SURAU.CO. Masjid Raya Bingkudu adalah salah satu masjid tua kebanggaan masyarakat Minangkabau. Masjid ini sering juga disebut Masjid Jamik Bingkudu, terletak di Jorong Bingkudu Nagari (Desa) Canduang Koto Laweh Kabupaten Agam Sumatera Barat. Lareh Canduang yang bergelar Inyiak Basa (Haji Salam) memprakarsai pendirian Masjid Jamik Bingkudu. Kemudian dibangun oleh tokoh-tokoh dari tujuh nagari yaitu nagari Canduang, Koto Laweh, Lasi Tuo, Lasi Mudo, Pasanehan, Bukik, dan Batabuah. Sekarang ketujuh nagari ini menjadi tiga nagari saja di Kecamatan Canduang yaitu nagari Canduang Koto Laweh, Nagari Lasi dan Nagari Bukik Batabuah. Mereka mendirikan masjid dengan arsitektur khas Minangkabau pada abad ke-18, tepatnya pada tahun 1813.
Orang-orang tua di sekitar Masjid menceritakan bahwa masyarakat sekitar melakukan pembangunan masjid ini dengan semangat gotong royong. Pada awalnya semua bagian masjid ini terbuat dari bahan kayu, mulai dari lantai, tiang dan dinding. Masyarakat secara bergotong royong membawa kayu untuk tiang utama masjid dari Bayuah, Kenagarian Tanjuang Alam, melalui jalur Koto Tinggi hingga akhirnya tiba di Masjid Bingkudu. Jalur pengangkutan tiang masjid inilah yang menjadi pembuka jalan antara Batu Sangkar Kabupaten Tanah Datar dengan Baso Kabupaten Agam sampai sekarang.
Arsitektur Masjid Bingkudu
Masjid dengan luas 21×21 M dan tinggi 26 meter terletak diatas tanah dengan luas 60×60 meter. Masjid ini memiliki kolong setinggi 1,5 meter seperti Rumah Gadang di Minangkabau. Atap masjid dari awal dibuat berundak tiga terbuat dari susunan ijuk. Atap yang berundak tiga menggambarkan peran kepemimpinan di Minangkabau tungku tigo sajarangan yaitu alim ulama, cerdik pandai, dan ninik mamak. Pada saat didirikan, pembangunan masjid ini tidak satupun menggunakan paku, tetapi di bangun dengan sistem pasak.
Masjid Bingkudu di topang oleh banyak tiang. Di dalam ruang utama masjid terdapat 25 buah tiang. Tiang utama terletak di tengah-tengah ruang utama masjid berbentuk segi 12 dan berdiameter 1,25 meter. Di sekililing tiang utama terdapat 24 buah tiang berbentuk segi 16 yang diameternya berukuran antara 20–45 cm.
Pada bagian depan ruang utama masjid terdapat mimbar tua berbentuk huruf L. Mereka mendesain mimbar kayu ini dengan dua tangga terpisah: tangga naik menghadap ke depan dan tangga turun mengarah ke samping. Pada bagian kiri dan kanan tangga tersebut terdapat pipi tangga berukir dengan motif sulur-suluran. Pada bagian mahkota mimbar terdapat tulisan 1316 Hijriah, merujuk pada tahun pembuatannya sekitar tahun 1906 M.
Dinding, tiang, serta mimbar masjid diukir dengan ukiran khas Minangkabau. Mulai dari kaluak paku, saluak laka, carano kanso, aka cino saganggang, lumuik anyuik dan lainnya. Ukiran yang umumnya mengadopsi bentuk tumbuhan, memperlihatkan hubungan seorang manusia dengan alam, sehingga melahirkan pepatah minang, alam takambang jadi guru.
Arsitektur masjid terlihat makin unik dengan hiasan lampu minyak yang terpajang pada setiap sudut masjid. Lampu-lampu minyak ini merupakan barang antik yang sudah berumur ratusan tahun.
Pekarangan Masjid
Di pekarangan masjid terdapat sebuah menara dengan tinggi 30 meter. Di atas menara, masyarakat membunyikan cenang (gong) besar untuk menandai waktu sholat dan pada masa sebelum pengeras suara, mereka juga mengumandangkan adzan dari menara tersebut. Menara memiliki tangga untuk naik berbentuk spiral. Masjid ini memiliki sebuah tabuah (beduk) besar yang terletak di dekat jalan menuju menara, sebagaimana masjid tua lainnya.
Di halaman masjid, masyarakat membangun 4 kolam, yaitu 3 kolam ikan dan 1 kolam wudhu yang airnya bersumber dari mata air di tanah Datuak Tan Tuah suku Selayan di Lurah. Dahulu, masyarakat menggunakan bambu sepanjang 175 meter untuk mengalirkan air dari mata air langsung ke dalam kolam. Namun sekarang aliran air ini sudah menggunakan pipa besi.
Di samping masjid terdapat makam Syeh Ahmad Taher, seorang ulama besar Canduang yang meninggal pada tanggal 13 Juli 1962. Beliau adalah sahabat ulama besar Canduang lainnya yaitu Syeh Sulaiman Arrasuli
Pemugaran Masjid
Atap masjid yang semula terbuat dari ijuk mengalami lapuk kena hujan dan panas sepanjang tahun, sehingga pada tahun 1957 masyarakat menggantinya dengan atap seng. Dua tahun setelahnya, msyarakat dan pengurus masjid melakukan renovasi dan pemugaran besar-besaran terhadap bangunan masjid lainnya.
Pemerintah Kabupaten Agam menetapkan Masjid ini sebagai cagar budaya pada tahun 1989. Dua tahun kemudian, atau tepatnya pada tahun 1991, mereka melakukan pemugaran besar-besaran terhadap masjid ini. Mereka mengganti atap seng menjadi ijuk, seperti aslinya saat masjid ini pertama kali dibangun. Kemudian, mereka memperbaiki bagian-bagian yang lapuk dan dicat ulang sesuai dengan warna aslinya.
Masyarakat kemudian melakukan beberapa pemugaran seadanya untuk mempertahankan fungsi masjid sebagai tempat ibadah, meskipun sedikit mengubah keaslian bangunan awal. Namun secara keseluruhan bangunan masjid masih sama dengan asli.
Tradisi Unik
Aktivitas keagamaan tetap berlangsung di Masjid Bingkudu sampai sekarang. Masyarakat menggunakan Masjid Bingkudu tidak hanya untuk aktivitas ibadah dan pendidikan agama, tetapi juga sebagai Kantor Pusat Tim Koordinasi Pemberantasan Kemiskinan Jorong Bingkudu.
Masjid ini menjadi pusat kegiatan ibadah masyarakat dengan pelaksanaan sholat 5 waktu berjamaah dan sholat Jumat secara rutin. Pada setiap kali Ramadhan jumlah masyarakat yang menggunakan Masjid sebagai tempat ibadah meningkat tinggi. Masyarakat melaksanakan sholat tarawih dengan dua metode dalam satu masjid, sebuah tradisi unik di Masjid ini. Dua kelompok jamaah masjid melaksanakan shalat tarawih 11 rakaat dan yang 23 rakaat.
Sejak awal berdirinya masjid, jama’ah masjid Bingkudu melaksanakan shalat Tarawih 23 rakaat. Namun belakangan banyak yang meninggalkan masjid setelah rakaat ke-8 karena mereka melaksanakan shalat witir di rumah masing-masing. Karena banyaknya yang pulang, maka ada ide untuk shalat witir di masjid. Atas kesepakatan pengurus sidang, maka yang shalat delapan menutup shalat dengan witir berimam sedangkan yang shalat 23 rakaat melanjutkan shalatnya sampai usai. Uniknya mereka sering sama-sama usai melaksanakan shalat dan tadarussan bersama pula. (om)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
