Sejarah
Beranda » Berita » Mengenal Maria Ulfah Santoso: Menteri Perempuan Pertama Indonesia

Mengenal Maria Ulfah Santoso: Menteri Perempuan Pertama Indonesia

Maria Ulfah Santoso
Foto ilustrasi: Maria Ulfah Santoso

SURAU.CO – Banten memiliki tokoh perempuan tangguh yang berjasa besar dalam memperjuangkan hak perempuan dan pergerakan nasional. Namanya Maria Ulfah Santoso. Ia lahir pada 18 Agustus 1911 dari pasangan Raden Adipati Aria Mochammad Achmad, Bupati Kuningan, dan Raden Ayu Chadidjah Djajadiningrat, saudara dari Hoesein dan Achmad Djajadiningrat. Maria Ulfah tumbuh bersama dua adiknya, Iwanah dan Hatnan.

Sebagai salah satu tokoh perempuan paling berpengaruh di Indonesia, Maria Ulfah aktif memperjuangkan hak-hak perempuan, kemerdekaan, serta terlibat dalam dunia hukum, politik, dan sosial. Jejak perjuangannya masih terasa hingga kini.

Pendidikan dan Awal Perjuangan

Maria Ulfah memiliki semangat belajar yang luar biasa. Pada tahun 1929, ia berangkat ke Negeri Belanda untuk menempuh pendidikan hukum di Universitas Leiden. Dalam waktu empat tahun, ia berhasil meraih gelar Magister Hukum. Ia pun menjadi perempuan Indonesia pertama yang lulus sarjana hukum dari Belanda.

Selama di Leiden, Maria Ulfah aktif berdiskusi dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti Bung Hatta dan Sutan Sjahrir. Dari sana, jiwa nasionalismenya semakin kuat.

Karier Politik dan Sosial

Tahun 1945 menjadi titik balik karir Maria Ulfah. Pemerintah menunjuknya sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada tanggal 12 Maret 1946, ia diangkat menjadi Menteri Sosial dalam Kabinet Sjahrir II. Ia mencatat sejarah sebagai perempuan pertama yang menjabat menteri di Indonesia.

Mustafa Kemal Ataturk: Modernisasi dan Perkembangan Islam Modern

Sebagai Menteri Sosial, Maria Ulfah berperan penting dalam memulihkan kondisi sosial pasca-Perang Dunia II, terutama dalam membantu pemulangan tawanan perang. Ia juga menciptakan berbagai program untuk membuka lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengurus nasib para buruh.

Selain itu, ia berperan dalam Perundingan Linggarjati tahun 1946. Maria Ulfah mengusulkan Linggarjati, Kuningan sebagai lokasi perundingan karena netral dan aman untuk kedua belah pihak.

Perjuangan untuk Undang-Undang Perkawinan

Maria Ulfah juga aktif memperjuangkan perlindungan hukum bagi perempuan dalam pernikahan. Ia berharap perempuan bisa memiliki perlindungan dan hak yang setara dengan laki-laki dalam ikatan perkawinan. Ia juga mendorong adanya batasan usia minimal menikah untuk mencegah pernikahan dini.

Dalam Kongres Perempuan Indonesia III tahun 1938, ia menyampaikan gagasannya tentang pentingnya peraturan perkawinan. Ia berkata, “Karena banyak di antara kita yang tidak memahami seutuhnya Al-Qur’an, dan karena banyak tafsiran yang berbeda tentang kitab suci ini, peraturan diperlukan sehingga membuat perceraian lebih sulit.”

Maria Ulfah memperjuangkan hak perempuan dalam pernikahan melalui berbagai cara, diantaranya:

Peran Pemikiran Al-Farabi; Pencerahan Filsafat Yunani dan Barat

  • Ia ikut menyusun rancangan peraturan perkawinan bersama Komisi Rancangan Peraturan Perkawinan.
  • Bersama Biro Konsultasi Perkawinan, membantu perempuan dalam mengatasi masalah rumah tangga melalui jalur hukum.
  • Menyusun Talik-Talak, perjanjian yang harus disepakati suami-istri untuk melindungi hak perempuan dalam perkawinan.
  • Ia menjadi ahli hukum di Panitia Penyelidik Peraturan Perkawinan, Talak, dan Rujuk di bawah Kementerian Agama pada tahun 1950.

Puncak perjuangannya terwujud saat pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975. UU ini memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi perempuan.

Kiprah sebagai Menteri Sosial

Pengangkatan Maria Ulfah sebagai Menteri Sosial bukan tanpa alasan. Sutan Sjahrir, Perdana Menteri kala itu, ingin menghadirkan wajah baru dalam kabinet. Maria Ulfah dipilih karena ia mewakili perempuan, terlibat dalam perjuangan kemerdekaan, dan aktif di Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Sjahrir juga ingin menunjukkan kepada dunia bahwa perjuangan bangsa Indonesia bukan hanya soal kemerdekaan, tetapi juga kemanusiaan. Tugas Maria Ulfah cukup berat: memulangkan tawanan perang Jepang, membantu korban perang dan romusha, serta menangani masalah buruh dan kemiskinan.

Keberhasilannya sebagai menteri membuka mata publik bahwa perempuan juga mampu memimpin dan mengambil keputusan penting dalam pemerintahan.

Warisan dan Penghargaan

Maria Ulfah tidak hanya aktif di politik, tapi juga di dunia sosial. Ia menjabat Ketua Kongres Wanita Indonesia (Kowani) dari tahun 1950 hingga 1961. Ia juga mendirikan Biro Sensor Film Indonesia.

Kitab Taisirul Kholaq: Terobosan Pembelajaran Akhlak Metode Salafiyah

Bersama tokoh-tokoh perempuan di Kowani, Maria Ulfah mengusulkan penetapan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember sebagai hari nasional—bukan hari libur—seperti halnya Hari Sumpah Pemuda. Kemudian, pemerintah mengesahkannya melalui Surat Keputusan Presiden.

Atas dedikasinya, negara menganugerahkan berbagai penghargaan kepada Maria Ulfah, termasuk Satya Lencana Karya Satya dan Bintang Mahaputera Utama.

Maria Ulfah Santoso wafat pada tanggal 15 April 1988 di Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Meski telah tiada, semangat juangnya tetap hidup. Namanya terus menginspirasi generasi muda Indonesia untuk memperjuangkan hak perempuan dan kesetaraan di segala bidang.

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement