Ibadah
Beranda » Berita » Menunda Shalat Sampai Akhir Waktu: Antara Keringanan dan Kelalaian

Menunda Shalat Sampai Akhir Waktu: Antara Keringanan dan Kelalaian

Ilustrasi berdoa di pagi hari

Menunda Shalat Sampai Akhir Waktu: Antara Keringanan dan Kelalaian

SURAU.CO – Shalat lima waktu adalah tiang penyangga agama. Ia menjadi denyut nadi spiritual bagi seorang Muslim setiap harinya. Allah SWT tidak hanya mewajibkannya. Akan tetapi, Dia juga telah menetapkan koridor waktu yang presisi untuk setiap shalat. Menjaga waktu shalat merupakan cerminan ketaatan dan disiplin seorang hamba. Namun, dalam dinamika kehidupan yang serba cepat, terkadang muncul tantangan. Kesibukan sering kali membuat kita berkejaran dengan waktu.

Akibatnya, muncullah sebuah pertanyaan yang relevan bagi banyak orang. Bagaimana sebenarnya hukum menunda shalat? Apakah boleh melaksanakannya di penghujung waktu? Di manakah batasan antara keringanan yang dibolehkan dengan kelalaian yang mendatangkan dosa? Memahami hal ini secara mendalam sangatlah penting. Tujuannya agar kita tidak terjebak dalam sikap meremehkan ibadah agung ini. Oleh karena itu, mari kita bedah persoalan ini secara tuntas.

Standar Emas: Keutamaan Shalat di Awal Waktu

Sebelum membahas hukum menunda, kita harus memahami standar idealnya terlebih dahulu. Dalam ajaran Islam, melaksanakan shalat tepat di awal waktu adalah tingkatan yang paling utama (afdhal). Ini bukanlah sekadar anjuran biasa. Ia adalah sebuah amalan yang menempati posisi sangat terhormat. Keutamaan ini ditegaskan langsung oleh lisan mulia Nabi Muhammad SAW.

Dalam sebuah hadis yang sangat populer, beliau pernah menemukan pertanyaan tentang amalan apa yang paling dicintai Allah. Dengan lugas, Rasulullah SAW menjawab:

“Shalat pada waktunya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Ziarah Makam Hari Jum’at, Apa Hukumnya?

Jawaban ini menunjukkan sebuah prioritas. Menyegerakan shalat adalah bukti kerinduan seorang hamba untuk bertemu dengan Tuhannya. Ia melambangkan semangat, kesigapan, dan pengagungan terhadap perintah Allah. Para ulama kemudian mengklasifikasikan perbuatan ini sebagai sunnah muakkadah. Artinya, sebuah sunnah yang sangat ditekankan. Dengan demikian, inilah target utama yang seharusnya dikejar oleh setiap Muslim.

Wilayah Abu-abu: Hukum Menunda Shalat Tanpa Alasan

Kini, kita memasuki area yang lebih kompleks. Bagaimana jika seseorang menunda shalat hingga akhir waktu tanpa ada alasan yang jelas? Misalnya, seseorang asyik menonton film atau bersantai. Kemudian, ia baru teringat untuk shalat Ashar saat waktu Maghrib hanya tersisa beberapa menit.

Pertama, kita harus menegaskan soal keabsahan shalatnya. Selama shalat tersebut dikerjakan sepenuhnya di dalam rentang waktunya, maka shalatnya tetap dianggap sah. Ia telah menggugurkan kewajibannya. Namun, sah bukan berarti tanpa catatan. Perilaku menunda-nunda seperti ini, jika tanpa udzur syar’i, dihukumi makruh.

Mengapa makruh? Karena perbuatan tersebut menunjukkan kurangnya antusiasme dalam beribadah. Ia seolah menempatkan shalat di prioritas terakhir setelah semua urusan dunia selesai. Sikap inilah yang tidak disukai. Jika kebiasaan ini terus berlanjut dan disertai dengan perasaan meremehkan, statusnya bisa meningkat dari makruh menjadi dosa.

Sebagai contoh, waktu Ashar berakhir pada pukul 17:30. Seseorang sengaja menundanya dan baru memulai shalat pada pukul 17:25. Shalatnya memang masih sah. Akan tetapi, ia telah kehilangan keutamaan yang sangat besar. Ia juga berisiko terjerumus dalam perbuatan yang dibenci jika hal itu menjadi sebuah kebiasaan.

