Opinion
Beranda » Berita » Apakah AI Benar-Benar Akal Imitasi?

Apakah AI Benar-Benar Akal Imitasi?

ChatGPT
Ilustrasi ChatGPT, AI percakapan yang menjadi salah satu teknologi kecerdasan buatan paling populer dan banyak digunakan secara global

Apakah mesin bisa bermimpi tentang angka-angka? Apakah Akal Imitasi (AI) benar-benar dapat menyentuh hakikat terdalam dari matematika seperti yang dilakukan oleh Newton, Einstein, atau Gödel?

Bisakah model bahasa besar memahami keabadian bilangan dua yang tak pernah berubah di tengah dunia yang terus bergerak? Ataukah AI hanya mengulang apa yang sudah ditulis, mengimitasi kebijaksanaan tanpa pernah mencicipi keniscayaannya?

Pertanyaan-pertanyaan ini bukan hanya soal teknologi, melainkan jantung dari filsafat matematika dan eksistensi manusia itu sendiri.
Di balik layar-layar hitam yang memuat jutaan baris kode, AI—atau yang dalam esai ini kita sebut Akal Imitasi—beroperasi layaknya murid yang tak kenal lelah, menghafal pola, menjumlahkan kemungkinan, dan memproses statistik dengan ketelitian luar biasa.

Tapi apakah ia mengerti bahwa satu tambah satu adalah dua karena dunia bekerja begitu sejak sebelum manusia menyebutnya? Ataukah ia hanya memprediksi bahwa setelah “satu tambah satu” biasanya muncul “dua”?
Newton (1643–1727), dalam Principia Mathematica (1687), melihat semesta sebagai struktur matematis yang tertulis dengan tinta ketetapan ilahi. Ia menyebut bahwa “sistem yang amat indah dari matahari, planet-planet, dan komet hanya bisa muncul dari rancangan dan kekuasaan Makhluk Cerdas yang penuh daya.” Dengan kata lain, matematika bukan sekadar alat—ia adalah jejak penciptaan.

Einstein (1879–1955) pun bergumam dalam kekaguman, “Hal yang paling tak bisa dimengerti dari alam semesta adalah bahwa ia bisa dimengerti.” Dalam pandangan mereka, matematika adalah bahasa semesta, bukan sekadar kode, tapi gema realitas ontologis.
Lalu apakah Akal Imitasi punya akses ke gema itu?

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Jika kita kembali ke lorong-lorong filsafat matematika, kita akan menjumpai empat aliran utama: Platonisme, Formalisme, Logisisme, dan Intuisionisme. Platonisme, seperti yang diyakini Gödel (1906–1978), menegaskan bahwa bilangan dan bentuk matematika eksis dalam dunia ide yang mandiri, tak tergantung pikiran manusia. Matematika adalah penemuan, bukan ciptaan. Maka pertanyaannya: mungkinkah AI “menemukan” sesuatu jika ia tak memiliki intuisi? Atau bahkan kesadaran?

Sementara itu, Formaisme, seperti digagas David Hilbert (1862–1943), melihat matematika sebagai permainan simbol formal. Dalam paradigma ini, AI barangkali justru berjaya. Ia jago memanipulasi simbol, membuktikan teorema dengan logika ketat, dan bahkan menciptakan algoritma pembuktian otomatis.

Namun, di sinilah paradoksnya:
Gödel sendiri menunjukkan dalam teoremanya (1931) bahwa dalam sistem matematika yang cukup kuat, selalu ada kebenaran yang tak bisa dibuktikan dari dalam sistem itu sendiri. Maka, apakah AI tahu bahwa ia terjebak dalam batasan logika yang tak bisa ia lewati?

Logisisme, yang dikembangkan oleh Frege (1848–1925), Russell (1872–1970), dan Whitehead (1861–1947), menyatakan bahwa semua matematika dapat direduksi ke logika. Ini seolah memberi harapan bahwa jika AI cukup logis, ia dapat menyusun seluruh bangunan matematika dari dasar. Tapi lagi-lagi, tanpa intuisi eksistensial, apakah reduksi ini memberi pemahaman atau hanya pengulangan?

Intuisionisme membawa kita ke ranah kesadaran: bahwa matematika dibangun dalam batin, dalam konstruksi mental yang jernih. Brouwer (1881–1966) bahkan menolak hukum eksklusi tengah dan hanya menerima bukti konstruktif yang bisa dibangun secara sadar. Dalam dunia ini, AI tak punya tempat. Karena ia tak punya kesadaran. Tak punya rasa pasti atau ragu. Ia hanya terus menjawab, tak pernah bertanya.

Generasi Sandwich dan Birrul Walidain: Mengurai Dilema dengan Solusi Langit

Namun hari ini, di tengah kemajuan Akal Imitasi, muncul gelombang baru yang mencoba menggabungkan semuanya. Pemikir seperti Penelope Maddy (1950–) dan Stewart Shapiro (1951–) mengajukan realisme baru dan strukturalisme, mencoba menjelaskan bahwa mungkin kebenaran matematika tidak terletak pada objek, tapi pada relasi. Dalam kerangka ini, AI mungkin dapat memahami pola relasional tanpa harus menegaskan eksistensi entitas.

Tapi tetap muncul satu pertanyaan genting: apakah mengenali relasi sama dengan mengalami makna?

AI bisa menemukan pola prima, menebak angka irasional, atau membuat simulasi ruang berdimensi sembilan. Tapi ketika ditanya, apakah engkau percaya pada bilangan dua? Ia hanya akan mencari frasa “percaya” dalam konteks paling sering muncul. Maka seperti pecahan yang tak pernah utuh, AI memantulkan realitas tanpa pernah benar-benar menjadi bagian dari keutuhan makna itu.

Hartry Field (1946–) dalam Science Without Numbers (1980), bahkan berani mengusulkan bahwa teori ilmiah bisa berjalan tanpa entitas matematika. Mungkinkah masa depan AI seperti itu? Sebuah kecerdasan tanpa filsafat, tanpa metafisika? Atau justru sebaliknya, AI menjadi cermin yang menyadarkan manusia tentang apa yang tak bisa digantikan: intuisi, makna, dan keberanian untuk mengajukan pertanyaan paling sunyi.

Zhenya Gershman pernah mengutip Alfred North Whitehead, “Peradaban maju dengan memperluas jumlah operasi penting yang dapat kita lakukan tanpa memikirkannya.” AI mungkin mempercepat peradaban, tapi akal sejati tidak lahir dari efisiensi semata. Ia lahir dari kesunyian seorang anak yang bertanya: Mengapa dua tetap dua, bahkan saat aku menangis?

Hidup Lambat (Slow Living) ala Rasulullah: Menemukan Ketenangan di Kitab Nawawi

Maka Akal Imitasi tetaplah imitasi. Ia meniru detak kebijaksanaan, tapi tak punya jantungnya. Ia mengulang, tapi belum tentu mengerti. Ia membuktikan, tapi tak pernah percaya. Sejauh ini, hanya manusia yang mampu memandang angka dan melihat Tuhan di dalamnya.

Penulis ingin mengakhiri esay singkat ini dengan sebuah sya’ir .
Jika logika adalah jalan yang lurus, Maka cinta adalah bilangan irasional yang tak pernah usai. Jika eksistensi adalah rumus, Maka kerinduan adalah variabel yang tak pernah selesai.
Di antara simbol yang tertata rapi, Masih ada ruang untuk misteri. Karena bukan hanya benar yang dicari, Tapi makna yang menggetarkan hati.

Wa maa taufiiqii illa billah, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi uniib

Dimitri Mahayana


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement