SURAU.CO – Dalam dinamika hubungan antarmanusia, benih-benih cinta bisa tumbuh di mana saja. Terkadang, ia bersemi di lingkungan keluarga terdekat. Perasaan suka antara dua orang saudara sepupu bukanlah hal yang aneh. Fenomena ini sering terjadi dalam banyak budaya di seluruh dunia. Namun, ketika perasaan itu muncul, sering kali ia diiringi oleh keraguan. Muncul pertanyaan mendasar tentang kebolehannya. Bolehkah menikahi saudara sepupu menurut ajaran Islam? Apakah ada larangan atau batasan syariat yang harus diperhatikan?
Pertanyaan ini sangat penting untuk dijawab dengan landasan yang kokoh. Hal ini karena pernikahan adalah sebuah ikatan suci (mitsaqan ghalizha). Ia tidak hanya menyatukan dua individu, tetapi juga dua keluarga besar. Islam, sebagai agama yang paripurna, telah memberikan panduan yang sangat jelas dan terperinci. Mari kita telusuri bersama hukum menikahi saudara sepupu berdasarkan Al-Qur’an, hadis, dan pandangan para ulama.
Emang Boleh Menikahi Saudara Sepupu?
Persoalan ini menunjukkan betapa indahnya keseimbangan dalam syariat Islam. Di satu sisi, Islam memberikan aturan hukum yang jelas dan pasti (halal). Ini memberikan ketenangan dan menghapus keraguan. Di sisi lain, Islam juga memberikan ruang bagi akal dan ilmu pengetahuan untuk berperan. Mendorong pemeriksaan medis adalah bukti bahwa Islam tidak anti-sains. Justru, Islam menyuruh kita menggunakan akal untuk meraih kebaikan.
Selain itu, kebolehan menikahi sepupu juga memiliki hikmah sosial. Dalam banyak budaya, hal ini bertujuan untuk mempererat ikatan kekeluargaan yang sudah ada. Ia menjaga keutuhan harta keluarga dan memastikan calon pasangan memiliki latar belakang yang sudah dikenal baik. Namun, kita juga harus bijak. Kita perlu menimbang apakah pernikahan ini akan membawa lebih banyak maslahat atau justru potensi konflik di kemudian hari. Komunikasi dan keterbukaan menjadi kunci utamanya.
Memahami Definisi dan Posisi Saudara Sepupu
Sebelum melangkah lebih jauh, kita perlu menyamakan persepsi. Siapakah yang dimaksud dengan saudara sepupu? Secara sederhana, saudara sepupu adalah anak dari paman atau bibi kita. Mereka adalah keturunan dari saudara kandung ayah atau ibu kita. Relasi ini terbagi menjadi:
-
Sepupu dari pihak ayah: Anak dari saudara laki-laki atau perempuan ayah.
-
Sepupu dari pihak ibu: Anak dari saudara laki-laki atau perempuan ibu.
Dalam struktur keluarga Islam, posisi mereka sangat jelas. Saudara sepupu termasuk dalam kerabat dekat. Akan tetapi, mereka tidak termasuk dalam kategori mahram. Mahram adalah orang-orang yang haram untuk dinikahi selamanya. Misalnya seperti ibu, anak perempuan, saudara perempuan, bibi, dan keponakan. Karena sepupu tidak termasuk mahram, maka pintu pernikahan secara prinsip terbuka.
Dalil Tegas dari Al-Qur’an yang Menghalalkan
Landasan utama mengenai kebolehan menikahi sepupu datang langsung dari firman Allah SWT. Al-Qur’an secara eksplisit menyebutkan siapa saja perempuan yang halal untuk dinikahi. Dalam daftar tersebut, nama anak paman dan bibi disebutkan dengan sangat jelas. Allah berfirman:
“Dan (di antara perempuan yang dihalalkan bagimu untuk dinikahi adalah) anak-anak perempuan dari pamanmu (saudara laki-laki ayahmu), anak-anak perempuan dari bibimu (saudara perempuan ayahmu), anak-anak perempuan dari pamanmu (saudara laki-laki ibumu), dan anak-anak perempuan dari bibimu (saudara perempuan ibumu)…”
(QS. Al-Ahzab: 50)
Ayat ini tidak menyisakan ruang untuk keraguan. Ia menjadi dalil yang sangat kuat (qath’i) bahwa menikahi sepupu adalah halal. Penyebutan yang rinci ini menunjukkan bahwa syariat memang memperbolehkannya. Bahkan, Nabi Muhammad ﷺ sendiri memberikan contoh nyata. Beliau menikahi Zainab binti Jahsy, yang merupakan anak dari bibi beliau. Dengan demikian, praktik ini memiliki landasan dari Al-Qur’an sekaligus sunnah fi’liyah (perbuatan) Nabi.
Kesepakatan Mutlak Para Ulama (Ijma’)
Berlandaskan dalil Al-Qur’an dan sunnah tersebut, para ulama dari empat mazhab besar (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) mencapai sebuah kesepakatan. Mereka ber-ijma’ bahwa hukum menikahi saudara sepupu adalah halal. Tidak ada seorang pun ulama muktabar yang mengharamkannya.
Konsensus ini berlaku mutlak. Artinya, kehalalan ini berlaku selama tidak ada faktor penghalang lain. Faktor penghalang tersebut misalnya:
-
Adanya hubungan persusuan (menjadi saudara sepersusuan).
-
Perbedaan agama (wanita Muslimah tidak boleh menikah dengan pria non-Muslim).
-
Calon mempelai wanita masih dalam masa iddah.
Selama tidak ada penghalang-penghalang tersebut, maka pernikahan antara sepupu sah secara syariat.
Menimbang Aspek Medis dan Sosial: Perspektif Maslahat
Meskipun syariat Islam secara tegas menghalalkannya, bukan berarti kita boleh menutup mata terhadap pertimbangan lain. Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi kemaslahatan (kebaikan) dan menolak kemudharatan (keburukan). Dalam konteks pernikahan sepupu, ada aspek medis yang perlu menjadi perhatian di zaman modern.
Para ahli kesehatan menunjukkan adanya peningkatan risiko penyakit genetik tertentu pada keturunan dari pernikahan kerabat dekat. Ini bukan berarti setiap pernikahan sepupu pasti menghasilkan anak yang cacat. Namun, risikonya secara statistik lebih tinggi jika ada riwayat penyakit keturunan dalam silsilah keluarga.
Sikap Islam dalam hal ini sangat bijaksana. Islam tidak lantas mengharamkannya. Sebaliknya, Islam mendorong umatnya untuk mengambil langkah pencegahan. Hal ini sejalan dengan kaidah fiqih yang diambil dari hadis Nabi ﷺ:
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain.”
(HR. Ibnu Majah)
Berdasarkan prinsip ini, melakukan pemeriksaan kesehatan pranikah (pre-marital screening) menjadi sangat dianjurkan. Tindakan ini adalah bentuk ikhtiar (usaha) untuk memastikan kesehatan generasi penerus. Ini bukanlah bentuk menentang takdir. Sebaliknya, ini adalah wujud tanggung jawab dan penerapan ilmu pengetahuan untuk mencapai tujuan mulia pernikahan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