Kitab Taisirul Khallaq

Saat Penundaan Menemukan Izin: Mengenal Udzur Syar’i

Di sisi lain, Islam adalah agama yang penuh pemahaman. Syariat mengakui bahwa manusia terkadang berada dalam kondisi yang tidak ideal. Oleh karena itu, ada beberapa situasi di mana menunda shalat justru boleh, bahkan menjadi anjuran. Kita mengenal kondisi ini dengan istilah udzur syar’i atau halangan yang masih benar.

Beberapa contoh udzur syar’i tersebut antara lain:

  • Menunggu Jamaah: Seseorang yang menjadi imam boleh sedikit menunda shalat. Tujuannya untuk menunggu kedatangan jamaah yang lebih banyak. Dalam kasus ini, menunda demi meraih pahala jamaah lebih utama.

  • Dalam Perjalanan (Safar): Seorang musafir mendapatkan keringanan untuk menjamak shalat. Misalnya, shalat Zuhur diakhirkan untuk digabung dengan shalat Ashar di awal waktu. Ini adalah bentuk penundaan yang disyariatkan.

  • Kondisi Mendesak: Seseorang mungkin terhalang oleh situasi darurat. Contohnya, seorang dokter yang sedang melakukan operasi. Atau seorang pemadam kebakaran yang tengah berjuang memadamkan api. Dalam situasi ini, menunda shalat hingga urusan darurat selesai adalah hal yang masih benar.

    Tidak Shalat Jum’at Karena Hujan; Apa Hukumnya?

  • Menghilangkan Penghalang: Misalnya, saat waktu shalat tiba, seseorang sedang menahan buang air. Dalam kondisi ini, lebih baik ia menyelesaikan hajatnya terlebih dahulu. Kemudian, ia berwudhu dengan tenang dan shalat dengan khusyuk, meskipun sedikit tertunda. Shalat khusyuk di akhir waktu lebih baik daripada shalat tergesa-gesa di awal waktu.

Ketika penundaan didasari oleh alasan-alasan di atas, maka perbuatan itu tidak tercela. Ia justru menunjukkan pemahaman fiqih yang baik.

Garis Merah: Ancaman Keras bagi yang Melalaikan Shalat

Syariat memang memberikan toleransi. Namun, ia juga memberikan peringatan yang sangat keras. Peringatan ini untuk mereka yang menjadikan penundaan shalat sebagai kebiasaan. Apalagi jika penundaan itu berujung pada terlewatnya waktu shalat. Allah SWT mengecam perbuatan ini dalam Al-Qur’an.

Allah SWT berfirman:

“Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.”
(QS. Al-Ma’un: 4–5)

Para ahli tafsir menjelaskan makna “lalai dari shalatnya” dalam ayat ini. Salah satu maknanya adalah orang yang secara konsisten mengakhirkan shalat dari waktunya. Mereka melakukannya hingga waktu shalat hampir habis. Sikap ini adalah bentuk kelalaian yang diancam dengan kecelakaan (wail).

Dalam ayat lain, kecaman tersebut sangat tegas. Allah berfirman tentang generasi yang buruk:

“Maka datanglah setelah mereka pengganti (yang) menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.”
(QS. Maryam: 59)

Menyia-nyiakan shalat di sini sering kali berhubungan dengan menunda-nundanya. Perbuatan ini  sebagai akibat dari memperturutkan hawa nafsu. Ancaman “menemui kesesatan” menjadi peringatan yang sangat jelas bagi kita semua.

Bagi saya pribadi, isu waktu shalat ini adalah sebuah refleksi yang sangat dalam. Ia bukan sekadar persoalan fiqih tentang sah atau tidak sah. Lebih dari itu, cara kita memperlakukan panggilan azan adalah cerminan dari apa yang kita anggap penting dalam hidup. Ia adalah barometer iman kita.

Ketika azan berkumandang dan kita langsung bergegas, kita seolah berkata, “Ya Allah, panggilan-Mu adalah prioritasku.” Sebaliknya, ketika kita terus menunda dengan alasan sepele, kita secara tidak sadar sedang mengkomunikasikan hal lain. Kita seolah berkata bahwa urusan dunia ini lebih mendesak daripada menghadap-Nya. Tentu ini adalah sebuah muhasabah atau introspeksi yang tajam bagi kita. Di tengah dunia yang menuntut kecepatan, mampukah kita “mengerem” sejenak demi memenuhi panggilan Sang Pencipta? Jawabannya ada di dalam hati dan tindakan kita masing-masing.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement