Doa
Beranda » Berita » Kapan Sebenarnya Kita Membaca Qunut dalam Shalat Subuh?

Kapan Sebenarnya Kita Membaca Qunut dalam Shalat Subuh?

Seorang Penyanyi yang Bertaubat

SURAU.CO – Shalat adalah dialog intim seorang hamba dengan Tuhannya. Setiap gerakannya sarat makna. Setiap bacaannya adalah untaian doa. Di antara rangkaian ibadah shalat, ada satu amalan yang sering menjadi bahan diskusi. Amalan tersebut adalah doa Qunut dalam shalat Subuh. Mungkin Anda pernah shalat di sebuah masjid. Sang imam mengangkat tangan setelah ruku’ pada rakaat kedua. Ia melantunkan doa Qunut dengan khusyuk. Namun, di masjid lain, Anda mungkin menemukan imam langsung sujud setelah i’tidal. Keduanya sama-sama shalat Subuh. Lantas, manakah yang benar?

Kapan Sebenarnya Kita Membaca Qunut dalam Shalat Subuh?

Pertanyaan ini sangat wajar muncul. Kapan sebenarnya kita harus membaca doa Qunut dalam shalat Subuh? Apakah ia merupakan sebuah kewajiban? Ataukah ia hanya dianjurkan pada waktu-waktu tertentu saja? Perbedaan praktik ini bukanlah hal baru. Ia telah menjadi bagian dari khazanah fiqih Islam selama berabad-abad. Oleh karena itu, mari kita bedah persoalan ini secara mendalam. Kita akan melihatnya dari berbagai sudut pandang mazhab berdasarkan dalil yang ada.

Memahami Makna dan Esensi Doa Qunut

Sebelum masuk ke perdebatan hukum, kita perlu memahami esensinya. Kata “Qunut” berasal dari bahasa Arab. Ia memiliki beberapa makna yang saling berkaitan. Makna tersebut antara lain tunduk, patuh, khusyuk, atau berdiri lama untuk berdoa. Dalam konteks shalat, Qunut adalah doa khusus. Seseorang membacanya dalam posisi berdiri setelah bangkit dari ruku’ (i’tidal). Tepatnya, pada rakaat terakhir sebelum melakukan sujud pertama.

Secara umum, para ulama mengenali beberapa jenis Qunut. Ada Qunut Witir yang dibaca pada rakaat terakhir shalat Witir. Ada pula Qunut Nazilah, yaitu Qunut yang dibaca ketika umat Islam ditimpa musibah besar. Misalnya seperti bencana alam, wabah penyakit, atau penindasan. Nah, yang menjadi titik diskusi adalah Qunut yang dibaca secara rutin setiap shalat Subuh.

Akar Perbedaan Pendapat: Menelisik Status Hadis

Pangkal dari perbedaan pandangan para ulama terletak pada penafsiran dalil. Ada beberapa hadis yang membahas praktik Qunut yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Hadis yang menjadi sandaran utama bagi kalangan yang rutin membaca Qunut Subuh adalah sebagai berikut:

Rezeki Yang Berlimpah

“Rasulullah ﷺ senantiasa membaca Qunut pada shalat Subuh sampai beliau wafat.”
(HR. Ahmad, al-Baihaqi, dan lainnya)

Hadis yang diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik ini menjadi pilar bagi Mazhab Syafi’i. Mereka yang mengamalkannya meyakini hadis ini berstatus hasan (baik). Oleh karena itu, ia bisa dijadikan sebagai landasan amalan sunnah. Praktik yang “senantiasa” dilakukan hingga wafat menunjukkan adanya sebuah rutinitas.

Namun, di sisi lain, ada ulama yang memiliki pandangan berbeda. Mereka menilai status hadis tersebut. Sebagian menganggapnya dha’if (lemah) dari sisi sanad (rantai perawi). Sebagian lain berpendapat bahwa yang dimaksud “Qunut” dalam hadis tersebut adalah Qunut Nazilah. Artinya, Nabi melakukannya karena ada sebab tertentu, bukan sebagai amalan rutin harian. Pandangan inilah yang kemudian menjadi dasar bagi mazhab-mazhab lain.

Pandangan Komprehensif dari Empat Mazhab Besar

Perbedaan dalam memahami dalil ini melahirkan pandangan yang beragam di kalangan empat mazhab fiqih. Mari kita telaah satu per satu.

1. Mazhab Syafi’i: Sunnah yang Dianjurkan Setiap Hari

Bagi para pengikut Mazhab Syafi’i, hukum membaca Qunut Subuh adalah sunnah mu’akkadah (sunnah yang sangat dianjurkan). Ini adalah pandangan yang paling populer di Indonesia. Mereka berpegang teguh pada hadis riwayat Anas di atas. Menurut mereka, Qunut dibaca setiap hari pada rakaat kedua shalat Subuh, yaitu setelah bangkit dari ruku’. Jika seorang imam atau orang yang shalat sendiri lupa membacanya, maka dianjurkan untuk melakukan sujud sahwi sebelum salam.

Kumpulan Doa Agar Lancar Ujian Sekolah dan Mendapat Nilai Terbaik

2. Mazhab Hanafi: Tidak Ada Qunut dalam Shalat Subuh

Mazhab Hanafi memiliki pandangan yang berbeda secara diametral. Menurut mereka, tidak ada Qunut dalam shalat Subuh. Praktik Qunut hanya disyariatkan dalam shalat Witir saja. Mereka berpendapat bahwa hadis tentang Qunut Subuh telah mansukh (hukumnya telah terhapus) oleh hadis lain yang menyatakan Nabi meninggalkannya.

3. Mazhab Hanbali: Hanya Saat Terjadi Bencana (Qunut Nazilah)

Pandangan Mazhab Hanbali mirip dengan Mazhab Hanafi terkait Qunut Subuh. Mereka tidak menyunnahkannya sebagai amalan rutin. Namun, mereka sangat menganjurkan Qunut Nazilah. Jika umat Islam sedang menghadapi musibah besar, maka disunnahkan bagi imam untuk membaca Qunut. Bisa membaca Qunut ini di semua shalat fardhu, tidak hanya Subuh, sampai musibah tersebut berakhir.

4. Mazhab Maliki: Sunnah, Namun Tidak Rutin dan Dibaca Lirih

Mazhab Maliki mengambil jalan tengah yang unik. Mereka berpendapat bahwa Qunut Subuh hukumnya mandub (sunnah). Akan tetapi, pelaksanaannya tidak dilakukan secara rutin setiap hari. Selain itu, mereka menganjurkan agar doa Qunut dibaca secara lirih (sirr), baik oleh imam maupun oleh orang yang shalat sendirian. Posisi membacanya pun berbeda, yaitu sebelum ruku’, bukan sesudahnya.

Indahnya Pelangi Perbedaan

Melihat ragam pendapat ini, apa yang bisa kita pelajari? Pertama, ini adalah bukti betapa luas dan dinamisnya ilmu fiqih. Para imam mujtahid telah mengerahkan seluruh kemampuan intelektual mereka untuk memahami sunnah. Perbedaan yang muncul bukanlah karena hawa nafsu. Sebaliknya, ia lahir dari kesungguhan dalam ber-ijtihad. Ini adalah rahmat, bukan perpecahan.

Kedua, kita harus menyadari bahwa Qunut Subuh bukanlah rukun shalat. Artinya, meninggalkan atau mengerjakannya tidak membatalkan keabsahan shalat itu sendiri. Fokus utama kita seharusnya tetap pada kekhusyukan dan kesempurnaan rukun serta wajib shalat. Jangan sampai perdebatan soal cabang (furu’) ini melalaikan kita dari pokok (ushul) ibadah.

Tiga Cara Allah Mengabulkan Do’a

Ketiga, perbedaan ini mengajarkan kita tentang toleransi dan kelapangan dada. Ketika kita shalat di belakang imam yang ber-Qunut, maka ikutilah dengan mengaminkan doanya. Sebaliknya, jika imam tidak ber-Qunut, maka ikutilah dengan langsung sujud. Persatuan dalam shalat berjamaah jauh lebih utama daripada mempertahankan pendapat pribadi dalam masalah khilafiyah (perbedaan pendapat).

Lafaz Doa Qunut yang Populer

Berikut adalah teks doa Qunut yang umum, khususnya oleh pengikut Mazhab Syafi’i:

“Allâhumma ihdinî fîman hadayta, wa ‘âfinî fîman ‘âfayta, wa tawallani fîman tawallayta, wa bârik lî fîma a‘thayta, wa qinî sharra mâ qadhayta, fa innaka taqdhi wa lâ yuqdha ‘alayk, innahu lâ yadhillu man wâlayta, tabârakta Rabbanâ wa ta‘âlayta. Lâ manja’a minka illâ ilayk.”

Artinya: “Ya Allah, berilah aku petunjuk sebagaimana orang yang telah Engkau beri petunjuk. Berilah aku perlindungan sebagaimana orang yang Engkau beri perlindungan. Uruslah aku sebagaimana orang yang Engkau urus. Berkahilah aku dalam apa yang Engkau berikan. Lindungilah aku dari keburukan apa yang Engkau takdirkan. Sesungguhnya Engkau yang memutuskan dan tidak ada yang bisa memutuskan atas-Mu. Sungguh tidak akan hina orang yang Engkau bela. Maha Suci Engkau, wahai Tuhan kami, dan Maha Tinggi. Tiada tempat berlindung dari-Mu kecuali kepada-Mu.”


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement