
Untuk menjawab persoalan ini secara komprehensif, kita perlu menelusurinya dari berbagai sumber utama ajaran Islam. Tentunya, Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad ﷺ menjadi rujukan pertama. Selanjutnya, kita juga harus memahami bagaimana para ulama menafsirkan dalil-dalil tersebut dalam konteks yang lebih luas.
Membedah Hukum Membuat Patung dalam Islam: Antara Seni, Akidah, dan Batasan Syariat
Sebagai seorang Muslim yang hidup di era modern, berinteraksi dengan hukum ini menuntut sebuah perenungan. Larangan membuat patung pada hakikatnya bukanlah sebuah upaya untuk membelenggu kreativitas. Sebaliknya, ini adalah cara Allah untuk mengarahkan energi kreatif hamba-Nya ke jalur yang lebih aman dan murni secara akidah. Ketika satu pintu ditutup, pintu-pintu lain justru terbuka lebih lebar. Sejarah telah membuktikan, seniman Muslim berhasil melahirkan bentuk-bentuk kesenian yang luar biasa indah dan khas, seperti kaligrafi, arabes, dan arsitektur, justru karena adanya batasan ini.
Larangan ini juga mendidik kita untuk senantiasa waspada terhadap potensi kesyirikan, sekecil apa pun. Di zaman sekarang, mungkin kita tidak menyembah patung batu secara harfiah. Namun, “pemberhalaan” modern bisa hadir dalam bentuk lain, seperti pengkultusan tokoh, fanatisme buta terhadap idola, atau bahkan pemujaan terhadap materi. Dengan memahami inti dari larangan patung, yaitu menjaga kemurnian tauhid, kita menjadi lebih peka terhadap berbagai bentuk “berhala” kontemporer. Ini adalah latihan spiritual untuk memastikan bahwa hanya Allah yang menempati posisi tertinggi di dalam hati kita.
Dalil-dalil Tegas Mengenai Larangan Gambar dan Patung
Dasar utama pelarangan pembuatan patung makhluk hidup berakar kuat dalam beberapa hadits Nabi Muhammad ﷺ. Hadits-hadits ini disampaikan dengan redaksi yang sangat lugas dan tegas, sehingga menjadi landasan utama bagi mayoritas ulama dalam menetapkan hukum. Di antara dalil yang paling sering dirujuk adalah:
“Orang yang paling keras siksanya di hari kiamat adalah para pembuat gambar.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini secara eksplisit menyebutkan “para pembuat gambar” (dalam bahasa Arab disebut al-mushawwirun) sebagai golongan yang akan menerima azab terberat. Patung, yang merupakan bentuk tiga dimensi dari sebuah gambar (ash-shuwar), tentu termasuk dalam kategori ini. Ancaman siksa yang keras ini menunjukkan betapa seriusnya perbuatan tersebut dalam pandangan syariat.
Selanjutnya, ada hadits lain yang memberikan gambaran lebih detail mengenai nasib para pembuat gambar di akhirat kelak.
“Setiap pembuat gambar akan dimasukkan ke dalam neraka, setiap gambar yang dibuatnya akan diberi ruh, lalu ia akan disiksa karenanya di neraka.”
(HR. Muslim)
Hadits ini menjelaskan bahwa pada hari kiamat, sang pembuat gambar akan diminta untuk memberikan ruh atau nyawa kepada ciptaannya. Tentu saja, ini adalah sebuah kemustahilan baginya. Perintah ini merupakan bentuk celaan dan hukuman atas tindakannya yang seolah-olah ingin menandingi kekuasaan Allah sebagai Sang Pencipta Tunggal.
Mendalami Alasan di Balik Larangan
Larangan yang tegas ini tentu memiliki hikmah dan alasan yang mendalam. Para ulama telah merinci beberapa sebab utama mengapa Islam melarang keras pembuatan patung makhluk bernyawa.
