Kisah
Beranda » Berita » Diam yang Menyelamatkan: Kisah Abu Bakar Menjaga Lisan

Diam yang Menyelamatkan: Kisah Abu Bakar Menjaga Lisan

Diam yang Menyelamatkan: Kisah Abu Bakar Menjaga dalam Lisan
Diam yang Menyelamatkan: Kisah Abu Bakar Menjaga dalam Lisan

SURAU.CO – Pada suatu malam yang hening di Madinah, para sahabat duduk mengelilingi Nabi Muhammad SAW. Mereka mendengarkan dengan penuh perhatian setiap kata yang diucapkannya, seakan takut kehilangan satu huruf pun.

Di antara para sahabat itu, tampak seorang lelaki yang sangat tenang. Wajahnya teduh, janggutnya rapi, dan matanya memancarkan ketundukan. Dialah Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat paling dekat dengan Nabi, orang pertama yang membenarkan kenabian Rasulullah.

Namun, di balik kelembutan dan keteguhannya dalam membela Islam, Abu Bakar justru merasa cemas pada satu hal yang sering luput dari perhatian banyak orang, yaitu lisannya sendiri.

Menyumpal Lidahnya Sendiri

Pada suatu hari, Abdullah bin Mas’ud menyaksikan pemandangan yang mengejutkan. Ia melihat Abu Bakar memegang lidahnya sendiri dengan jari-jarinya. Wajahnya tampak murung, seolah sedang menegur dirinya sendiri. Abdullah pun bertanya heran, “Wahai Abu Bakar, mengapa kamu melakukan itu?”

Abu Bakar pun menjawab dengan suara pelan,
“Lidah inilah yang sering menyeretku ke dalam kebinasaan.”

Kisah Nama Abu Hurairah: Dari Pecinta Kucing Menjadi Penjaga Hadis

Dengan penuh kesadaran, Abu Bakar mengakui betapa beratnya tanggung jawab atas setiap kata yang keluar dari mulut. Meskipun orang-orang mengenalnya sebagai pribadi yang jujur, ia tetap merasa takut jika lidahnya berbohong, menyakiti hati orang lain, atau bahkan merusak amal baik yang telah ia lakukan.

Belajar dari Nabi: Menjawab Cacian dengan Doa

Lebih lanjutnya, Abu Bakar belajar langsung dari keteladanan Rasulullah ﷺ. Ketika Nabi pulang dari Thaif dengan tubuh penuh luka akibat lemparan batu dan hinaan, dia tetap menunjukkan kelembutan. Malaikat Jibril datang menawarkan bantuan untuk menghancurkan masyarakat Thaif dengan dua gunung, namun Rasulullah menolaknya.

Beliau menjawab dengan harapan besar,
“Jangan, aku berharap dari keturunan mereka akan lahir orang-orang yang menyembah Allah.”

Rasulullah tidak membalas dengan kemarahan. Justru, dia membalas luka dengan doa dan penuh pengharapan. Ucapannya tetap lembut, meskipun tubuhnya terluka. Semua itu terjadi karena tauhid telah tumbuh sempurna dalam jiwa. Maka, tuturnya tetap terjaga, bahkan dalam kondisi tersakit sekalipun.

Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pasca Wafatnya Rasulullah: Sikap Abu Bakar Menghadapi Kemurtadan

Sabda itu benar-benar meresap ke dalam hati Abu Bakar. Ia memahami bahwa satu kata bisa menyatukan hati, namun satu kata pula bisa menghancurkan persaudaraan. Oleh karena itu, ia memilih untuk berbicara hanya ketika diperlukan, dan memilih diam ketika ragu.

Ketenangan dalam Tutur Kata

Setiap kali Abu Bakar berbicara, ia mengucapkannya dengan tenang dan penuh kehati-hatian. Ia tidak pernah membiarkan dirinya bergunjing. Ia juga tidak mengeluh dalam kesulitan. Bahkan ketika orang memfitnah atau mencela dirinya sendiri, ia memilih diam dan menyerahkan seluruh urusannya kepada Allah.

Dari kisah Abu Bakar, kita belajar bahwa menjaga lisan bukanlah perkara remeh. Bahkan sosok mulia sekelas Abu Bakar pun merasa khawatir jika lidahnya menjerumuskannya. Ia menahan diri saat marah, merenung sebelum berbicara, dan hanya mengatakan sesuatu jika itu benar-benar membawa manfaat.

Di era modern ini, terutama di media sosial, banyak orang mudah melontarkan kata-kata tanpa pertimbangan. Maka, kita semakin perlu meneladani sikap Abu Bakar. Terkadang, diam justru menjadi bentuk ibadah yang bernilai tinggi. Menjaga lisan bukan sekedar adab, melainkan juga jalan menuju keselamatan.

Nabi pernah bersabda:
“Tidaklah manusia tersungkur di neraka di atas wajah mereka kecuali karena hasil dari lisan mereka.” (HR. Tirmidzi)

Penaklukan Thabaristan (Bagian 2): Kemenangan di Era Umayyah

Melalui keteladanan Abu Bakar, kita melihat bahwa diam bukan berarti tidak tahu berkata-kata. Justru, diam menunjukkan kedalaman ilmu, kekuatan iman, dan kedewasaan jiwa. Abu Bakar memilih diam karena ia sadar bahwa setiap kata akan dimintai pertanggungjawaban.

Semoga Allah menjadikan kita termasuk golongan orang-orang yang selamat karena lisannya, dan mulia karena tutur katanya, sebagaimana Abu Bakar Ash-Shiddiq—sahabat terbaik Rasulullah SAW.

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement