SURAU.CO – Hari Jumat memiliki kedudukan istimewa dalam Islam. Ia adalah sayyidul ayyam atau penghulu segala hari. Pada hari ini, Allah SWT mewajibkan sebuah ibadah agung. Ibadah tersebut adalah shalat Jumat. Ia menjadi penanda mingguan bagi keimanan seorang Muslim. Kewajiban ini secara khusus ditujukan kepada setiap laki-laki. Syaratnya adalah baligh, berakal, merdeka, dan tidak sedang dalam perjalanan jauh (bermukim). Namun, di tengah kesibukan modern, sebagian orang mungkin meremehkannya. Muncul pertanyaan krusial yang menuntut jawaban tegas. Bagaimana hukumnya jika seorang laki-laki meninggalkan shalat Jumat? Terlebih lagi, jika ia melakukannya selama tiga kali berturut-turut tanpa alasan yang dibenarkan syariat.
Masalah ini bukan sekadar pelanggaran ritual biasa. Sebaliknya, ia menyentuh inti dari ketaatan dan kepatuhan seorang hamba. Islam telah memberikan peringatan yang sangat keras terkait hal ini. Oleh karena itu, mari kita bedah bersama landasan hukum, ancaman, serta hikmah di baliknya. Pemahaman ini sangat penting untuk menjaga api iman kita agar tidak padam.
Menggali Ancaman Serius di Balik Meninggalkan Shalat Jumat Tiga Kali Berturut-turut
Ancaman “hati yang terkunci” sesungguhnya adalah sebuah mekanisme kasih sayang dari Allah. Itu adalah alarm darurat yang berbunyi ketika iman kita berada di titik kritis. Sebelum hati benar-benar mati, Allah memberikan peringatan keras ini agar kita segera sadar. Ini adalah kesempatan untuk introspeksi diri. Mengapa saya mulai meremehkan panggilan-Nya? Apakah dunia sudah begitu membutakan saya?
Selain itu, shalat Jumat bukan sekadar ritual penggugur kewajiban. Ia adalah detak jantung komunal umat Islam. Di sanalah kita merasakan persaudaraan, mendengarkan wejangan iman, dan memperbarui komitmen kita secara berjamaah. Meninggalkannya berarti memisahkan diri dari denyut nadi komunitas. Secara perlahan, seseorang akan merasa terasing dari agamanya sendiri.
Landasan Kewajiban yang Tidak Bisa Ditawar
Kewajiban shalat Jumat bukanlah hasil ijtihad ulama. Sebaliknya, perintahnya datang langsung dari Allah SWT. Hal ini termaktub dengan sangat jelas di dalam Al-Qur’an. Allah berfirman dalam kitab suci-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
(QS. Al-Jumu’ah: 9)
Ayat ini mengandung perintah yang sangat lugas. Kata “bersegeralah” menunjukkan adanya penekanan yang kuat. Ia bukan sekadar ajakan, melainkan panggilan yang harus diprioritaskan. Kemudian, perintah “tinggalkanlah jual beli” menjadi bukti nyata. Aktivitas duniawi, sepenting apa pun, harus dihentikan sejenak. Semua itu demi memenuhi panggilan Allah. Ini adalah bukti bahwa shalat Jumat memiliki kedudukan yang jauh lebih tinggi daripada keuntungan materi sesaat.
Ancaman Mengerikan: Ketika Hati Mulai Dikunci
Peringatan menjadi jauh lebih serius ketika kita merujuk pada hadis-hadis Nabi Muhammad ﷺ. Rasulullah ﷺ tidak main-main dalam menyikapi perbuatan meninggalkan shalat Jumat. Beliau memberikan ancaman yang seharusnya membuat setiap Muslim bergetar. Dalam sebuah hadis yang shahih, beliau bersabda:
“Barangsiapa yang meninggalkan shalat Jumat tiga kali berturut-turut karena meremehkannya, maka Allah akan mengunci hatinya.”
(HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan An-Nasa’i. Hadis hasan shahih)
Ancaman “Allah akan mengunci hatinya” (thubi’a ‘ala qalbihi) bukanlah metafora biasa. Ini adalah sebuah malapetaka spiritual. Hati yang terkunci akan kehilangan sensitivitasnya terhadap kebenaran. Nasihat baik akan terasa hambar. Lantunan ayat suci tidak lagi mampu menggetarkan jiwa. Cahaya iman perlahan meredup. Akibatnya, ia akan semakin sulit untuk menerima petunjuk dan mudah terjerumus ke dalam kemaksiatan yang lebih besar.
Dalam riwayat lain, ancamannya bahkan lebih spesifik. Rasulullah ﷺ mengaitkan perbuatan ini dengan sifat kemunafikan.
“Siapa yang meninggalkan tiga kali Jumat tanpa uzur, maka dia termasuk orang munafik.”
(HR. Thabrani)
Menjadi seorang munafik adalah status yang sangat berbahaya. Mereka adalah orang yang menampilkan Islam secara lahiriah. Namun, hati mereka kosong dari keimanan yang sejati. Ini adalah penyakit ruhani yang jauh lebih berbahaya daripada dosa yang tampak.
Memahami Uzur Syar’i yang Dibenarkan
Meskipun kewajibannya sangat tegas, Islam adalah agama yang adil dan penuh rahmat. Syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, ada beberapa kondisi yang dianggap sebagai uzur syar’i. Seseorang yang memiliki uzur ini tidak berdosa jika meninggalkan shalat Jumat. Beberapa uzur yang disepakati ulama antara lain:
-
Sakit Parah. Yaitu penyakit yang membuat penderitanya sangat sulit untuk pergi ke masjid atau jika pergi akan memperburuk kondisinya.
-
Musafir. Seseorang yang sedang melakukan perjalanan jauh (safar) sesuai ketentuan fiqih tidak wajib shalat Jumat.
-
Kondisi Cuaca Ekstrem. Misalnya, hujan yang sangat deras, badai, atau panas menyengat yang dapat membahayakan keselamatan.
-
Adanya Rasa Takut. Seperti ketakutan yang nyata akan ancaman terhadap keselamatan jiwa, keluarga, atau hartanya.
Jika seseorang tidak hadir karena salah satu uzur di atas, ia tidak berdosa. Akan tetapi, ia tetap wajib mengganti shalat tersebut dengan melaksanakan shalat Dzuhur empat rakaat.
Di era modern yang serba cepat ini, menjaga shalat Jumat adalah sebuah jihad. Jihad melawan kemalasan, jihad melawan godaan materi, dan jihad untuk membuktikan bahwa Allah adalah prioritas utama kita. Ia adalah ‘tombol reset’ mingguan yang membersihkan kita dari hiruk pikuk dunia selama sepekan. Lalu, bagaimana jika meninggalkan shalat Jumat tanpa halangan seperti penjelasan di atas?
Hukum Meninggalkannya Tanpa Uzur: Sebuah Dosa Besar
Apabila seorang laki-laki meninggalkan shalat Jumat tiga kali berturut-turut tanpa memiliki uzur syar’i, para ulama sepakat bahwa ia telah melakukan dosa besar. Kunci dari hadis ancaman di atas adalah frasa “karena meremehkannya” (tahawunan biha). Ini menunjukkan bahwa masalah utamanya terletak pada sikap hati.
Sikap meremehkan perintah Allah adalah bentuk kesombongan spiritual. Ini adalah tanda bahwa urusan dunia telah lebih mendominasi hatinya daripada panggilan akhirat. Beberapa ulama bahkan memberikan pandangan yang sangat keras. Mereka menyebut bahwa tindakan yang beriringan dengan pengingkaran terhadap kewajiban shalat Jumat bisa menyeret pelakunya keluar dari Islam. Namun, mayoritas ulama berpendapat bahwa selama ia masih meyakini kewajibannya, ia masih seorang Muslim, tetapi telah terjerumus dalam dosa yang sangat besar.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