1. Menyerupai Tindakan Penciptaan Allah (Tasyabbuh bi Khalqillah)
Alasan paling fundamental adalah karena perbuatan ini dianggap sebagai bentuk tasyabbuh, atau upaya menyerupai, perbuatan Allah SWT. Hanya Allah yang memiliki hak prerogatif untuk menciptakan makhluk dalam bentuk yang sempurna. Dalam Asmaul Husna, Allah disebut sebagai Al-Khaliq (Maha Pencipta) dan Al-Mushawwir (Maha Pembentuk Rupa). Dengan demikian, seorang manusia yang membuat replika makhluk hidup secara detail dianggap telah melampaui batasannya sebagai hamba. Tindakan ini mengandung unsur kesombongan karena seolah-akan ingin menyaingi kekuasaan Tuhan.
2. Mencegah Pintu Menuju Kemusyrikan (Sadd adz-Dzari’ah)
Sejarah peradaban manusia menunjukkan bahwa patung sering kali menjadi medium yang mengantarkan manusia pada penyembahan berhala. Islam, sebagai agama yang menempatkan tauhid (pengesaan Allah) sebagai fondasi utamanya, sangat tegas dalam menutup segala celah (Sadd adz-Dzari’ah) yang berpotensi merusak akidah. Kisah kaum Nabi Nuh AS adalah contoh pertama bagaimana patung orang-orang saleh pada awalnyamembuat patung hanya untuk mengenang, namun generasi selanjutnya mulai menyembahnya. Karena potensi bahaya inilah, Islam mengambil langkah preventif dengan melarang pembuatannya dari akarnya.
3. Menjaga Kemurnian dan Fokus Ibadah
Kehadiran patung atau gambar makhluk hidup di dalam rumah, terutama di tempat shalat, khawatir dapat mengganggu kekhusyukan ibadah. Bahkan, terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa Malaikat Rahmat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat anjing atau gambar (termasuk patung). Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan patung dapat menghalangi turunnya keberkahan. Dengan menjauhinya, seorang Muslim menjaga kemurnian tauhidnya dan kebersihan ruang spiritualnya.
Nuansa dan Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama
Meskipun larangan dasarnya sangat jelas, fikih Islam selalu dinamis dan memperhatikan konteks. Para ulama memberikan beberapa rincian dan pengecualian berdasarkan pemahaman mereka terhadap dalil-dalil yang ada.
Pertama, mayoritas ulama sepakat membedakan hukum berdasarkan objeknya. Patung yang meniru makhluk tidak bernyawa, seperti pohon, gunung, sungai, atau bangunan, pada umumnya diperbolehkan. Alasannya adalah karena objek-objek ini tidak memiliki ruh, sehingga tidak ada unsur “menandingi” ciptaan Allah dalam aspek kehidupan.
Kedua, muncul diskusi mengenai tingkat kelengkapan patung. Sebagian ulama berpendapat bahwa jika patung dibuat tidak sempurna, misalnya tanpa kepala atau dengan bagian tubuh yang sengaja dihilangkan sehingga tidak bisa dianggap “hidup”, maka hukumnya menjadi lebih ringan atau bahkan boleh. Dengan adanya kepala, yang menjadi pusat kehidupan dan identitas, sehingga ketiadaannya menghilangkan esensi dari peniruan makhluk hidup.
Ketiga, ulama juga mempertimbangkan faktor tujuan dan kebutuhan. Dalam kondisi darurat atau untuk tujuan yang sangat penting (maslahah), hukumnya bisa berubah. Contoh paling nyata adalah penggunaan manekin untuk pendidikan kedokteran. Mahasiswa kedokteran perlu mempelajari anatomi tubuh manusia secara detail, dan manekin menjadi alat peraga yang sangat efektif. Dalam hal ini, tujuannya bukan untuk menjadi objek sembah atau pajangan, melainkan murni untuk ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat.
Pengecualian lain yang sering menjadi bahasan adalah mainan anak-anak. Hal ini merujuk pada hadits tentang Aisyah RA yang saat kecil memiliki mainan berupa kuda bersayap. Nabi Muhammad ﷺ melihatnya dan tidak melarangnya. Dari sini, banyak ulama menyimpulkan bahwa patung dalam bentuk mainan anak-anak boleh-boleh saja, karena tidak mengandung unsur pengagungan dan penting untuk perkembangan imajinasi anak.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
