SURAU.CO – Menjadi ibu rumah tangga seringkali digambarkan sebagai peran yang mulia. Masyarakat memandangnya sebagai pengabdian total untuk keluarga. Namun, di balik citra ideal tersebut, tersembunyi realitas yang kompleks. Banyak perempuan mengalami beban mental ibu rumah tangga yang berat. Mereka menghadapi tekanan psikologis akibat rutinitas tanpa henti dan minimnya apresiasi. Kondisi ini menuntut kita melihat lebih dalam, salah satunya melalui kacamata Fiqh Sosial.
Fiqh Sosial menawarkan perspektif yang adil dan manusiawi. Ia tidak hanya mengatur ibadah ritual, tetapi juga relasi sosial yang sehat. Pendekatan ini relevan untuk memahami dinamika dalam rumah tangga modern. Dengan demikian, Fiqh Sosial membantu mengurai akar masalah dan memberikan solusi yang mencerahkan.
Realitas Tak Terlihat di Balik Dinding Rumah
Pekerjaan domestik memiliki karakteristik yang unik. Ia bersifat repetitif, tanpa jam kerja pasti, dan seringkali tidak terlihat. Seorang ibu rumah tangga melakukan banyak peran sekaligus. Ia menjadi manajer keuangan, juru masak, guru bagi anak-anak, hingga perawat saat ada yang sakit. Semua tugas ini menuntut energi fisik dan mental yang luar biasa.
Akibatnya, banyak dari mereka merasakan kelelahan kronis. Muncul perasaan terisolasi dari dunia luar. Apalagi jika lingkungan, termasuk pasangan, tidak memberikan pengakuan yang layak. Kondisi ini menjadi pemicu stres, kecemasan, bahkan depresi. Beban ini bukanlah hal sepele, melainkan isu kesehatan mental yang serius dan nyata.
Seorang pakar psikologi keluarga menyatakan, “Validasi adalah kunci. Ketika kerja keras seorang ibu rumah tangga tidak divalidasi, ia akan merasa usahanya sia-sia. Perasaan inilah yang secara perlahan menggerogoti kesehatan mentalnya.”
Fiqh Sosial dan Konsep Keadilan dalam Keluarga
Islam, melalui Fiqh Sosial, menempatkan pernikahan sebagai ikatan kemitraan. Prinsip utamanya adalah mu’asyarah bil ma’ruf, yaitu memperlakukan pasangan dengan cara yang baik dan patut. Konsep ini menolak segala bentuk eksploitasi, termasuk membebankan seluruh urusan domestik pada istri.
KH Husein Muhammad, seorang pemikir Islam progresif, sering menekankan hal ini. Beliau menyatakan, “Tugas utama istri adalah menjadi mitra yang menyenangkan bagi suami, begitu pula sebaliknya. Adapun pekerjaan rumah tangga seperti memasak atau mencuci, itu bukan kewajiban tunggal istri dalam fiqh klasik sekalipun.”
Kutipan tersebut menegaskan sebuah fakta penting. Fiqh sesungguhnya tidak membebani istri dengan pekerjaan domestik secara mutlak. Sebaliknya, kewajiban utama suami adalah menafkahi keluarga. Nafkah ini tidak hanya berupa materi. Ia juga mencakup penyediaan tempat tinggal yang layak, makanan yang siap santap, dan ketenangan batin bagi istri.
Mendefinisikan Ulang Peran Suami dan Istri
Dengan perspektif Fiqh Sosial, peran suami menjadi sangat krusial. Suami tidak hanya pencari nafkah. Ia juga mitra yang bertanggung jawab atas kesejahteraan psikologis pasangannya. Oleh karena itu, membantu pekerjaan rumah tangga adalah bagian dari wujud tanggung jawab dan kasih sayang.
Tindakan ini bukanlah sekadar “bantuan”, melainkan sebuah kewajiban bersama. Ketika suami ikut serta dalam mengurus rumah dan anak, ia secara langsung meringankan beban mental istrinya. Selain itu, keterlibatan suami membangun ikatan emosional yang lebih kuat. Keluarga tidak lagi menjadi panggung pengorbanan sepihak, tetapi arena kerja sama yang membahagiakan.
Selanjutnya, komunikasi menjadi jembatan utama. Istri perlu berani menyuarakan apa yang ia rasakan tanpa takut dihakimi. Suami harus menjadi pendengar yang aktif dan empatik. Dialog terbuka tentang pembagian peran dapat mencegah akumulasi kekecewaan yang berujung pada masalah mental.
Langkah Praktis Menuju Keluarga yang Suportif
Mewujudkan keluarga yang adil membutuhkan langkah konkret. Pertama, suami dan istri perlu duduk bersama. Mereka bisa membuat jadwal pembagian tugas yang realistis. Kedua, penting bagi suami untuk memastikan istrinya memiliki “me time” atau waktu untuk dirinya sendiri. Waktu ini sangat berharga untuk memulihkan energi dan menjaga kewarasan.
Selain itu, Fiqh Sosial juga membuka ruang bagi solusi lain. Jika suami memiliki kelapangan rezeki, menyediakan asisten rumah tangga adalah pilihan yang sangat dianjurkan. Hal ini sejalan dengan konsep nafkah yang utuh, yaitu memberikan kenyamanan bagi istri.
Pada akhirnya, memahami beban mental ibu rumah tangga dari sudut pandang Fiqh Sosial membawa kita pada kesimpulan penting. Keluarga Sakinah yang dicita-citakan bukanlah keluarga di mana istri menanggung semuanya sendiri. Sebaliknya, ia adalah rumah yang dibangun di atas pilar keadilan, saling pengertian, dan kerja sama. Dengan demikian, kesehatan mental setiap anggota keluarga, terutama sang ibu, dapat terjaga dengan baik.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
