SURAU.CO – Coba kita bayangkan sebuah skenario yang umum terjadi. Ibu meminta kita membeli sesuatu di warung, atau ayah meminta bantuan untuk memindahkan barang. Seketika, tanpa kita sadari, meluncur sebuah keluhan kecil dari mulut. Mungkin itu hanya desahan napas, atau gumaman “ahh…” yang lirih. Perilaku ini barangkali terasa sepele. Namun, dalam pandangan Islam, hal tersebut merupakan persoalan yang sangat fundamental.
Berbakti kepada kedua orang tua, atau birrul walidain, merupakan salah satu pilar utama dalam ajaran Islam. Allah menempatkan kedudukannya sangat tinggi, persis setelah perintah untuk menyembah-Nya. Oleh karena itu, kita wajib menjaga adab kepada mereka, bukan sekadar anjuran. Titik awal dari semua adab ini bermula dari lisan yang kita gunakan.
Allah SWT menegaskan hal ini dalam firman-Nya:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra’: 23).
Ayat ini adalah fondasi yang kokoh. Selanjutnya, mari kita bedah maknanya lebih dalam.
Makna di Balik Larangan Berkata “Uff” atau “Ah”
Kata “uff” (atau “ah” dalam konteks kita) melambangkan tingkatan terendah dari ekspresi penolakan. Ia menunjukkan perasaan berat hati, enggan, atau tidak suka. Para ulama tafsir menjelaskan, jika Allah melarang kata yang paling ringan sekalipun, maka Dia tentu melarang perbuatan yang lebih kasar dari itu.
Dengan kata lain, membentak, menghardik, apalagi berkata kasar adalah dosa yang jauh lebih besar. Larangan ini sejatinya tidak hanya tentang bunyi “ah”. Justru, ia mencakup semua bahasa tubuh dan sikap yang menunjukkan rasa tidak hormat. Misalnya, menggulingkan mata, menghela napas kasar, atau menghentakkan kaki menjadi bentuk modern dari “uff” yang harus kita hindari.
Alasan di Balik Penekanan yang Kuat
Lantas, mengapa Islam begitu tegas dalam hal ini? Ketegasan ini muncul karena Islam sangat mengakui jasa orang tua yang tak terhingga. Ibu telah mengandung kita dengan susah payah dan mempertaruhkan nyawanya saat melahirkan. Sementara itu, ayah bekerja keras membanting tulang demi menafkahi keluarga. Keduanya sama-sama mencurahkan seluruh hidup mereka untuk kita.
Jasa mereka mustahil dapat kita balas sepenuhnya. Akibatnya, Islam memandang perbuatan menyakiti hati mereka sebagai bentuk kedurhakaan yang nyata. Ingatlah selalu bahwa ridha Allah bergantung pada ridha keduanya.
Solusi Al-Qur’an: Ucapkanlah Qaulan Karima
Ayat di atas tidak hanya berhenti pada larangan. Sebaliknya, ia juga memberikan solusi yang konstruktif. Setelah melarang berkata “ah”, Allah langsung memerintahkan kita, “…dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia (qaulan karima).“
Apa sebenarnya qaulan karima? Ia adalah tutur kata yang lembut, sopan, penuh hormat, dan menyenangkan hati. Sebagai contoh, saat mereka meminta sesuatu, kita menjawab, “Baik, Bu,” atau “Tentu, Ayah, dengan senang hati.” Kita juga harus menggunakan panggilan terbaik untuk mereka dan merendahkan suara saat berbicara. Inilah wujud nyata dari perkataan yang mulia dalam tindakan.
Lebih dari Ucapan: Tunjukkan Sikap Rendah Hati
Perintah berbuat baik tidak terbatas pada lisan. Lebih jauh lagi, ayat selanjutnya (QS. Al-Isra’: 24) melanjutkan:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil’.”
Frasa “rendahkanlah dirimu” melukiskan sebuah kiasan yang indah. Ia menggambarkan bagaimana seorang anak harus senantiasa bersikap tawadhu’ (rendah hati) di hadapan orang tuanya. Ujian bakti kita yang sesungguhnya datang saat mereka memasuki usia senja, ketika fisik mereka melemah.
Kita mewujudkan sikap ini dengan melayani mereka secara proaktif. Misalnya, bantu mereka tanpa diminta dan penuhi kebutuhan mereka sebelum mereka mengatakannya. Di atas semua itu, tunjukkanlah raut wajah yang ceria di hadapan mereka, sekalipun kita sedang merasa lelah.
Puncak Ketaatan: Panjatkan Doa yang Tulus
Pada akhirnya, puncak dari birrul walidain mengerucut pada doa. Allah menutup rangkaian perintah ini dengan mengajarkan sebuah doa agung. Doa ini menjadi pengakuan tulus kita atas segala jasa mereka. Ia adalah harapan agar Allah membalas kasih sayang mereka dengan rahmat-Nya yang tak terbatas.
Mendoakan orang tua adalah bentuk bakti yang tak lekang oleh waktu. Kita bisa memanjatkan doa ini setiap saat, terutama setelah shalat. Bahkan, bakti ini terus mengalirkan pahala hingga mereka wafat.
Oleh karena itu, menjaga lisan dari ucapan “ah” adalah langkah pertama yang fundamental. Langkah ini membuka gerbang bagi amalan bakti lainnya yang lebih besar. Mari kita jadikan setiap interaksi dengan orang tua sebagai ladang pahala, bukan sebagai sumber dosa dan penyesalan di kemudian hari.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
