Opinion
Beranda » Berita » Transformasi Budaya Kritik dalam Islam: Dari Naskah Klasik ke Media Sosial

Transformasi Budaya Kritik dalam Islam: Dari Naskah Klasik ke Media Sosial

Ilustrasi Budaya Kritik dalam Islam

SURAU.CO – Budaya kritik memiliki akar yang sangat kuat dalam sejarah peradaban Islam. Tradisi ini bukanlah sekadar aktivitas mencari kesalahan. Sebaliknya, ia menjadi pilar penting dalam pengembangan khazanah intelektual. Para ulama masa lalu tidak mudah menerima sebuah gagasan. Mereka melakukan uji sahih yang sangat ketat terhadap setiap pemikiran baru. Namun, seiring pergeseran zaman ke era media sosial, lanskap budaya kritik Islam mengalami transformasi signifikan yang memunculkan peluang sekaligus tantangan baru.

Akar Tradisi Kritik dalam Intelektual Islam Klasik

Dalam sejarahnya, tradisi kritik merupakan fenomena yang lazim dan berkembang pesat di dunia Islam. Kondisi ini membangun fondasi sikap kehati-hatian bagi ilmuwan Muslim dalam menulis dan menyampaikan gagasan. Para ilmuwan harus mendasari setiap pemikiran dengan dalil serta argumentasi yang kokoh. Mereka juga senantiasa menjunjung tinggi etika akademik dalam setiap perdebatan. Oleh karena itu, dialog, diskusi, dan korespondensi menjadi pemandangan umum yang menunjukkan tingginya kesadaran intelektual kala itu.

Sebagai contoh, perdebatan antara Ibnu Sina dan Al-Biruni mencakup berbagai disiplin ilmu. Mereka beradu argumen tentang astronomi, fisika, hingga filsafat. Al-Biruni, misalnya, secara tajam mengkritik beberapa doktrin fisika Aristotelian yang Ibnu Sina dukung. Sementara, tokoh seperti Abu Bakar ar-Razi menulis “asy-Syukuk ‘ala Jalinus” (Keraguan Atas Galen). Karya ini berisi kritik mendalam terhadap pemikiran Galen, seorang tokoh kedokteran Yunani. Kemudian, Ibnu al-Haitsam melanjutkan tradisi ini dengan mengkritik karya-karya besar Ptolemeus.

Tradisi tersebut menunjukkan bahwa tujuan utama kritik adalah mengungkap kebenaran ilmiah yang sejati. Semangat kritisisme ini berkorelasi erat dengan etika dan pertanggungjawaban ilmiah. Para ilmuwan Muslim klasik hanya mengkritisi poin yang mereka anggap keliru. Mereka tidak menafikan keseluruhan karya, sebuah etika yang patut kita contoh.

Pergeseran Ruang Kritik ke Media Sosial

Memasuki era digital, ruang diskusi dan kritik bertransformasi secara masif. Kini, media sosial menjadi platform utama dalam penyebaran informasi dan pembentukan opini publik, termasuk dalam wacana keislaman. Platform digital memberikan akses yang lebih luas bagi individu untuk terlibat dalam diskusi. Hal ini menciptakan pertukaran pengetahuan yang lebih dinamis dan cepat melintasi batas negara.

Riyadus Shalihin: Antidot Ampuh Mengobati Fenomena Sick Society di Era Modern

Namun, kemudahan akses ini datang dengan serangkaian tantangan baru. Media sosial memang memiliki potensi besar untuk menyebarkan narasi Islam yang beragam. Akan tetapi, platform ini juga menimbulkan persoalan terkait validitas informasi dan penyebaran ekstremisme. Masyarakat seringkali tidak mengimbangi kecepatan penyebaran informasi dengan proses tabayun (kroscek).

Selain itu, sifat media sosial yang cenderung bebas dapat mengaburkan batasan antara kritik membangun dan cacian. Algoritma media sosial justru memperparah hal ini karena tidak membedakan kritik substantif dari ejekan yang merusak. Akibatnya, kehormatan tokoh agama serta kemurnian ajaran menjadi lebih rentan terhadap serangan yang tidak bertanggung jawab.

Tantangan dan Etika Kritik di Era Digital

Di tengah derasnya arus informasi, menjaga etika dalam menyampaikan kritik menjadi semakin krusial. Ajaran Islam sendiri telah mengatur batasan-batasan dalam berpendapat agar tidak lepas kendali. Umat Islam perlu memperhatikan beberapa etika penting saat beraktivitas di media sosial, antara lain:

  • Menjadikan media sosial sebagai sarana untuk menyebar kebaikan.

  • Setiap pengguna hendaknya menyebar informasi yang bermanfaat dan tidak menimbulkan fitnah.

    Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

  • Melakukan kroscek (tabayun) secara cermat sebelum berpendapat atau menyebar berita.

  • Menggunakan perkataan yang baik, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Isra ayat 53, “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: ‘Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang paling baik (benar)’.”

  • Menyadari bahwa malaikat akan mencatat setiap perbuatan di media sosial untuk pertanggungjawaban di akhirat.

Tantangan lain muncul saat sebagian pihak mengubah nilai-nilai luhur agama menjadi objek konsumsi. Terkadang, para pendakwah dan pegiat diskusi keislaman terjebak dalam logika pasar media sosial. Mereka lebih mengutamakan popularitas dan keuntungan finansial daripada substansi ajaran yang luhur.

Membangun Kembali Budaya Kritik yang Konstruktif

Untuk menghadapi tantangan zaman, umat Islam perlu merevitalisasi budaya kritik yang sehat dan membangun. Dalam hal ini, lembaga pendidikan Islam, dari madrasah hingga perguruan tinggi, memegang peran vital. Institusi ini harus menanamkan nalar kritis kepada generasi muda. Proses pembelajaran tidak seharusnya hanya berfokus pada aspek normatif, tetapi juga harus mampu mengembangkan potensi akal dan daya kritis peserta didik.

Generasi Sandwich dan Birrul Walidain: Mengurai Dilema dengan Solusi Langit

Transformasi pendidikan Islam di era digital menuntut adanya integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum. Pemanfaatan teknologi secara bijak juga menjadi sebuah keharusan. Tujuan utamanya adalah mencetak generasi yang cerdas secara intelektual, memiliki karakter moral kokoh, serta mampu berpikir kritis.

Pada akhirnya, setiap individu harus mengimbangi kebebasan berpendapat di media sosial dengan tanggung jawab dan etika. Dengan kembali pada semangat intelektualisme para ulama klasik, budaya kritik dalam Islam dapat terus berkembang secara positif dan memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan peradaban.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement